BAGAN SIAPI-API, bisniswisata.co.id: Festival Bakar Tongkang, tradisi tahunan warga Tianghoa di Bagan Siapi-api, Rokan Hilir, Provinsi Riau kembali digelar. Festival yang akan berlangsung 17 hingga 19 2019, juga dikenal dengan nama Go Gek Cap Lak dalam bahasa Hokkien, berasal dari kata Go berarti ke-5 dan Cap Lak berarti ke-16, sehingga ritual tersebut dirayakan setiap tahun pada hari ke 16 bulan ke 5 sesuai Kalender China.
Bakar Tongkang diartikan membakar kapal yang terakhir. Sebuah tradisi untuk memperingati keputusan penting pendatang Tionghoa pertama, yang meninggalkan tanah airnya dengan kapal dan menetap di Riau Pulau Sumatera.
Semula ada 3 kapal tongkang dalam ekspedisi. Namun hanya satu kapal yang mencapai pantai Sumatera. Dipimpin oleh Ang Mie Kui, kapal berhasil tiba di pantai Riau karena mengikuti kunang-kunang yang oleh warga lokal dikenal sebagai siapi-api. Mereka lantas memutuskan untuk menetap di sini dan bersumpah tidak akan kembali ke tanah air mereka.
Keputusan bersejarah para migran ini, ditandai membakar Kapal tongkangnya, yang kini setiap tahun dirayakan dengan membakar replika kapal tradisional Tiongkok di puncak festival.
Selama festival, dengan berbagai ritual serta doa oleh peserta di pura utama, biasanya diawali prosesi budaya, berbagai atraksi oriental yang berbeda seperti Barongsai juga panggung hiburan dari Medan, Singkawang (Kalimantan Barat) serta dari negara tetangga Malaysia, Taiwan, dan Singapura yang membawakan lagu-lagu Hokkien.
Puncak festival, yang merupakan pembakaran replika kapal besar, kerumunan dengan cemas mengantisipasi di mana tiang utama akan jatuh. Warga setempat percaya arah dimana tiang utama jatuh (apakah menghadap ke laut atau menghadap ke pedalaman) akan menentukan nasib mereka di tahun yang akan datang.
Jika tiang laut jatuh ke laut, mereka percaya keberuntungan akan datang sebagian besar dari laut, tapi ketika jatuh ke darat, maka keberuntungan tahun ini sebagian besar akan berasal dari daratan.
Replika kapal biasanya berukuran sampai 8,5 meter, lebarnya 1,7 meter dan beratnya mencapai 400Kg. Kapal itu akan disimpan untuk satu malam di Klenteng Hok Hok Eng. Kemudian diberkati lantas dibawa dalam sebuah prosesi ke tempat di mana kapal ini akan dibakar.
Prosesi tongkang juga melibatkan atraksi Tan Ki, dimana sejumlah orang menunjukkan kemampuan fisiknya yang luar biasa dengan menusuk diri dengan pisau tajam atau tombak namun tetap tidak terluka, agak mirip dengan tradisi Tatung di Singkawang di Kalimantan Barat.
Sesampainya di situs tersebut, ribuan potongan kertas permohonan berwarna kuning akan dilekatkan pada kapal yang membawa doa dari orang-orang untuk nenek moyang mereka, sebelum kapal tersebut akhirnya dibakar.
Ritual ini juga merupakan manifestasi ucapan terima kasih oleh rakyat kepada para dewa Ki Ong Ya dan Tai Su Ong yang membawa nenek moyang mereka dengan selamat hingga sampai ke Bagansiapi-api. Para dewa Ki Ong Yan dan Tai Su Ong mewakili keseimbangan antara kebaikan dan kejahatan, kebahagiaan dan kesedihan, serta keberuntungan dan bencana.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Rokan Hulu, Drs. Yusmar mengakui festival ini terbesar di Kabupaten Rokan Hilir dan menjadi kalender wisata tahunan, yang banyak dikunjungi wisatawan nusantara maupun mancanegara. Wisatawan tertarik lantaran event tradisi kuno untuk mengenang para migran China pertama yang meninggalkan tanah air mereka dan menetap di Riau.
“Bakar tongkang atau kapal merupakan simbol berakhirnya pelayaran mereka. Moment ini dirayakan setiap tahun pada hari ke-16 bulan ke-5 menurut kalender China. Tradisi yang juga dikenal sebagai Go Gek Cap Lak ditandai dengan aksi membakar replika kapal tradisional Tiongkok sebagai puncak festival,” ujarnya dalam keterangan resminya.
Awalnya, ada 3 kapal tongkang dalam ekspedisi. Namun hanya satu kapal yang mencapai pantai Sumatra. Dipimpin oleh Ang Mie Kui, kapal berhasil tiba di pantai Riau karena mengikuti kunang-kunang yang oleh warga lokal dikenal sebagai siapi-api. Mereka lantas memutuskan untuk menetap di sini dan bersumpah tidak akan kembali ke tanah air mereka. Para migran ini pun membakar tongkangnya.
Kota Bagan Siapiapi memiliki beragam destinasi wisata mulai wisata sejarah hingga wisata bahari, antara lain:
#. Pulau Jemur
Nama Pulau Jemur sendiri lekat dengan istilah Pak-ku yang dalam bahasa Hokkian berarti penyu dari utara. Istilah Pak-ku hingga kini sering digunakan para nelayan pesisir Riau. Pulau Jemur sebenarnya merupakan gugusan pulau-pulau yang terdiri dari beberapa pulau, antara lain, Pulau Tekong Emas, Pulau Tekong Simbang, Pulau Labuhan Bilik, dan pulau-pulau kecil lainnya. Panoramanya sangat indah. Pulau itu juga dihuni spesies penyu, di mana pada musim tertentu penyu-penyu itu naik ke pantai dan bertelur. Sekali bertelur bisa 100 sampai 150 butir per ekornya. di Pulau Jemur juga terdapat beberapa potensi wisata lain, antara lain Goa Jepang, Menara Suar, bekas tapak kaki manusia, perigi tulang, sisa-sisa pertahanan Jepang, Batu Panglima Layar, Taman Laut, dan pantai berpasir kuning emas
#. Rumah Kapitan
Rumah ini merupakan bukti keberadaan kapitan Tionghoa yang menjadi pemimpin lokal untuk orang-orang Tionghoa. Lokasinya di belakang hotel Lion Bagan Siapiapi berdiri akhir abad ke 18. Pada saat industri perikanan menjadi sumber pendapatan kota Bagan, Kapitan Tionghoa diberikan hak oleh Belanda untuk melakukan kontrol perdagangan. Sehingga berkembang menjadi monopoli di dalam bisnis. Dalam catatan Belanda, tahun 1908, mantan Kapitan Bengkalis Oey I Tam memiliki hak mompoli garam di kota Bagan, bersama Tjong A Fie, kapitan Tionghoa di Medan. Mereka memonopoli masuknya garam dari Singapura bahkan Mesir ke kota Bagan. Belanda mencatat, pendapatan bersih Oey memonopoli garam pada tahun 1908 sebesar 112,000 Gulden.
#. Pelabuhan Tua Belanda
Bagan Siapi-api memiliki Pelabuhan tua yang didirikan Belanda pada tahun 1924. Dipelabuhan ini terdapat 30 anak tangga dari permukaan menuju sungai Rokan. 21 anak tangga menurun disambung pelataran dilanjutkan dengan 9 anak tangga. Pelabuhan tua ini sekarang berada di halaman kantor Bea Cukai Bagan Siapiapi. Selain pelabuhan tua tersebut juga terdapat gudang tua yang telah didirikan oleh Belanda pada tahun 1920. Gudang tua tersebut dulunya difungsikan untuk menampung barang-barang yang masuk kota Bagan yang dibawa oleh kapal-kapal dari maskapai Pelayaran Belanda/Koninklijke Paketvaart Maatschappij.
#. Klenteng In Hok Kiong
Ini merupakan klenteng tertua di Bagan, yang dibangun abad ke 18 akhir, setelah orang-orang Tionghoa masuk ke Bagan Siapiapi. Ornamen-ornamen yang ada di klenteng ini masih sesuai kondisi masa lalu. Dari pagi hari, kita bisa melihat masyarakat Tionghoa Bagan melaksanakan ibadah. Juga menikmato ornamen khas China dan bau dupa yang mewarnai kunjungan. Juga ada Tugu perjanjian antara manusia dan setan ini menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagan merupakan penjaga kota agar tidak dimasuki makhluk jahat. Ada empat tugu perjanjian yang dibuat mengelilingi klenteng Hok In Kiong, Tugu perjanjian yang paling dekat bisa dilihat berjarak 100 meter dari klenteng.
#. Meriam Portugis
Meriam peninggalan tentara Portugis sekitar 350 tahun lalu. Memang tidak ada buku sejarahnya tahun 1982. Lokasi meriam ini terletak bersebelahan dengan Pelabuhan yang telah menjadi daratan yang kini berada di Belakang Kantor Bea Cukai Bagan Siapiapi. Namun keberadaan meriam ini menjadi sejarah tersendiri bagi kota Bagan Siapi-api
#. Water Leding
Water Leding merupakan bangunan peninggalan Belanda yang masih utuh di kota Bagan Siapiapi. Bangunan ini merupakan stasiun pengolahan air minum. Water leding dibangun Belanda pada tahun 1931. Kini tersisa berupa tandon air berukuran raksasa. Peninggalan-peninggalan ini menjadi bukti bahwa Bagan Siapiapi adalah kota yang maju pada zamannya. Sayangnya, Rumah Wedana, kantor Wedana, rumah Pegadaian, rumah kepala Bank Bagan Madjoe, dan pasar kota sudah dihancurkan pada saat kota Bagan berbenah menjadi ibukota Kabupaten Rokan Hilir.
(NDY)