LAPORAN PERJALANAN

Menikmati Prosedur Penerbangan di Tengah Pandemi global & Kegalauan

Direktorat Pengembangan Destinasi Pariwisata Regional I Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/ Badan Parekraf mengundang bisniswisata. co.id untuk menghadiri Rapat Kordinasi Desa Wisata Super Prioritas Borobudur di Hotel The Phoenix Hotel Yogyakarta – MGallery Collection. Berikut tulisan pertama.

YOGYAKARTA, bisniswisata.co.id:  Selama tujuh bulan tidak mengunjungi bandara dan tinggal di rumah  mengikuti anjuran pemerintah untuk Work from Home ( WfH) baru hari inilah saya menjejakkan kaki kembali di Terminal 3 Soekarno Hatta, Tangerang.

Terakhir pulang dari Banjarmasin awal Febuari 2020 lalu menghadiri Hari Pers Nasional ( HPN 2020). Kepergian saya kali ini ditengah pandemi global yang membuat Jakarta menjadi zona merah memang penuh kontroversi diantara tiga anak dan seisi rumah. Namun  doa keluar rumah terus meluncur di hati.

” Bismillahi Tawakkaltu ‘Ala Allah, Laa Haula Quwwata Illaa  Billah ”                                         “Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah.”

Dari rumah di kawasan Andara Village, Cinere ternyata hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk tiba di terminal tiga domestik. Sejak berdinas menjadi ‘kuli tinta’ saya memang 99% menggunakan penerbangan Garuda Indonesia untuk kegiatan dilingkungan domestik termasuk ritual ” pulang kampung,” karena almarhum suami sang pangeran dari silsilah HB IV memang berasal dari Ngayogyakarta Hadiningrat.

Tiba dibandara saya langsung duduk di area luar sambil mengawasi kondisi bandara. Taksi dan mobil pribadi cukup ramai menurunkan penumpang. Alhamdulilah kesadaran menggunakan masker di semua petugas yang ada cukup tinggi, begitu juga dari para penumpang yang turun dari kendaraannya.

Tiba di dalam area check-in, saya diarahkan staff Garuda Indonesia untuk konfirmasi hasil rapid test yang sudah saya bawa hasil pemeriksaan di rumah sakit swasta di Lebak Bulus. Counter nya  ditengah antara Tempat check-in C & D.

Karena datang awal tiga jam sebelum keberangkatan maka tidak ada antrian panjang. Petugas membaca hasil rapid test lalu memberikan tanggal pemeriksaan dan cap bertuliskan Goverment of Indonesia, bukan cap Angkasa Pura 2, pengelola bandara.

Kalau melihat dari panjangnya tali pembatas maupun gambar jejak kaki di lantai tempat calon penumpang harus berdiri  membuat antrian demi social distancing, kemungkinan sudah ada kecendrungan tingkat kepadatan penumpang nih, apalagi ada sekitar  6 petugas yang melayani.

Dari counter rapid test, saya kembali check-in dan petugas memeriksa lagi surat hasil rapid test yang sudah dikasih cap. Alhamdulilah gate 11 dan nomor kursi sudah tertera di boarding pass. Maklum gate 11 adalah pintu masuk ke pesawat yang terdekat di terminal yang sangat luas ini, jadi saya tidak perlu jalan jauh.

Setelah beres pemeriksaan saya duduk sejenak dan buka aplikasi  eHAC Indonesia, kepanjangan dari nama : Indonesia Health Alert Card dari Ditjen Pencegahan & Pengendalian Penyakit, Departemen Kesehatan RI.

Kebetulan semalam aplikasi sudah di unduh jadi tinggal daftar email dan password, lalu duduk sambil mengisi pertanyaan dasar (basic)  dari mana mau kemana hingga ke nomor tempat duduk dalam pesawat. pastinya sih untuk kemudahan tracing apabila seseorang terpapar COVID-19 karena banyak yang menjadi Orang tanpa Gejala ( OTG).

Setelah itu langsung menuju gate untuk masuk ke dalam pesawat dan melewati pemeriksaan lagi. Tiga petugas wanita menghadang dan kita harus memperlihatkan surat rapid test, boarding card serta KTP. Setelah lolos dari sini antri untuk melewati  pemeriksaan alat memindai dan metal detector

Kaum pria biasanya harus melepas ikat pinggang segala. Sementara kalau wanita meskipun tidak perlu melepas perhiasan terutama kalung, petugas khusus wanita akan segera bereaksi kita ada bunyi akan perhiasan.

Selesai pemeriksaan turun dengan tangga berjalan ( escalator) menuju gate, melewati beberapa toko seperti Batik Keris dan toko oleh-oleh. Saat turun dengan escalator itu terlihat area cafe dan restoran 90% masih tutup akibat bandara sempat  lumpuh karena pandemi COvID-19.

Saat turun sudah terlihat tanda Gate 11 di ujung escalator jadi tinggal jalan lurus. Tapi untuk gate 12 hingga 28 harus  belok ke kiri dan mengikuti panduan yang ada. Untuk menuju gate yang jauh ada buggy car atau mobil golf bisa muat untuk 4-5 orang kalau tidak bawa banyak bagasi. 

Turun dari escalator di kiri ada dua musholla. Tadinya mau cari aman dan berjauhan dari calon penumpang lainnya dengan ‘ngumpet’  karena dari rumah sudah shalat dhuha dan masih ada 2 jam lagi hingga tiba keberangkatan. Tapi setelah melongok sejenak lebih baik duduk dibagian luar atau depan musholla.

Tapi sudah keduluan dua orang yang asyik bekerja dengan laptopnya. Akhirnya cari tempat duduk seputar gate 11 saja di tempat duduk bertuliskan ‘ Priority’ maksudnya sih buat wanita hamil dan warga senior gituh seperti di commuterline.

Kebetulan ada kursi yang kosong jadi kursi yang boleh diisi saya duduki, sementara kursi yang diberi tanda silang saya lap dulu dengan tisu basah untuk menempatkan tas tangan dan tas Kipling coklat  isi baju untuk 4 hari kerja yang sudah menemani saya traveling 17 tahun terakhir.

Berpose di ruang Bandara Yogjakarta Internasional Airport, antrian upload eHAC, ruangan bandara dan wajah depan YAI.

Reflek begitu duduk langsung potret-potret dan baru menyadari banyak juga calon penumpang. Terlihat toko-toko branded dan restoran jajanan pasar tempat saya biasa nyantai dan ngopi masih tutup. Begitu juga kedai-kedai kopi di sisi escalator tadi masih banyak yang tutup. Cuma jam tangan dan butik tas yang buka.

Pandangan luas ke depan dengan struktur ruangan beratap  tinggi dan pandangan facades dari stainless steel dan kaca-kaca lebar. Kalau area ruangan Terminal 3 ini totalnya mencapai 422.804 m2  atau 4.551.020 square fit.

Suara pengumuman keberangkatan berkumandang terus ada ke Papua, Aceh dan kota-kota lainnya yang jadi rute andalan Garuda Indonesia. Alhamdulilah, bersyukur Indonesia negara kepulauan dan himbauan organisasi penerbangan dunia ( IATA) agar negara-negara mencabut larangan terbang sudah mulai efektif.

Jujur ketika Singapore Airlines  mengumumkan rencana PHK 4300 karyawannya membuat saya sedih sekali karena perusahaan yang dimata dunia begitu kuat dan punya reputasi berbagai penghargaan terbaik itu akhirnya rontok juga karena hanya punya jalur internasional yang lumpuh di seluruh dunia karena pandemi.

Bersyukur Indonesia negara Kepulauan dan banyak jalur domestik yang masih bisa dilayani hingga meski ada ancaman PHK 1,6 juta karyawan hotel di berbagai daerah, untuk airlines nasional maupun milik swasta insya allah masih bisa menyambung ‘nyawa’.

Apalagi Indonesia National Air Carriers Association (INACA) memastikan Safe Travel Campaign yang dilaksanakan sejak awal Agustus 2020, mampu meningkatkan rasa percaya diri masyarakat untuk kembali terbang. 

Diterapkannya protokol kesehatan secara ketat oleh maskapai penerbangan dan pengelola bandara, menjadi faktor pendorong masyarakat untuk kembali bepergian.

Ketua Umum INACA, Denon Prawiraatmadja melaporkan asosiasi maskapai yang dipimpinnya telah melakukan Safe Travel Campaign mulai 7 Agustus 2020 dengan mensosialisasikan kesehatan dan keselamatan penerbangan menuju Bandara Ngurah Rai, Bali dan Bandara Kualanamu, Medan.

Selain melibatkan maskapai anggotanya, INACA juga merangkul PT Angkasa Pura I (Persero) dan PT Angkasa Pura II (Persero) sebagai pengelola bandara, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), AirNav Indonesia, serta pengelola rumah sakit untuk menjalankan kampanye tersebut.

Alhamdulilah panggilan untuk masuk pesawat tiba. Prosesnya harus kenbali me unjukkan hasil rapid test dan KTP. Saat melewati pintu masuk pesawat, tempat yang biasa di letakkan koran dan permen berganti dengan hand sanitizer.

Dengan demikian penumpang harus melakukan.     ‘ prosesi’ ini. Dengan demikian jaga jarak secara otomatis berlaku karena yang lain harus sabar sejenak mengerem langkah.

Saya mendapat kursi dua baris sebelum ujung ekor pesawat. Wah lumayan sesuai harapan agar tidak terlalu bersinggungan dengan banyak orang. Duduk di sisi kiri, dua baris di belakang saya full ada penumpang mulai dari baris depan. Sementara di sisi kanan dua baris kosong. Setiap baris diisi dua orang jadi kursi tengah memang sengaja dikosongkan untuk jaga jarak.

Ketika makanan tiba di bungkus kertas, kedua tangan pramugari memakai sarung tangan tipis yang biasa saya pakai saat bikin Sushi dan lemper. Saya terima jatah makan padahal Aida, asisten keluarga  di rumah sudah wanti-wanti : “Ibu tahan jangan makan ya, nanti kalau makan buka masker lagi ” ujarnya galak.

Aduh laper nih, maaf deh kan mas Adit, anak sulung malem sebelum keberangkatan sudah membekali mamanya dengan face shield ala helm motor. Jadi saya tetap makan dengan membuka masker bagian bawah sedikit dan makan satu buah roti bakery isi daging dan camilan kacang.

Lagi pula Sabtu siang, anak perempuan saya Deska sudah mendatangkan bidan dari RS Bunda untuk memvaksin saya dan anggota keluarga terutama baby Dasha anak Deska yang berusia 9 bulan. Vaksin untuk saya adalah vaksin Influensa dan melindungi paru-paru juga, insya allah cocok untuk menghadang virus.

Tak terasa satu jam perjalanan terlewati dengan tontonan Drakor Korea, Pilot menginformasikan untuk bersiap mendarat di Yogyakarta International Airport ( YAI) yang baru di Kulon Progo, sekitar 1,5 jam dari kota Yogyakarta. Laut biru pantai Selatan menjadi pemandangan indah saat pesawat mulai mendarat.

YAI adalah  Bandar Udara Internasional yang dibangun di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, menggantikan  Internasional Adisutjipto yang sudah tidak mampu lagi menampung kapasitas penumpang dan pesawat.

Bandar udara ini berdiri di tanah seluas 600 hektar dan diperkirakan menelan biaya Rp9 triliun. Bandara ini akan memiliki terminal seluas 210.000 meter persegi dengan kapasitas 20 juta penumpang per tahun.

Selain itu, bandar udara tersebut diperkirakan bakal memiliki hanggar seluas 371.125 meter persegi yang direncanakan bakal sanggup menampung hingga sebanyak 28 unit pesawat. Bandara ini juga, bisa menampung pesawat berbadan lebar, seperti B777, B747, A380

Untuk menuju tempat pengambilan bagasi, penumpang fihadang lagi untuk menunjukkan data isian eHAC tinggal scan saja sih ke petugas yang melayani. Namun setelah HP dimatikan dalam pesawat sata tidak bisa mengunduh dan jawaban eror, bikin nervous.

Akhirnya sama petugas biarding pass di sobek sebagian dsn dibaliknya isi dara manual, nama, usia, tujuan di Yogja barulah lolos bergabung dengan rombongan di lantai bawah pengambilan bagasi. Ternyata tinggal menunggu saya saja yang terhambat karena internet tidak mukus padahal di Handphone sudah tersedia paket data juga tidak mengandalkan WiFi.

Saat mampir makan siang di restoran di daerah Wates, jam sudah menunjukkan 2.45 menit. Ruang yang diblok khusus untuk 20 orang rombongan dan prosedur masuk restoran yang juga mengikuti protokol kesehatan membuat saya merasa lega dan sudah melakukan Safe Travel.

Saat perjalanan ke hotel langsung teringat pesan menantuku Mitha dan cucu pertama Sarah Anjani, agar begitu tiba langsung mandi jangan rebahan dulu di tempat tidur karena perjalanan dari Jakarta hingga Yogyakarta prosesnya cukup panjang. Ahamdulilah lancar jaya, semua terlampaui. Nah siapa berani terbang ? Yuk ikuti prosedur dan nikmati wisata domestik. 

 

 

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)