Oleh Nur Hidayat
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Seringkali kita menerima berita duka di WhatsApp Group ( WAG) : Innaalillahi wa innailaihi raajiuun. Berita duka: telah menghadap ke haribaan Allah Ta’ala suami, ayah, kakek kami, Jum’at pagi jam 05.25 di rumah, saat sedang membaca Al-Qur’an. Sudilah kiranya semua memaafkan kesalahan dan kekhilafan almarhum. Jenazah akan dimakamkan di TPU Tanah Kusir setelah shalat Jum’at.
Mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap, nama kita akan tertulis di pemberitahuan seperti itu. Kita sedang antri, menunggu giliran menuju “rumah masa depan”. Pertanyaannya: seberapa banyak bekal yang akan kita bawa menghadap-Nya.? Apa itu cukup.? Cuma sedikit.? Bila kita ditanya malaikat Munkar dan Nakir, apa kita mampu menjawab semua pertanyaannya dengan benar.? Sewaktu dihisab, bagaimana hasil akhirnya.?
Kita mungkin sangat asyik merasakan kenikmatan duniawi, sehingga lupa mengingat mati. Apalagi menyiapkan bekal. Kematian mungkin salah satu hal paling tabu untuk dibicarakan. “Ngomongin soal mati bikin kita malas kerja,” kata seorang pedagang.
Untuk mendobrak tabu ini, berbagai upaya dilakukan agar orang mau berdiskusi soal kematian. Misalnya, lewat kemunculan Death Cafe, digagas oleh sosiolog Bernard Crettaz, yang bermula di Swiss pada 2004, dan kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, tulis bbc.com.
Di kafe ini orang-orang diharapkan terbuka dalam mengungkapkan pemikiran mereka tentang mati sehingga hal yang paling terasosiasi dengan mati, yaitu ketakutan terhadap kematian, dapat berkurang. Menurut satu survei, kita ternyata “lebih takut kehilangan orang yang kita sayangi” daripada takut terhadap kematian kita sendiri.
Dari survei yang sama, kita sebenarnya lebih khawatir terhadap proses kematian – rasa sakit dan kesepian – dibandingkan fakta bahwa dengan mati, hidup di dunia akan berakhir. Yang lebih unik lagi, jika kita ditanya apakah kita takut mati, sebagian besar kita ternyata menampiknya.
Ada yang mengaku hanya “khawatir sedikit saja”. Rendahnya tingkat ketakutan kita terhadap kematian, dianggap sebagai penolakan diri untuk mengakui bahwa “sebenarnya kita benar-benar takut mati”.
Stephen Hawking, sang fisikawan terbesar di abad ini, menjadi lebih religius dan menemukan Tuhan di balik kedahsyatan dan rahasia alam semesta yang dipelajarinya, setelah menapaki masa kritis dalam kehidupannya.
Bilal bin Rabah berkata, “Aku sungguh bahagia karena tak lama lagi akan berjumpa dengan Rasulullah.” Begitu ujar muazin dan sahabat terkasih Nabi Muhammad SAW itu dengan nada lirih, ketika dalam suasana kritis isterinya bertanya kenapa suaminya itu tampak bahagia menyongsong kematian.
Umar bin Abdul Azis, khalifah nan arif di masa keemasan Islam, dikisahkan sering tak tidur malam dan menangis menjelang kematiannya, karena tak ingin dirinya dituntut rakyatnya di akhirat kelak atas amanat yang tak tertunaikan. Padahal, khalifah dari Dinasti Umayyah ini dikenal sebagai pemimpin yang jujur dan amanah.
Rasulullah SAW menyebut orang yang mempersiapkan dirinya untuk bekal kehidupan setelah mati sebagai orang cerdas. Sebaliknya, orang yang tenggelam dalam nafsu duniawi, disebut Nabi sebagai orang yang lemah.
Allâh SWT berfirman, “Barangsiapa yang mengharapkan bertemu Tuhannya maka hendaklah melakukan amal shalih dan janganlah menyekutukan ibadah terhadap Tuhannya dengan suatu apapun.” (QS al-Kahfi: 110). Amal shalih dikerjakan berdasarkan ilmu, niat, sabar dan ikhlas. Tidak ada unsur riya (pamer).
Berikutnya adalah menjauhi perbuatan tercela, meliputi keharaman dan kemakruhan. Meninggalkan keharaman adalah wajib, sedangkan meninggalkan kemakruhan adalah sunah. Demikian pula dianjurkan untuk meminimalisasi perkara mubah yang tidak ada manfaatnya. Para ulama salaf sangat berhati-hati menjaga dirinya dari perbuatan tercela.
Langkah selanjutnya adalah segera bertobat. Tidak ada manusia yang bersih dari kesalahan dan dosa. Kematian yang tidak dapat diprediksi kapan datangnya, menuntut seseorang agar segera bertobat setiap kali melakukan dosa, untuk menghindari akhir yang buruk dalam perjalanan hidupnya (su’ul khatimah).
Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani menegaskan, “Wajib bagi setiap Mukalaf (muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama) segera bertobat dari dosa, yaitu dengan menyesal, melepaskan diri dari dosa, bertekad untuk tidak mengulanginya dan beristighfar.”
Penulis adalah: Senior Journalist, pengamat dan penikmat pariwisata mancanegara.