ENTREPRENEUR NEWS

Sapta Nirwandar: Halal Tourism Itu Bukan Persoalan Agama an sich 

Sapta Nirwandar saat berangkat mengikuti pertemuan Rusia-Islamic World tahun lalu. ( Foto: Dok. Pribadi) 

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia seharusnya bisa menjadi pusat ekonomi syariah. Nyatanya, ekonomi berbasis syariah masih belum banyak kiprahnya sebagai pendorong ekonomi nasional. 

Sebut saja di sektor pariwisata: sejauh ini kita masih tertinggal dibandingkan misalnya Thailand dan negara-negara di Asia atau Eropa dimana Islam bukanlah agama mayoritas mereka.

Padahal menurut kajian Bank Indonesia (BI), pada 2018 ada 140 juta wisatawan muslim di dunia dengan belanja online sebesar US$ 35 miliar. Jumlah itu diperkirakan akan meningkat menjadi 158 juta orang tahun ini. Prediksi ini dibuat sebelum pandemi COVID-19. Angkanya pasti akan menurun karena banyak negara memberlakukan aturan lockdown dan penerbangan pun dibatasi.

Hingga 2017, Indonesia belum tercatat sebagai salah satu negara tujuan wisata halal. Menurut laporan Global Islamic Economy Report 2018/19 (Laporan kerja sama antara Thomson Reuters dan Dinar Standard), negara Islam yang menjadi tujuan wisata halal di 2017 adalah Arab Saudi, Turki, Malaysia, Uni Emirat Arab dan Bahrain. Sementara di kategori negara non Islam, tujuan wisata halal adalah Rusia, Spanyol, Prancis, Thailand dan Singapura.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengapa Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia belum mampu menggenjot potensi sektor pariwisata  halal, berikut wawancara Rin Hindryati dengan Sapta Nirwandar, Ketua Indonesia Halal Lifestyle Centre.

Sejak kapan Anda mulai bersentuhan dengan halal tourism? 

Pada 2009-2011 saya diundang ke Dubai sebagai pembicara untuk subjek yang baru, yakni wisata syariah atau halal tourism. Berikutnya, saya diundang lagi ke Dubai pada 2012 di sebuah plenary session yang pertama. Topiknya masih mengenai halal. Sejak itulah saya mulai mendalami. Ternyata, menurut saya subyek ini sangat promising. Kan kita mayoritas. 

Saat itu, bagaimana animo di Indonesia untuk mengembangkan wisata halal?

Belum tinggi. Seingat saya yang termasuk awal mengusung kata syariah itu Hotel Sofyan. Dia itu hotel syariah yang masih kecil. Jadi belum ada istilahnya pariwisata atau kepariwisataan yang berbasis kepada dunia Islam. Belum. Setelah acara di Dubai itulah baru kita mulai promosikan halal industri.

Awalnya, masih ada skeptisisme yang tinggi. Oleh sebab itu, pada 2012, saat itu saya masih di sektor pariwisata Sebagai Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2011-2014) menyelenggarakan Focus Groupd Discussion (FGD) tentang apa sih yang paling tepat judulnya mengenai tourism yang berkaitan dengan dunia Islam.

Kala itu saya mengundang hampir semua stakeholders termasuk dari kalangan muslim: Muhammadiyah dan NU, akademisi dan praktisi. Itu berapa kali FGD. Tetap gak ada yang berani menyebutkan. Akhirnya ada yang menyebut friendly tourism, halal traveling, wisata halal dst. 

Ada juga yang mengusulkan, paling gampang mengikuti gayanya bank. Makanya ada kita sebut dengan wisata syariah. Wisata syariah itu yang awalnya. Kyai H. Ma’ruf Amin (sekarang wakil presiden) saat itu juga ikut memberikan saran tersebut.

Jadi pada waktu itu masih ragu ya? 

Masih. Pada 2014, kita bikin FGD sekali lagi. Menterinya sudah baru, Pak Arief Yahya. Saya yang buatkan FGD-nya. Akhirnya teman-teman sepakat yang lebih cocok kita pakai istilah halal tourism industry. Mengapa? Karena kata halal itu (konotasinya. Red) lebih gampang, dibandingin dengan Syari’i. 

Jadi kita start dari situ. Di kantor juga kami membuat edukasi. Itu sebabnya dulu ada Keputusan Menteri yang membuat kategori, apa yang disebut dengan Hotel halal atau hotel yang berdimensi muslim. Kategori satu, misalnya: ada disediakan sajadah dan kiblat direction di setiap kamar. Sebenarnya sih itu sudah hampir semua hotel ada. Sudah lama termasuk Hotel Marriot. 

Kategori kedua, soal ketersediaan makanan. Di hotel itu, tidak ada makanan haram, babi. Sedangkan level lebih tinggi di kategori ketiga, di sana tidak ada minuman beralkohol, juga tidak ada hiburan yang seronok. 

Sebenarnya untuk kriteria satu dan dua, sudah banyak hotel yang memenuhi. Nah sekarang ini trend-nya termasuk juga pengalaman saya beberapa kali sering ke Kuala Lumpur, seperti Hotel Mandarin pun, di restorannya, mereka tidak lagi menyediakan babi. 

Mengapa? Karena lebih memudahkan dapat klien, daripada hanya dapat klien satu. Kalau tidak ada makanan haram, merekakan dapat dua-duanya. Umumnya, bagi non muslim, hal itu kan gak masalah. Sedangkan kalau buat muslim, mereka tidak akan makan kalau haram. 

Nah ini yang saya perhatikan, terus berkembang dari sisi makanan. Makanya di Bangkok tumbuh restoran-restoran halal.

Ketika Keputusan Menteri ini diperkenalkan, ada impact-nya?

Impact-nya banyak. Diam-diam pelaku industri perhotelah mulai ngikut yah. Level 1-2 kan hampir semua sudah mengikuti. You kalau masuk ke Marriot, masuk ke Sheraton Hotel , itu semua tersedia. Bahkan sekarang mallmall pun mulai menyediakan musholla. Di mall Casablanca, itu luxurios tempat sholatnya. Itu fasilitas. 

Makanya itu saya bilang halal tourism itu bukan persoalan agama an sich (bukan agama saja). Tapi juga masalah extended services, yakni pelayanan bagi yang mau melakukan. Contohnya aja kalau Budha. Itu biasanya dia vegetarian. Nah sekarang kalau kita naik pesawat, ada yang menawarkan spesial food, khusus untuk yang vegetarian. Kan itu service. Kita gak bisa paksa mereka makan sapi. Orang dia maunya sayur. 

Nah, sama aja itu di industri pariwisata halal. Nah makanya sekarang sudah mulai berkembang di Bali ada Rhadana Kuta Balu. Hotel ini menyabet gelar juara sebagai Best Halal Boutique Hotel in Asia atau Hotel Butik Halal Terbaik di Asia dalam ajang Asia Halal Brand Awards (AHBA) 2017), di  Bandung banyak hotel syariah. Di Solo ada 4 hotel besar kalau gak salah. di Jakarta, ada tadi hotel Sofyan, di Bandung, bahkan di Banyuwangi ada banyak.

Jadi kala itu label syariah masih diangap sensitif untuk disematkan pada sektor pariwisata?

Di sektor pariwisata, memang awalnya agak-agak sensitif. Sensitifnya apa? Karena orang akan berpikir, ini jangan-jangan menyangkut aturan kehidupan, misalnya, hotel. Jika hendak check-in akan ditanyain KTP, dsbnya. 

Kekhawatiran itu memang betul. Tetapi, kita bisa memulainya dengan yang lebih edukatif. Islam adalah agama yang damai, yang tidak mempersulit. Singkatnya, kemudian saya terpikir: mengapa tidak diterapkan juga untuk hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, terutama yang paling sensitif makanan (food). Lalu, pakaian. Jadi, sandang dan pangan. Selanjutnya yang berkaitan dengan lifestyle, seperti kosmetik, perbankan, dan tentunya sektor pariwisata. 

Menurut Pak Sapta, mengapa kala itu masih ada keraguan untuk menawarkan produk-produk berlabel halal atau syariah, padahal kita kan negara muslim terbesar di dunia? 

Ada 2 aspek. Pertama, mungkin karena halal atau syariah itu dianggap lumrah aja. Jadi, nggak perlu terlalu secara eksesif diurus. Ya, udah biasa aja. Misalnya, ada restoran orang Jawa bersih dan rapi, maka kita anggap udah pastilah itu halal. Kedua, masih ada fenomena seperti ketakutan atau fobi. Di awal-awal itu ada pertanyaan, apakah dari segi bisnis dengan model seperti itu, bakal laku. 

Hal itu memang wajar-wajar aja. Bayangin aja ada hotel halal, syariah. Nanti siapa yang mau masuk? Takut? Nanti gak bisa ini, itu. Tapi sebetulnya ketakutan itu tidak terbukti karena di dunia internasional termasuk tempat yang paling gawat aja, seperti Phuket, mereka ada hotel halal. Di Phuket itu ibarat kata orang antara sajadah sama haram jadah, beda tipis. Bahkan di Phuket Pat Ada hotel syariah yang lokasinya bahkan sebelahan. Konsumen tinggal memilih. 

Bahkan di Pattaya, itu udah ada hotel syariah. Kalau di Turki, pasti banyak. Di Bangkok, saya pernah menginap di Al Meroz, leading hotel halal di Bangkok. Itu laku sekali. Hotel syariah pertama di Bangkok ini dibangun oleh TS Family Group. 

Taktanggung-tanggung,mereka menginvestasikan dana senilai 1 miliar Baht untuk membangun hotel berklasifikasi bintang empat ini. Kalau masih ragu, ternyata di sejumlah negara hotel syariah bisa laku. Ternyata banyak juga tamunya.

Nah, Keputusan Menteri itu kan regulasi untuk pengelola hotel, bagaimana dengan calon tamu yang mau menginap? 

Nah itu yang dulu kontroversi. Menurut saya sih, aturan itu bisa perlu bisa tidak. Kenapa? Karena itu kesadaran dari masyarakat sendiri. Artinya, kalau sudah masuk ke hotel syariah yang seperti itu, mestinya dia gak bisa seleluasa kalau menginap di hotel umum. Jadi tahu dirilah, itu satu. 

Yang kedua, tentunya hotel-hotel itu tidak menyediakan hal-hal yang tidak sesuai dengan syariah. Itu yang paling utama. Nah sekarang hotel yang di Bangkok yang saya pernah nginap, ternyata banyak juga yang non muslim tinggaldisitu. Terutama keluarga-keluarga yang juga butuh calm atmosphere, yang gak mau hingar-bingar, yang gak mau alkohol atau minuman keras. 

Belakangan ini negara seperti Korea Selatan dan Jepang juga mulai menggarap pasar wisata halal dan Sukses.

Nah gini. Muslim travelling itu kini dilihat sebagai satu pasar besar, bisa mencapai billion dollar. Bukan kecil. Sayangnya, kita baru menerima porsi relatif sangat relatif, dibandingin pihak lain. Nah itu tentunya punya dampak kepada para penyedia jasa layanan pariwisata. 

Negara mana saja yang besar meraup halal tourism. Pertama, Thailand. Thailand itu visitornya lebih banyak daripada kita. Dia ada 5 jutaan yang disebut muslim travelling atau traveler. Mengapa? Karena mereka akomodatif. Apalagi soal makanan yang sangat sensitif, mereka menyediakan banyak restoran halal, dan secara online kita bisa tahu dimana saja. 

Nah Korea juga gak mau kalah. Visitor muslim juga cukup besar dari Indonesia, Brunei, dari Asia, dan tentunya dari Timur-Tengah. Makanya mereka me-launch pada 2016-2017 150 restoran di Seoul yang bisa diklik online yang menyediakan makanan halal. 

Di Malaysia, hampir semua hotel besar franchising sudah menerapkan standar halal. Mengapa? Karena masyarakatnya sudah semakin peduli. Mereka kalau tidak ada jaminan halal, gak mau masuk, gak mau makan. Rugi, jadinya. 

Di Singapura, termasuk kuat literasinya. Jumlah warga muslimnya hanya 800 ribu orang, tapi 700-750 ribu orang itu sadar bahwa dia harus makan sesuai dengan ajaran-Nya. 

Umpamanya Deli Franc’s Bakery, itu kan franchise dari Perancis, atau Restoran Mcd. Nah si McD dengan sadar, harus bikin jadi halal. Kenapa? Kalau gak maka yang 750 ribu pelanggan ini gak mau makan. Mereka akan makan di tempat lain. 

Oleh karena itu menurut saya, halal bukan hanya sekadar aturan agama bagi pemeluknya, tapi juga buat juga si pebisnis, karena ini pasar yang gede. 

Kembali ke Indonesia, captive market-nya besar tapi kompetisi globalnya juga tinggi ?

Dari report kita, Indonesia itu tidak hanya market sasaran, target market, tetapi juga produsen terbesar. Cuma masalahnya tadi itu perlu ada sertifikasi, perlu ada pembenaran bahwa itu memang totally halal. Nah ini yang jadi masalah. 

Sejauh ini bagaimana?

Ya, itu masalahnya, karena masih ada yang berpendapat ini high cost.  

Itu ibaratnya kalau kita bicara soal lingkungan. Lingkungan itu bisa menjadi mahal, kalau kita tidak menciptakan rantai produksi yang kondusif dari awal sampai ujung. Jadi, apakah perlu keberpihakkan? Yes. Kebijakan itu untuk memberikan juga dorongan paling tidak, aturannya apa sih? Perlu ada aturan yang menjamin bahwa produk itu halal, apakah lewat sertifikat? Kalau iya, itu harus betul-betul diterapkan, bukan hanya tempelan ‘halal’.

Kedua, produknya harus berkualitas sehingga masyarakat akan cari yang berkualitas di samping halal. 

Dalam beberapa tahun terakhir, ada trend banyak orang mulai hijrah. Mereka cenderung mengonsumsi produk yang halal.

Tapi saya yakin nanti, diantara produk yang halal itu juga akan terjadi kompetisi. Jadi orang akan mencari, pertama produknya halal, kedua, juga berkualitas. 

Nah itu satu. Tantangan kedua, kita juga berkompetisi dengan produk halal dari luar negeri. Kalau you halal, produk dari luar juga oke. Nah kan bisa bersaing juga nnati. 

Jadi harus ada kedua-duanya. Contoh hijab. Hijab itu halal, tapi harga yang bahan bakunya dari Turki ternyata lebih murah dibanding bahan bakunya dari Indonesia sendiri. Atau dari China. Buktinya sekarang sajadah aja udah bikinan dari China.  Jadi tetap ada unsur ini rasionalitas. 

 

Rin Hindryati