NASIONAL

IHCL: Turis Muslim Berwisata ke Indonesia masih Kecil

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Ketua Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC), Sapta Nirwandar mengatakan potensi pariwisata halal sangat besar, di mana untuk traveller muslim jumlahnya mencapai 300 juta orang. Namun, turis muslim yang datang ke Indonesia baru 3 juta orang. “Kita punya potensi, yang datang ke Indonesia baru 3 juta,” ujarnya di Gedung Bank Indonesia (BI), Jakarta, Kamis (17/10/2019).

Berdasarkan data dari Kementerian Pariwisata & BPS, 2018 ada lebih dari 15 juta turis yang datang berkunjung ke Indonesia. Dari angka tersebut, 22% persen diantaranya atau sekitar 3,4 juta adalah turis muslim. Angka ini lebih kecil dibanding muslim turis yang menjejakkan kakinya di negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand hingga Turki.

Jumlah turis muslim yang mengunjungi Singapura mencapai 4,1 juta, ke Malaysia mencapai 6,4 juta, ke Thailand mencapai 5,2 juta dan ke Turki mencapai 6,1 juta. Sertifikasi halal di sejumlah destinasi wisata menurutnya penting, untuk menggaet turis muslim ini, seperti yang sudah dilakukan di Malaysia.

“Di Bukit Bintang ada toko buka sampai malam atau subuh. Ngapain? karena traveller Timur Tengah tidurnya subuh, itu adalah bagian dari servis,” ujar mantan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif jaman SBY ini.

Menurutnya, Indonesia harus mampu mengejar ketertinggalan itu. Salah satunya dengan memberikan fasilitas seperti Musholla di sejumlah pusat perbelanjaan. “Karena bicara pariwisata halal ya termasuk belanja juga,” lontar Sapta.

Di Bali misalnya, banyak turis muslim yang berkunjung. Ini menjadi satu catatan penting, agar terkait sertifikasi halal menjadi jelas, bagaimana dan apa saja yang bisa dilakukan untuk menggaet lebih banyak turis. “Muslim ke Bali banyak, masa ngga solat. disediakan tempat solat, itu servis, bukan Bali-nya di halalkan. Ini yang salah kaprah, masa lokasinya yang di halal-kan, tapi servis,” tegasnya.

Terkait Sertifikasi halal, Sapta Nirwandar menilai sertefikat halal menjadi aspek penting dalam bisnis makanan di Tanah Air. Hal itu berkaitan dengan rasa aman seiring garansi yang diberikan atas produk atau jasa yang dibeli. Bagi perusahaan besar seperti PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), tak bisa dimungkiri sertifikasi halal menambah penjualan produk yang dihasilkan.

“Begitu ada lambang hijau MUI (Majelis Ulama Indonesia), (produknya) laku keras. Mayora dan Garuda Food juga begitu. Sertifikasi itu penting. Kenapa sushi tei rajin buat sertifikasi karena naikkan sales (penjualan),” ungkapnya serius.

Dicontohkan bagaimana rantai pasok restoran siap saji seperti KFC. Di Kuala Lumpur, bisa dipastikan 99,99 persen restoran itu sudah melalui sertifikasi halal. Mulai dari rantai pasok ayam hingga sampai ke meja konsumen. Prosesnya sudah diawasi dengan ketat. “Ini lebih profitable, masyarakat sadar, tak akan makan kalau tak ada sertifikasi halal. Sertifikasi itu membuktikan,” ujarnya lagi.

Tak hanya menyoal produk berupa makanan hingga kosmetik, sertifikasi halal dalam sektor pariwisata juga penting dilakukan. Namun sayangnya, banyak yang salah kaprah perihal yang satu ini. “Yang dihalalkan bukan destinasinya, tapi servisnya. Borobudur tak bisa dihalalkan, tapi kalau servisnya jadi ada musholla, restoran, boleh,” tegasnya.

Pelaksanaan wajib sertifikasi halal efektif mulai 17 Oktober 2019. Itu adalah mandat dari UU Nomor 33 Tahun 2014. Semua produk yang beredar di republik ini harus memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada di bawah Kementerian Agama.

Dalam kesempatan itu, BI juga menargetkan kegiatan perekonomian yang masuk dalam kategori syariah dan halal bisa mencapai 50 persen. Suhaedi mengatakan, saat ini sedang dicari formula penetapan terkait dengan produk domestik bruto (PDB) yang bisa masuk ke dalam kategori syariah.

Dalam hal ini, butuh kerja sama juga dengan Badan Pusat Statistik, Majelis Ulama Indonesia hingga Dewan Syariah Nasional (DSN). “Apabila sudah selesai untuk kompilasi statistik, dalam lima tahun ke depan, minimal 50 persen kegiatan ekonomi nasional termasuk yang halal,” kata Suhaedi seperti dilansir laman CNBC.

Dia menambahkan, mengenai industri halal secara keseluruhan, kegiatan perekonomiannya selalu merujuk kepada PDB nasional. Sebab, dari sekian banyak kegiatan perekonomian tersebut, masih harus ditelaah lebih jauh mana yang termasuk halal dan mana yang masih harus didiskusikan lebih jauh lagi. “Misinya ingin menjadikan Indonesia sebagai pusat rujukan ekonomi keuangan syariah global,” tegasnya.

Untuk menggenjot ekonomi dan keuangan syariah, BI akan kembali menggelar Indonesia Shari’a Economic Festival (ISEF) 2019 yang rencananya diadakan mulai 12-17 November 2019. ISEF merupakan agenda tahunan sejak 2014 yang memiliki tujuan untuk mendorong pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Acara ini merupakan upaya BI bersama stakeholder terkait, pemerintah, masyarakat, serta organisasi-organisasi.

Tema ISEF ke-6 ini adalah Sharia Economy for Stronger and Sustainable Growth. Setidaknya ada 25 pembicara dari luar negeri yang akan hadir serta peserta lebih dari 50 negara. Tak hanya itu, ada lebih dari 100 kelembagaan serta beberapa eksekutif bisnis dan lembaga keuangan. “Jika dalam ISEF tersebut nantinya akan membahas berbagai aspek. Tak hanya keuangan, tapi juga bagaimana industri halal secara global,” sambungnya. (ndy)

Endy Poerwanto