INTERNATIONAL

Terkuak, Kesamaan Data Satelit Jatuhnya Ethiopian Airlines & Lion Air

WASHINGTON DC, bisniswisata.co.id: Bukti konkret pertama dari kemungkinan hubungan antara dua kecelakaan Boeing 737 MAX 8 yang mematikan, yakni Ethiopian Airlines ET 302 dan Lion Air JT 610, terkuak. Sumbernya, dari luar angkasa.

Sebuah jaringan satelit baru yang mampu melacak pesawat dengan detail mumpuni di seluruh dunia menangkap jalur penerbangan Boeing 737 MAX ET 302 yang jatuh pada Minggu 10 Maret 2019.

Data itu sangat vital, sampai-sampai, otoritas penerbangan Amerika Serikat menjadikannya sebagai salah satu alasan untuk bergabung dengan seluruh dunia dalam mengandangkan dan menangguhkan izin terbang (grounding) MAX, menurut pejabat industri aviasi dan regulator.

Data tentang penerbangan enam menit yang karut-marut dari pesawat Ethiopian Airlines meyakinkan Administrasi Penerbangan Federal AS (FAA) bahwa itu mungkin cukup mirip dengan apa yang terjadi pada kecelakaan Lion Air JT 610 pada 29 Oktober 2018 yang menerbangkan 737 MAX 8.

Setelah meninjau data yang dimaksud, pejabat FAA Daniel Elwell pada Rabu 14 Maret 2019 mengatakan, “(data itu) membuat jelas bagi semua pihak, sebenarnya bahwa jalur penerbangan Ethiopian Airlines sangat dekat dan berperilaku sangat mirip dengan penerbangan Lion Air,” demikian seperti dikutip dari NDTV, Jumat (15/3/2019).

Menteri Transportasi Kanada Marc Garneau juga mengutip data pelacakan satelit pada hari Rabu sebagai alasan negaranya bergabung dengan lebih dari 50 negara lain dalam menetapkan grounding pada model 737 MAX.

Data Satelit Seperti Apa?

Data satelit itu disediakan oleh Aireon LLC, yang dibentuk pada 2012 oleh Iridium Communications Inc. dan Nav Canada, perusahaan nirlaba yang memandu lalu lintas udara di Kanada dengan memiliki pengalaman bertahun-tahun pengembangan dan peluncuran 66 satelit ke orbit. Aireon juga akan memperkenalkan layanan pelacakan penerbangan komersial baru dalam beberapa minggu mendatang.

Soal pelacakan dari luar angkasa, perusahaan itu melakukannya dengan menggunakan teknologi GPS yang umumnya dikenal sebagai Automatic Dependent Surveillance-Broadcast atau ADS-B. Jaringan itu dioperasikan oleh Harris Corp, yang juga bermitra dengan Aireon.

Transmisi data hanya mencapai angkasa luar sepersekian detik setelah pesawat tertangkap radar antena darat dan itulah yang diandalkan Aireon untuk melacak penerbangan Ethiopian Airlines. Sebuah stasiun darat yang dioperasikan oleh perusahaan pelacak FlightRadar24 hanya menangkap data dari dua menit pertama penerbangan sebelum pesawat berada di luar jangkauan.

Aireon LLC berbagi informasi dengan Dewan Keselamatan Transportasi Nasional AS dan Administrasi Penerbangan Federal, serta “beberapa otoritas penerbangan Eropa dan berbagai otoritas penerbangan Afrika,” kata Jessie Hillenbrand, seorang juru bicara Aireon.

Pejabat FAA Daniel Elwell mengatakan, trek awal pesawat yang tersedia segera setelah kecelakaan oleh perusahaan terpisah dengan stasiun darat di Ethiopia tidak konsisten dengan bagaimana pesawat terbang dan tidak dapat dipercaya. Namun, ketika para pakar agensi meninjau trek yang disempurnakan yang disediakan oleh Aireon, hal itu menimbulkan kekhawatiran.

Pesawat Lion Air mengalami lebih dari dua lusin penurunan tajam segera setelah lepas landas. Dan hal itu mungkin terjadi pula pada Ethiopian Airlines ET 302 sebelum jatuh.

Penyelidik KNKT Republik Indonesia mengatakan dalam laporan awal bahwa pesawat Boeing 737 MAX 8 Lion Air JT 610 secara otomatis diperintahkan untuk melakukan nosedive karena perangkat lunak yang dikenal sebagai Sistem Augmentasi Karakteristik Manuver (MCAS) mengira pesawat itu dalam bahaya karena kehilangan daya angkat pada sayap.

Boeing telah menambahkan MCAS sebagai perlindungan terhadap kondisi stall pada aerodinamika pesawat. Namun, dalam kasus penerbangan Lion Air, sensor yang tidak berfungsi memberi isyarat bahwa pesawat itu dalam bahaya ketika sebenarnya tidak dan memerintahkan nosedive yang tidak perlu.

Alih-alih mematikan motor yang memicu nosedive –prosedur yang harus dihapal pilot pada semua model 737– kru Lion Air terus menangkalnya dengan kontrol mereka sampai tenggelam ke laut.

Sementara FAA dan Kanada tidak merinci jalur penerbangan pesawat Ethiopia, mereka tampaknya sampai pada kesimpulan sementara bahwa ET 302 memiliki momen pra-jatuh yang mirip dengan JT 610, di mana pesawat Afrika itu mengalami perubahan altitude yang sangat tidak biasa diikuti oleh kenaikan ketinggian. Biasanya, sebuah jet naik dengan mantap setelah lepas landas.

“Ini tentu menempatkan sorotan pada sistem MCAS,” kata Peter Goelz, seorang mantan direktur pelaksana di Dewan Keselamatan Transportasi Nasional AS (NTSB) yang kini jadi wakil presiden senior di O’Neill & Associates, sebuah perusahaan lobi dan hubungan masyarakat di Washington.

“Ada implikasi bahwa ada dua kecelakaan serupa dan itu kemungkinan melibatkan interaksi sistem MCAS dengan penerbangan pesawat.” katanya sambil menambahkan banyak pakar penerbangan mengatakan terlalu dini untuk menyatakan kemiripan kecelakaan ET 302 dan JT 610.

Pejabat FAA Daniel Elwell mengingatkan bahwa masih belum ada bukti definitif yang menunjukkan bahwa kedua kecelakaan itu terkait.

Investigasi kecelakaan di Indonesia belum selesai. Selain MCAS, laporan awal menyebutkan kegagalan pemeliharaan berulang dan masalah kinerja pilot. Sebagai contoh, pesawat Lion Air mengalami kerusakan MCAS yang sama pada penerbangan sebelumnya tetapi tidak diperbaiki.

Pilot Ethiopia telah menerima pemberitahuan tentang MCAS dan pelatihan tambahan yang disarankan oleh Boeing setelah kecelakaan Lion Air, Tewolde Gebre Mariam, kepala eksekutif Ethiopian Airlines mengatakan kepada wartawan dalam siaran di ETV yang dikendalikan negara.

“Begini, bahwa iya kebetulan kedua kecelakaan terjadi pada pesawat yang sama (Boeing 737 MAX 8), benar juga bahwa keduanya jatuh pada critical minutes setelah take off, dan betul bahwa semua penumpang tewas dalam kecelakaan itu –tanpa mengurangi rasa duka dan hormat kepada keluarga korban,” kata Chappy, Senin 11 Maret.

“Tapi, untuk sampai pada kesimpulan akhir atau menyebut bahwa ada kerusakan dan penyebab serupa, dan ini sama seperti yang saya katakan saat tragedi JT 610, maka, perlu adanya penyelidikan menyeluruh dan komplet atas hal itu,” jelasnya. “Hingga ada hasil penyelidikan menyeluruh, semua itu hanya perkiraan.”

Mantan pejabat FAA, Scott Brenner mengatakan kepada CBS News bahwa agensi masih harus menunggu data dari kotak hitam jet Ethiopia sebelum membuat keputusan.

Penyelidik Ethiopia kini telah mengirim kotak hitam ke Paris untuk dianalisis – hampir tiga hari setelah mereka diambil dari lokasi kecelakaan di sebuah ladang dekat desa Tulu Fara di luar kota Bishoftu, 40 mil di tenggara ibukota Ethiopia.

Kevin Durkin, seorang pengacara penerbangan, mengatakan hubungan itu bisa menjadi penting dalam setiap kasus pengadilan. Jika Boeing mengetahui adanya cacat pada armada 737 MAX, pabrikan pesawat bisa menghadapi dakwaan tambahan dalam tuntutan hukum. Pengetahuan perusahaan tentang cacat itu mungkin ditunjukkan oleh pernyataannya bahwa mereka membuat perubahan perangkat lunak setelah Lion Air JT 610, katanya.

“Jika Anda memiliki produk yang cacat dan ternyata Boeing tahu tentang hal itu, ini dapat dengan mudah membuat mereka terkena hukuman,” kata Durkin, seorang mitra di Kantor Hukum Clifford di Chicago.

“Standarnya adalah apakah perusahaan terlibat dalam perilaku dalam ketidakpedulian yang disengaja terhadap keselamatan orang lain,” lanjut Durkin.

Boeing mengatakan bahwa cukup dengan mengikuti prosedur lama seharusnya cukup untuk mencegah kecelakaan yang melibatkan kegagalan MCAS. Pada hari Rabu, pabrikan yang berbasis di Chicago mengeluarkan pernyataan yang mengatakan masih memiliki “kepercayaan penuh” pada pesawat produksi mereka.

“Kami mendukung langkah proaktif ini dengan kehati-hatian,” kata Kepala Eksekutif Boeing Dennis Muilenburg dalam pernyataan itu, merujuk pada tindakan FAA. “Kami melakukan segala yang kami bisa untuk memahami penyebab kecelakaan dalam kemitraan dengan para penyelidik, menyebarkan peningkatan keselamatan dan membantu memastikan ini tidak terjadi lagi. (NDY)

Endy Poerwanto