CIREBON, bisniswisata.co.id: Komunitas XPedisi Feminis menjelajah Nusantara dengan perspektif keadilan dan kesetaraan. Salah satunya menelusuri sejarah perempuan dan Islam sambil berwisata di Cirebon. Kota udang ini memiliki keunikan sebagai tempat masuk dan perkembangan agama Islam pertama kali. Alhasil hingga kini Cirebon jadi salah satu kawasan mayoritas umat Muslim di Indonesia.
“Ada banyak objek wisata bernapaskan Islam, kebudayaan lokal berasimilasi dengan ajaran agama Islam, serta tradisi pesantren yang kental. Semuanya semakin mengukuhkan Cirebon sebagai daerah yang Islami dan berbudaya,” papar Trinzi Mulamawitri, pegiat komunitas XPedisi Feminis dalam keterangannya.
Sekitar 30 orang anggota Komunitas XPedisi Feminis, seperti dikutip laman Bisnis, Sabtu (27/10/2018) dengan menelusuri sejarah Islam dan perempuan di Cirebon, antara lain:
#. Goa Sunyaragi
Goa Sunyaragi adalah kompleks gua peninggalan masa Kesultanan Cirebon. Goa ini termasuk bagian dari Keraton Pakungwati. Menurut bahasa Sanskerta, Sunyaragi berarti sunya yang artinya sepi, dan ragi artinya raga. Dengan kata lain goa ini adalah tempat orang untuk menjalani mati raga. Goa Sunyaragi didirikan oleh cicit dari Sunan Gunung Jati yang bernama Pangeran Kararangen pada 1703. Ada pun luas wilayah goa sekitar 15 hektare dan terdiri dari dua bagian, yaitu pesanggrahan dan gua.
Di bagian pesanggrahan terdiri dari kamar tidur, serambi, ruang rias, dan ruang ibadah. Keunikan dari goa ini adalah bagian pesanggrahan yang dikelilingi taman dan kolam. Sedangkan di bagian gua terdapat beberapa ruangan dengan fungsi berbeda.
Ada 12 ruangan di dalam Goa Sunyawagi yakni: Bangsal Jinem digunakan sebagai tempat Sultan memberikan wejangan, Goa Pandekemasan sebagai tempat pembuatan senjata, Goa Pengawal sebagai tempat para pengawal Sultan, Goa Langse sebagai tempat beristirahat, Goa Padang Ati sebagai tempat bersemedi, Goa Peteng sebagai tempat melatih kekebalan tubuh,
Selain itu, Goa Arga Jumud sebagai tempat bagi kerabat keraton, Goa Pawon sebagai dapur dan tempat penyimpanan makanan. Goa Lawa sebagai tempat berkumpulnya kelelawar, Goa Kelanggengan sebagai tempat bersemedi agar mendapat kelanggengan, Goa Simanyang sebagai pos penjagaan Kompleks Mande, Gapura Istana Keraton Kasepuhan.
#. Keraton Kasepuhan
Keraton Kasepuhan dibangun sejak abad ke-14 dengan nama Keraton Pakungwati untuk mengenang istri Sunan Gunung Jati. Seperti diketahui Sunan Gunung Jati adalah penyebar agama Islam di Cirebon. Total luas lahan Keraton Kasepuhan 25 hektare yang terdiri dari berbagai macam bangunan. Misalnya bangunan Siti Hinggil yang merupakan bangunan pertama atau bangunan paling depan saat pengunjung memasuki kawasan keraton.
Siti Hinggil berarti tanah yang tinggi atau lemah duwur dalam bahasa Cirebon. Siti Hinggil terbuat dari susunan bata merah dan memiliki gaya arsitektur Majapahit yang mengikuti perkembangan zaman pada saat itu. Di dalam kompleks Siti Hinggil ada lima bangunan tanpa dinding, dengan bangunan utama bernama Malang Semirang. Bangunan ini memiliki enam tiang yang melambangkan rukun iman.
Secara keseluruhan, bangunan ini memiliki tiang berjumlah dua puluh yang melambangkan sifat-sifat Tuhan. Masuk ke kompleks keraton, pengunjung melihat gapura bergaya Majapahit. Kata Gapura diambil dari bahasa arab, yaitu Al Ghafur yang artinya maha pengampun. Pengunjung juga bisa menyaksikan kereta keraton dan benda-benda pusaka di gedung baru museum yang juga menyimpan peninggalan bersejarah Sunan Gunung Jati.
#. Pesantren Kebon Jambu al-Islamy
Pesantren ini dipimpin Nyai Hj. Masriyah Amva. Pesantren yang memiliki murid sekitar 1.400-an santri dan santriwati ini dikenal sebagai pesantren feminis. Setahun belakangan di pesantren ini juga terdapat Ma’had Aly, yaitu pendidikan setara S1 berbasis pesantren di bawah lindungan Kementerian Agama yang fokus pada kesetaraan gender.
Saat bertemu peserta Xpedisi Feminis, Nyai Amva banyak bercerita tentang latar belakang puisi-puisi yang diciptakannya. Secara tegas Nyai Amva berujar bahwa, “Perempuan Islam wajib, fardhu ain, menjadi feminis. Perempuan yang bergantung pada Allah. Tidak ada satu ulama besar pun yang akan menentang karena ini ajaran yang dianjurkan oleh Nabi Adam sampai Rasul. Khususnya [untuk] perempuan yang senang bergantung pada laki-laki, budaya itu harus dihilangkan.” sambungnya. (EP)