Luwak sejenis musang pemakan biji kopi (foto: time)
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Suatu hari seorang teman di Amerika tiba-tiba mengirim email. Dengan sangat antusias ia bertanya,’benarkah ada kopi di Indonesia yang dibuat dari biji kotoran musang?’
Adik laki-lakinya saat itu sedang merintis bisnis warung kopi dan es krim di Kanada. Sudah lama katanya ia mendengar mitos kopi jenis ini. Ya, Kopi Luwak itu namanya.
Ketika mendapat email itu saya belum bertemu Pak Lastowo, seorang ADM di perkebunan kopi milik pemerintah yang ada di Banyuwangi, Jawa Timur. Kepada teman tersebut saya katakan, itu hanya mitos walaupun label ‘Kopi Luwak’ sudah dipakai oleh produsen kopi lokal di Semarang, Jawa Tengah.
Kemudian saya berkesempatan mengunjungi perkebunan kopi di Banyuwangi pada pertengahan 2002 silam saat masih bekerja di koran The Asian Wall Street Journal. Dari Pak Lastowo saya ketahui bahwa kopi luwak bukan mitos tapi nyata adanya.
‘Kopi yang berasal dari kotoran luwak adalah kualitas yang terbaik karena luwak hanya makan biji kopi yang betul-betul matang. Ketika biji-biji ini keluar sebagai kotoran luwak ia masih dalam keadaan tertutup dan kering. Jadi tetap aman untuk dikonsumsi,’ katanya meyakinkan.
Ia pun menambahkan kopi Luwak ini hanya dihidangkan kepada tamu tertentu misalnya bos perkebunan di sini. Alasannya sederhana saja: jumlahnya amat terbatas dan rasanya sungguh nikmat.
Terbatas karena jumlah luwak mulai berkurang. Ketika itu kami sampaikan kalau kopi luwak di Amerika dijual dengan harga yang sangat tinggi. Kompas baru-baru ini menyebut harga kopi luwak per 500 gram bisa mencapai Rp 9,5 juta rupiah.
Agustus 2008 saya agak kaget ketika seorang narasumber lama (pernah kami wawancarai saat masih reporter di koran The Asian Wall Street Journal) menelepon untuk memberitahu bahwa mereka sedang panen kopi luwak.
Bapak yang wajahnya pun saya sudah tak ingat lagi ini pejabat perkebunan kopi milik negara (PTPN) di Banyuwangi di Jawa Timur, tetapi bukan Pak Lastowo tadi.
“Apakah Ibu masih tertarik meliput panen kopi luwak?” katanya. Saya jelaskan bahwa saat ini saya tak lagi bekerja. Dia mafhum, buktinya masih terus saja bercerita.
Setelah telepon itu ingatan saya seketika kembali ke tahun 2002 silam waktu kami berkunjung ke perkebunan itu. Kala itu mereka sedang tidak panen sehingga kami pun gagal mencicipi kopi langka tersebut. Sayang sekali…Kalau tidak sedang panen sulit sekali melihat seperti apa dan bagaimana proses pembuatan kopi luwak.
Untuk sekadar membayar rasa penasaran, kami bahkan gagal menemukan seekor luwak pun di sana. Walaupun memang melihat juga ceceran kotoran luwak berbiji kopi di tanah. Kata pekerja di sana, luwak atau musang senang meninggalkan ‘kotorannya’ di tempat yang relatif bersih dan terbuka.
Karena tak bisa menyaksikan sendiri proses terciptanya kopi luwak saat itu kami pun bergumam, ’Ah…berarti kopi luwak hanya mitos.’ Kami kembali ke Jakarta tanpa bukti. Alhasil artikel yang kami buat dianggap tak layak muat oleh editor.
Kopi luwak langka betul sehingga harganya mahal. Seorang teman di Amerika bilang harga per kilonya di sana jauh lebih mahal dibanding harga emas. Jadi mungkin kopi termahal di dunia.
Di Amerika Serikat pembeli utamanya, menurut dia, kebanyakan orang Jepang dan Amerika. Di toko khusus yang menjual ‘kopi langka’ saja mereka bisa memperolehnya.
Sudah begitu lama saya tak mendengar ada kopi luwak yang dipanen. Tak heran kalau telepon pejabat perkebunan tadi kontan mengagetkan saya. Pertanyaan bagaimana mereka bisa panen kopi luwak saya lontarkan ke dia.
Jawabnya? Ternyata mereka telah menternakkan luwak sampai ratusan ekor. Aha…! Mengapa baru sekarang itu dilakukan? Toh dulu kami sudah pertanyakan mengapa perkebunan itu tidak menernakkan saja luwak agar bisa menghasilkan kopi luwak kualitas terbaik dalam jumlah besar.
Waktu itu jawaban mereka: itu tak dilakukan karena khawatir kawanan luwak akan berkembang biak tak terkendali sehingga sulit mengurusnya jika tidak sedang panen kopi. Biaya pemeliharaan luwak tak akan sebanding dengan hasil panenannya, tambahnya.
Karena luwak tak ditangkarkan, waktu itu mereka sulit memprediksi jumlah kopi luwak yang dapat diproduksi setiap musim panen kopi tiba.
“Kopi ini menjadi langka karena produksinya benar-benar bergantung pada jumlah luwak yang memakan kopi saat panen. Luwak ini hidup liar. Datang hanya saat panen.
Jadi sulit memperkirakan produksi per tahun. Tapi rata-rata kami dapat memproduksi 200 kilogram kopi luwak dari total area perkebunan sekitar 764 hektar,’ kata pejabat tersebut ketika kami wawancarai pada 2002 silam.
Ketakpastian itu yang membuat mereka tak berpikir menjual kopi luwak secara komersil. “Kami suguhkan hanya untuk tamu-tamu khusus, terutama para pejabat perkebunan. Sisanya, sedikit, kami jual ke produsen kopi swasta di Jawa untuk digunakan sebagai essense kopi yang akan mereka produksi.”
Tapi kini karena nilai jual kopi luwak yang tinggi, banyak produsen kopi yang mulai menangkarkan luwak untuk ‘dikerahkan’ saat panen kopi. Sebagian orang percaya kopi luwak yang berasal dari luwak yang ditangkarkan memiliki cita rasa yang berbeda dengan kopi luwak dari luwak liar.
‘Rasanya berbeda dan itu sebabnya harga kopi luwak dari luwak liar lebih mahal,’ kata seorang petani kopi di Lampung.
Kopi luwak ini sempat membuat penasaran kawan Amerika saya tadi. Ia ingin tahu seluruh proses sampai kopi luwak terwujud. Ini mencakup bagaimana kopi mulai ditanam sampai buahnya dipetik,.
Lalu bagaimana luwak mengkonsumsinya, seperti apa habitat hewan ini di sana, cara perkebunan dan penduduk lokal mendapatkan biji-biji kopi dari luwak, proses produksi biji kopi ‘spesial’ itu, hingga proses akhir yaitu packaging dan delivery.
Semakin banyak informasi yang ia dapat di internet tentang kopi yang satu ini kian penasaran dia. Sayang harga jual yang tinggi membuat ia sulit menjual kopi luwak di Amerika.
Kata kawan saya yang keturunan Taiwan ini, masyarakat di sana ternyata belum merasa perlu membayar kopi yang berasal dari kotoran hewan dengan harga tinggi, maka ia pun urung melanjutkan rencana bisnisnya.
Luwak-luwak hanya memakan kopi yang matangnya betul-betul pas, kata seorang kepala kebun saat menemani kami mencari-cari kotoran luwak berbiji kopi, waktu itu. Memang yang saya saksikan di kotoran luwak saat itu adalah biji kopi yang sudah matang betul (berwarna amat merah).
Kopi luwak, menurut mitos yang berkembang di Indonesia, dapat meningkatkan vitalitas. Rasanya sendiri, kata orang yang pernah menyeruput, unik. Artinya, tak dapat ditemukan pada kopi jenis mana pun. Tak mengherankan tentunya. Toh ia dari biji kopi yang telah dicerna di perut luwak.
Anda ingin mencoba rasanya? Silakan saja. Agar tak menunda-nunda, sebaiknya tak perlu dengan banyak pertimbangan seperti para penikmat kopi di Amerika. Mereka sampai sekarang, misalnya, masih saja memperdebatkan apakah cukup higenis mengkonsumsi kopi yang notabene berasal dari (biji kopi) kotoran binatang.