ART & CULTURE

"Panembahan Reso", Karya WS Rendra Tak Lekang Dimakan Zaman

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Drama kekuasaan karya penyair WS Rendra “Panembahan Reso” dihidupkan kembali setelah lebih dari tiga dekade berlalu. Kritik budaya WS Rendra dalam pentas nyatanya masih relevan hingga saat ini. “Panembahan Reso” adalah karya WS Rendra yang tak lekang dimakan zaman setelah 34 tahun berlalu.

Mahakarya Rendra pertama kali dipentaskan Bengkel Teater pada 26 dan 27 Agustus 1986, sebuah bentuk kritik WS Rendra atas praktik kekuasaan Orde Baru yang represif. Dalam dua hari pertunjukan non stop di Istora Senayan, sekarang Stadion Gelora Bung Karno, total 30.000 penonton menikmati lakon berdurasi tujuh jam.

Kini, “Panembahan Reso” disutradarai pimpinan teater Gidag Gidig Solo, Hanindawan, dan Sosiawan Leak menjadi asisten sutradara. Saat ditampilkan di Teater Ciputra Artpreneur Jakarta, Sabtu malam, 25 Januari 2020 pertunjukan tersebut masih terasa relevan.

“Naskah yang bercerita tentang suksesi ini, akan selalu kontekstual dan universal karena bisa terjadi di mana pun, kapan pun juga,” kata Ken Zuraida, istri WS Rendra yang melanjutkan aktivitas Bengkel Teater seperti dilansir Antara, Ahad (26/01/2020).

Di atas panggung terdiri tangga-tangga dengan latar belakang putih, pada setiap babak memperlihatkan kesan berbeda berkat permainan bayangan termasuk wayang kulit dari Dalang Dwi Suryanto alias Gendut Dalang Berijasah, para pemain teater dari berbagai kota menghidupkan kisah mengenai perebutan kekuasaan.

Raja Tua (Gigok Anurogo) memiliki tiga selir dengan kedudukan setara, Ratu Dara (Sha Ine Febriyanti) yang banyak akal dan licik, Ratu Padmi yang diperankan anak bungsu WS Rendra, Maryam Supraba juga Ratu Kenari (Sruti Respati).

Keluarga ini punya ambisi untuk berkuasa dan mereka rela untuk saling menjegal, bahkan menghabisi nyawa orang lain agar bisa berada di posisi tertinggi. Mereka rela melakukan apa pun meski yang dihadapi adalah adik, kakak, ibu, ayah, istri atau suaminya sendiri.

Mereka semua ingin naik takhta. Bukan demi rakyat. Bukan demi kepentingan orang banyak. Semuanya demi mereka sendiri.
Namun, para selir dan anak-anaknya ini tak menyadari ada musuh dalam selimut: Panji Reso (Whani Darmawan) si penasihat kerajaan. Pria licik yang tamak memanfaatkan konflik yang terjadi demi keuntungannya sendiri.

Lakon ini dibintangi juga Ruth Marini, Ucie Sucita, Jamaluddin Latif, Ignatius Zordy Axl, Dimas Danang Suryonegoro, Udin UPW, Ig. Joko R, Yogi Swara Manitis Aji, Dedek Witranto, Resha Ron Sae, Bambang Dyodie S, Dodi Eskha Aquinas, Muh. Idil Kurniawan, Kelono Gambuh, Budi Riyanto, Meong Purwanto dan dan Maryam Supraba merupakan putri Rendra.

“Panembahan Reso” diwarnai dengan tata musik, busana dan cahaya yang menarik. Dedek Wahyudi, pernah menangani pementasan Bengkel Teater “Perjuangan Suku Naga”, bertanggungjawab atas musik di pementasan kali ini.

Sementara tata kostum dikerjakan oleh Retno Damayanti yang mendapatkan empat piala Citra untuk Penata Kostum Terbaik. Sugeng Yeah menjadi penata artistik, sementara koreografi dibuat oleh Hartati, penata tari yang banyak mendalami silat. Sedangkan tata artistik dipimpin oleh Sugeng Yeah dari Solo.

Menurut keterangan pemain SHA Ine Febriyanti menghadapi tantangan berbeda saat berperan jadi Ratu Dara di lakon Panembahan Reso, mahakarya dramawan WS Rendra yang dipentaskan pertama kali oleh Bengkel Teater pada 1986. Dan kini Sha Ine berperan sebagai selir bengis dan kejam yang mengincar takhta raja.

“Biasanya monolog, ini tuh cutting cutting, munculnya enggak intens, jadi menurutku agak sulit, susah banget mainin on-off on-off kayak gini,” ujar Sha Ine sambil mengaku bangga bisa menjadi bagian dari pementasan teater legendaris mahakarya WS Rendra.

Selain latihan secara intensif, dia mencari cara agar bisa mempertahankan intensitas peran Ratu Dara dalam pementasan berdurasi tiga jam. Semenjak naik panggung hingga akhir pentas, pemeran Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia ini berusaha tetap berada dalam karakter tanpa terdistraksi.

Saat giliran aktor lain tampil di panggung, Sha Ine berupaya tetap menjelma sebagai Ratu Dara yang bengis meski dia tidak berada di hadapan penonton. “Di luar panggung harus membawa (intensitas), misalnya aku (perannya) di kerajaan zaman dulu, aku harus berada di situ terus, jadi enggak ngobrol enggak apa, jaga intensitas itu, berupaya untuk terus menerus hadir dalam naskah itu walaupun enggak di panggung,” tutur dia. (*)

Endy Poerwanto