PURWAKARTA, bisniswisata.co.id: Tiga anak muda Indonesia, Mulyana (Dadeng), Ceppy Bekajaya, dan Gin Gin Ginanjar, tergabung dalam komunitas pecinta olahraga ekstrim “Pushing Panda” Bandung, mencetak rekor baru. Bukan sembarang rekor, melainkan berjalan meniti dua tali pipih (webbing) selebar 2,5 cm di atas dua tebing Gunung Parang, Purwakarta sepanjang 35 meter dan 50 meter di atas ketinggian 899 meter.
Selain melakukan mountain high lining, juga hammocking, atau duduk di atas ketinggian dengan menggunakan ambalan gantung (hammock). Sejarah ini juga demikian istimewa karena ketiganya berhasil melakukan mountain high lining selama tiga kali berturut-turut dalam tiga hari, Rabu, Kamis (11/2), dan Jumat (12/3). Dua di antaranya bahkan disertai dengan kegiatan hammocking.
“Luar biasa. Jiwa saya plong. Ternyata Indonesia juga bisa melakukan apa yang seperti orang-orang asing itu lakukan,” ucap Dadeng seraya menatap takjub hamparan sawah dan waduk Jatiluhur di kejauhan.
Seperti dilansir laman Kompas, Kamis (30/05/2019) dalam benak Dadeng, mountain high line kompleksitasnya lebih tinggi ketimbang water high line, atau urban high line. Karena itu, meniti tali di antara dua tebing tinggi menjadi mimpi dan angan-angannya. Dengan torehan prestasi itu, mereka pun diakui sebagai slackliner Indonesia pertama yang mampu melakukan mountain high line.
Dadeng memberi ilustrasi menarik, berjalan di atas tali pipih di antara dua tebing ibarat berdansa dengan kematian. Karena itu, meskipun dia sudah berkali-kali melatih diri mempersiapkan mental, kendali emosi, dan kesempurnaan stamina, ketakutan tetap hadir di antara batas-batas keberaniannya.
Rasa nervous, dan takut selalu muncul setiap kali saya akan memulai meniti tali. Tetapi saya tidak mau ketakukan itu mengalahkan tekad untuk menciptakan catatan baru ini Ketakutan terbesar yang senantiasa hadir dalam benaknya adalah kegagalan mengendalikan emosi, kesombongan, dan kejumawaan.
Bukan apa-apa. Sebulan sebelum penaklukkan tebing di Gunung Parang, Dadeng, Ceppy, dan Gin Gin berhasil menorehkan catatan manis menjadi slackliner pertama Indonesia melakukan urban high line yakni berjalan di antara dua gedung dengan jarak 33,6 meter dan menjulang 60 meter.
Rekor tersebut tercipta di kawasan apartemen Sentra Timur Residences, Pulo Gebang, Jakarta Timur pada Jumat 8 Januari 2016. Bagi mereka, melakukan kegiatan urban highline bukan tentang memamerkan nyali besar, keahlian, dan keterampilan yang sudah diasah sejak 2013.
Bukan pula tentang keberanian menantang kuasa semesta. Melainkan tentang berdamai dengan keinginan menjadi jumawa, dan meredam ego untuk tampil demi mendapat decak kagum atau didapuk sebagai penggawa. “Ini juga adalah kegiatan healing atau proses melepas segala penyakit mental,” cetus Ceppy.
Ceppy melanjutkan, kalau ingin menyombongkan diri, dia dan Pushing Panda belum ada seujung kuku dari komunitas serupa lainnya di dunia. Untuk dapat melakukan mountain high line atau urban high line, tak cukup berbekal nyali besar. Lebih dari itu, harus punya kesungguhan, fokus, tekun, dan giat berlatih untuk mencapai keseimbangan, meskipun kegiatan ini hanya merupakan hobi.
Dadeng, pendiri komunitas Pushing Panda Bandung, menjelaskan, kalau hobi dilakukan dengan penuh hasrat dan kesungguhan, maka ia bukan lagi belaka kesenangan (pleasure). “Kegiatan ini, khususnya urban highline, juga bisa memengaruhi kondisi emosional seseorang. Yang tadinya grasa-grusu, terburu-buru, egois, namun dengan menekuninya bisa menjadi lebih kalem, seimbang, tenang dan penuh perhitungan,” papar Dadeng yang juga tergabung dalam Asosiasi Roof Access Indonesia.
Dilanjutkan, dalam meniti tali, dibutuhkan konsentrasi dan ketenangan tingkat tinggi. Dengan melatih kedua kondisi utama tersebut, tantangan seberat apa pun seperti angin kencang, ketakutan akan ketinggian, atau perasaan gagal sebelum menaklukkan, akan menguap dengan sendirinya.
“Saat awal meniti tali, kita dihadapkan pada pertarungan antara unsur positif dan negatif, antara bisa mencapai tujuan atau harus terjatuh dari ketinggian. Di sinilah konsentrasi, kesiapan mental, dan fisik diuji,” beber dia.
Arief Wicaksono, anggota Pushing Panda yang menekuni trickline menambahkan, untuk bisa sampai berdiri tegak di atas tali saja butuh waktu setidaknya tiga minggu latihan intensif. Apalagi bila punya keinginan untuk melakukan manuver dinamis dengan menggerakkan seluruh bagian tubuh dengan cepat.
Seperti back bounce (menjatuhkan diri untuk kemudian bangkit kembali dengan cepat), backflip (membanting bagian belakang tubuh) atau pun buttflip perlu penyesuaian hingga 2,5 tahun. “Jika semua dilakukan dengan benar, itu sangat fun,” cetus Arief yang sempat berkali-kali mengalami patah tulang kering, atau engsel bahu bergeser.
Urban highline dan trickline merupakan salah dua dari sekian banyak genre slackline. Cabang lainnya adalah urban line, waterline, slackline yoga, free style slackline, dan windline. “Seluruhnya bisa dilakukan di alam bebas, seperti perbukitan, pegunungan, taman kota, gedung tinggi, atau di antara dua pohon tinggi,” kata Dadeng.
Menurut Ceppy, olahraga ekstrem ini bisa menjadi atraksi pariwisata dalam lingkup perkotaan atau negara bila dikemas menarik. “Di Bangkok atau Kuala Lumpur saja, kegiatan urban highline atau pun trackline sudah menjadi atraksi pariwisata yang terintegrasi dengan destinasi-destinasi wisata ikonik macam Petronas Twin Towers atau ruang terbuka publik,” imbuh Ceppy.
Sementara di Indonesia, kegiatan ini masih dilakukan dalam lingkup terbatas karena terbentur masalah birokrasi perizinan. “Untuk menggelar atraksi trickline di lokasi-lokasi strategis perkotaan saja, harus minta izin keramaian kepada kepolisian atau untuk urban highline harus kulo nuwun kepada pemilik gedung,” timpal Dadeng.
Alhasil, aktivitas slackline di Indonesia baru berkembang di beberapa kota seperti Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Banjarmasin. Olahraga yang memacu adrenaline ini sejatinya telah ada sejak jaman Yunani kuno.
Mengutip laman www.blondinmemorialtrust.com, orang-orang Yunani ini menamai aktivitas berjalan di atas tali dengan empat kata berbeda.
Untuk para pejalan kaki yang menari di atas tali disebut sebagai Oribat, Neurobat set tali di ketinggian, Schoenobat menuruni tali dan, Acrobat melakukan akrobat di atas tali. Sekitar tahun 260 SM Sensor Messala menyatukan keempat kata ini dalam satu kata: funambulus, yang berasal dari kata [funis, a rope, and ambulare, to walk].
Funambulist saat ini lebih dikenal dengan sebutan teknis untuk pejalan kaki di atas kawat baja (wire walkers), pejalan kaki di atas tali (tightrope walkers), dan pejalan kaki di atas webbing (slack liners).
Mulyadi dalam blognya, http://mulpro.tumblr.com, menulis, hingga tahun 1800-an istilah “tightrope” adalah benar, karena para pemainnya menggunakan tali sebagai bidang tumpunya. Tightrope walking merupakan seni berjalan di atas tali yang dikencangkan antara dua titik. Namun saat ini orang sering mengatakan “tightrope walking” adalah highwire walking.
Tightrope walking jauh lebih sulit dan berbahaya dari pada highwire walking. Sekitar tahun 1800-an revolusi industri mulai berkembang dimana kawat baja dapat diandalkan dan sebagian besar sirkus beralih ke sistem tali temali (rigging) dengan kawat baja, bukan lagi dengan tali bulat tradisional atau tali kain. Dengan highwire walking para pemain bisa melakukan teknik lebih lebih sulit seperti membangun piramida manusia dan mengendarai sepeda melintasi kawat baja.
Tahun 1974, Philippe Petite melakukan rigging dan berjalan di atas kawat baja antara menara kembar World Trade Center, Kota New York secara ilegal. Setelah hampir sepuluh bulan perencanaan, Petite menyelinap ke menara dengan menyamar sebagai pekerja kontruksi dan memasangkan kawat dari menara ke menara lainnya dengan menggunakan busur dan anak panah.
Kisah legendaris Phillipe Petite tersebut diadaptasikan ke dalam film The Walk, karya Sutradara kawakan Robert Zemeckis dan diproduksi pada tahun 2015 lalu. Karakter Phillipe Petite diperankan oleh aktor asal AS Joseph Gordon-Levitt.
Di lembah Yosemite, California, kisah berjalan di atas tali mengambil jalan yang berbeda, menuju apa yang kita kenal dengan Slacklining. Slacklining modern berevolusi disini dari kebanyakan budaya panjat tebing pada tahun 1970 an. Untuk menantang diri dan meningkatkan keseimbangan, para pemanjat tebing bereksperimen dengan berjalan di atas rantai, kawat yang dipasang longgar, tali panjat tebing, dan akhirnya tali pipih (webbing).
Sebagian besar pemanjat tinggal di sebuah perkemahan yang disebut dengan Camp 4, mereka sering menghabiskan waktu untuk latihan keseimbangan di atas rantai yang ada di sekitar camp hingga akhirnya mereka disebut komunitas Slacklining. Saat rantai yang biasa mereka gunakan untuk latihan sudah tidak ada disana, mereka mulai membuat “primitive system” untuk mengencangkan webbing panjat tebing agar bisa dipakai latihan berjalan.
Pada tahun 1983, Scott Balcom, Chris Carpenter dan Chongo Tucker melakukan lompatan besar dalam olahraga slackline ketika melakukan highline pertama di dunia yaitu di Pasadena, California, dibawah jembatan lokal. Tahun 1984 Scott Balcom berusaha melakukan highline pertama kali dengan webbing dengan dibantu oleh Darrin Carter untuk memasang sistem tali temalinya.
Scott sangat gigih, tapi angin sangat kencang dan faktor psikologis yang tidak ada habisnya, Scott tidak berhasil melakukannya. Namun pada tahun berikutnya ia mendedikasikan dirinya untuk latihan dan kembali pada tahun 1985. Scott Balcom adalah orang pertama yang pernah melakukan highline di Lost Arrow, pada tanggal 13 Juli 1985.
Menurut Mulyadi, saat ini olahraga slackline semakin kompetitif, memberikan sesuatu yang lebih untuk masyarakat seperti halnya panjat tebing atau olahraga lain. Internet juga memainkan peranan besar dalam pertumbuhan yang cepat dari slackline. Para slackliner seluruh dunia menggunakan forum, jejaring sosial, dan youtube untuk berbagi pengetahuan tentang trik serta sistem tali temali.
Sebagai hasil evolusi, tricklining pun mulai memperkenalkan trik-trik yang menantang dan banyak disukai generasi muda. Andy Lewis memainkan peran utama dalam mengembangkan olahraga tricklining kompetitif, kompetisi yang diadakan sejak tahun 2008 membuat jumlah penggemar olahraga ini meningkat lebih dari tiga kali lipat di seluruh negara. (NDY)