YOGYAKARTA, bisniswisata.co.id : Menata Normal-Baru” dengan “Norma-Baru”, itulah arah mendasar untuk “Menuju Peradaban Baru DIY”. Bagaimana bayangan bentuknya? Seperti yang saya sampaikan, mau tidak mau kita harus mendarat darurat di sebuah pulau yang tidak kita kenal sama sekali –sebuah terra incognita
.
Di masa pengenalan ini, pertama-tama kita harus mengatasi trauma sosial. Kita memerlukan socio-cultural healing, terlebih dulu. Bangun dari keterpurukan yang menghantam tiba-tiba, juga memerlukan refleksi kehidupan masa lalu, sebagai ancangan perbaikan ke depan.
Back to nature, dengan mengutamakan sesuatu yang memang dibutuhkan, bukan memanjakan kelimpahan yang diinginkan, sebuah ilusi kehidupan dulu yang hiper-realita
.
Penerapan Kebijakan Normal-Baru, bukan hanya membuka kembali aktivitas-aktivitas kehidupan dengan standar dan protokol tertentu. Lebih dari itu. Juga menyatukan kehendak membangun hidup bersama di tengah keragaman perbedaan.
Utamanya, harus didasari oleh mutual trust untuk memperoleh mutual-benefits. Diikuti kesadaran dan kesediaan saling-belajar, memahami, menghargai dan berbagi, sebagai pengikat partisipasi, solidaritas dan kolaborasi dalam mewujudkan harmoni kehidupan bersama. Untuk itu, kita semua harus siap mengubah mindset dalam mengelola kehidupan bersama.
LALU, bagaimana penerapannya dalam pembentukan peradaban baru DIY? Sejatinya tidak mudah untuk menjawabnya, apalagi mewujudkannya. Memerlukan pandangan reflektif guna memperkuat fondasi pemahaman penyelenggaraan keistimewan DIY ke depan, berlandaskan Nilai-Nilai Filosofi, Core-Beliefs, dan Nilai-Nilai Budaya, Core-Values, yang mengatur hubungan vertikal dan horisontal
.
Nilai-nilainya itu dibagi dalam tiga tataran, yaitu (1) Nilai dasar yang bersifat abstrak dan tetap; (2) Nilai instrumental yang bersifat kontekstual dengan tuntutan zaman; dan (3) Nilai praksis yang terekspresikan dalam kehidupan sehari-hari, cara rakyat mewujud-nyatakan nilai-nilai itu
.
Sesungguhnya, pada nilai praksislah ditentukan tegak, atau rapuhnya nilai dasar dan nilai instrumental itu. Implikasinya, nilai-nilai yang abstrak-umum-universal itu perlu ditransformasikan menjadi rumusan yang riil-spesifik-kolektif, bahkan bersifat individual.
Artinya, nilai-nilai itu menjadi sifat-sifat dari subyek kelompok dan individu, sehingga menjiwai perilaku dalam lingkungan praksisnya di bidang ketugasan, profesi, dan kehidupan pribadi
.
Itulah substansi yang paling esensial dan aktual yang harus diwujudkan sebagai fondasi awal sekaligus langkah strategis “Menuju Peradaban Baru DIY”, yang juga harus dipahami oleh setiap Insan Peradaban Yogyakarta. Akhirnya, jangan lagi dikembalikan pada perdebatan makna nilai-nilai ideal yang di Era Baru ini tidak mengakar. Semoga demikianlah adanya!
Sekian, terima kasih.
Wassalamualaikum wr. wb.
.
Slasa Kliwon, 23 Juni 2020
HAMENGKU BUWONO X