NASIONAL

Jaring Wisman Berkualitas Ibarat Semut & Gula

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Pakar Pariwisata Prof. Dr. Azril Azahari PhD mengharapkan duet Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Wishnutama dan Wakil Menparekaf Angela Tanoesoedibjo harus fokus menjaring kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yang berkualitas, dan tidak memburu secara kuantitas.

Apalagi saat ini, banyak negara di dunia mulai mengurangi jumlah kunjungan pelancong asing demi melindungi keberlanjutan dari destinasi. Pemerintah semestinya sudah beranjak untuk tidak lagi sekadar mengincar kuantitas yang bisa berdampak negatif pada destinasi wisata. Pasalnya, destinasi ramai dikunjungi tapi tidak memberikan dampak signifikan juga tidak baik.

“Sebenarnya, sudah sejak awal saya usulkan agar Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kemenparekraf tidak membuat kebijakan pada quantity tourism atau mass tourism, namun harus bergeser pada quality tourism atau responsible tourism. Karena dengan quantity tourism akan mengarah dan mengejar jumlah turis asing yang bisa berdampak buruk pada pariwisata kita,” lontar Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) kepada Bisniswisata.co.id di Jakarta, Ahad (03/11/2019).

Dilanjutkan, beberapa dampak buruk kuantitas dalam menggaet turis asing. Dampak ekonomi mislanya pengeluaran Wisman yang berkurang atau spend of moneynya sangat rendah karena banyaknya “backpacker”, bahkan juga program “hot deals” yang terlalu mengobral kunjungan wisatawan asing dengan memberi fasilitas harga menginap hotel yang dapat diskon khusus sehingga berkurangnya lama tinggal di hotel atau length of time menjadi rendah.

“Menurut saya program “hot deals” dengan prinsip “asset utilization” harus segera dikaji ulang, bila mungkin segera dihapus, agar tidak meluas ke daerah lain dampak negatifnya. Seharusnya sudah bergeser pada pengeluaran Wisman yang semakin meningkat (spend of money) dan meningkatnya pada lama menginap di hotel (length of time),” ungkapnya.

Juga berdampak sosial budaya, seperti: meningkatnya tingkat kerawanan sosial dan keamanan. “Contoh kasus di Bali dimana turis asing tidak menghargai budaya setempat. wisman seenaknya foto di atas Pura, dan tidakan tak manusiawi lainnya. Jadi segera eliminasi dampak sosial dan budaya yang sangat meresahkan di Bali terhadap aktivitas pariwisata di Bali, karena dampak tersebut akan cepat meluas,” sarannya.

Selain itu, jika memburu kuantitas akan berdampak pada Lingkungan atau enviromental sustainability seperti: meningkatnya kerusakan lingkungan dan lingkungan hidup kita.

Menurutnya, maraknya kunjungan wisman yang hanya mengejar kuantitas ternyata mendapat sorotan hasil “Travel & Tourism Competitiveness Index (TTCI) 2015, 2017 dan 2019 bahwa sub-indeks yang terendah selama 3 tahun adalah dari sisi healthy & hygiene, environmental sustainability, safety & security, tourist service infrastructure, dan ICT readiness berada di posisi paling bawah.

Azril mengingatkan pemerintah harus sadar bahwa pendekatan pada jumlah secara kuantitas semata adalah keliru. Dan harus cepat kembali pada pendekatan pariwisata berkualitas. Pemerintah juga harus sadar bahwa paradigma pariwisata dunia sudah bergeser dari “mass tourism/quantity tourism” yang berorientasi ”sun-sand-sea” menjadi “responsible tourism/quality tourism” yang mengacu pada ”serenity-spirituality-sustainability”. “Pemerintah juga harus memahami “tourist behaviour,” tambahnya.

Dikatakan, prinsip ingin mengembangkan “sharing economy” guna memanfaatkan periode wisman yang low season adalah kurang tepat. Sebenarnya dengan memahami karakteristik wisman dari seluruh negara untuk berwisata outbound, akan dapat mengisi dan menghindari “low season” tersebut, karena dapat mengisi periode secara penuh dalam satu tahun.

“Apakah pemerintah dalam hal ini memahami dan menyadari hal tersebut….?!? Artinya pemahaman dan kesadaran terhadap low season, sharing economy dan asset utilization yang salah,” sambungnya.

Dan untuk mendatangkan Wisman dari luar negeri dapat diibaratkan antara “gula dan semut”. Selama ini prinsip yang dilakukan adalah memindahkan semutnya (wisman) ke Indonesia, seharusnya buatlah gula yang lebih manis. “Beri daya tarik bukan atraksi wisata yang jumlahnya sangat banyak. Jadi bukan atraksi namun attraction di Indonesia sehingga otomatis semut akan berebut mengejar gula tersebut,” sarannya.

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat realisasi kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) hingga September 2019 baru mencapai 12,27 juta dari target tahun ini sebesar 18 juta kunjungan. Secara bulanan, kunjungan wisman pada bulan September hanya 1,4 juta atau turun 10,10 persen dari bulan Agustus sebesar 1,55 juta kunjungan.

Dari 1,4 juta kunjungan wisman pada bulan September 2019, paling banyak berasal dari Malaysia sebesar 233,8 ribu kunjungan atau 17 persen. Sisanya, sebanyak 12 persen dari Cina, 11 persen dari Singapura, 10 persen dari Australia, 7 persen dari Timor leste, dan 43 persen dari negara-negara lainnya.

Sepanjang Januari-September 2019 ini, 12,27 juta kunjungan wisman didominasi oleh turis dari kawasan Asean sebanyak 4,7 juta kunjungan. Adapun berikutnya diikuti Asia selain Asean 4,03 juta kunjungan, Timur Tengah sebesar 211 ribu, Eropa 1,56 juta, Amerika 482 ribu, Oceania 1,18 juta, serta Afrika 69 ribu kunjungan.

Sepanjang tahun 2018, BPS mencatat total jumlah kunjungan wisman mencapai 15,8 juta dengan average spending per arrival (ASPA) atau rata-rata belanja per kunjungan sebesar 1.220 dolar AS. Jika diakumulasikan, maka devisa yang didapat Indonesia dari sektor pariwisata tahun 2018 sebesar 19,29 miliar dolar AS. (end)

Endy Poerwanto