JAKARTA, bisniswisata.co.id: Kebijakan menaikkan harga tiket pesawat yang diambil oleh sejumlah maskapai nasional, tak hanya turunkan jumlah penumpang. Namun juga melemahnya inflasi ekonomi bahkan mengusik pariwisata. Dampaknya kunjungan wisatawan nusantara (wisnus) mikir dua kali untuk mengunjungi destinasi wisata dalam negeri.
“Kenaikan harga tiket domestik, dampaknya luar biasa. Saya menilai ada kecenderungan meningkatnya WISNAS (Wisatawan Nasional) yang outbound, yang semula sebagai Wisnus yang mengunjungi destinasi di Indonesia beralih mengunjungi destinasi outbound di luar negeri, karena biaya tiket ke luar negeri menjadi lebih murah bila dibandingkan biaya tiket dalam negeri dengan jarak yang sama,” lontar
Ketua Umum ICPI Azril Azahari dalam keterangan resminya yang diterima redaksi Bisniswisata.co.id di Jakarta, Sabtu (26/01/2019).
Dengan kata lain, lanjut Azril, semakin banyak wisatawan Indonesia yang ke berwisata luar negeri dan semakin banyak pula banyak pengeluaran uang asing atau foreign currency mereka. “Sebaliknya juga menghambat pertumbuhan Wisman karena sebagian biaya tiket khususnya domestik semakin naik,” sambungnya.
Tingginya biaya untuk menggunakan transportasi udara menyebabkan masyarakat enggan bepergian jauh, terutama jika harus naik pesawat terbang. Ternyata, kondisi ini berdampak serius pada keberlangsungan sektor pariwisata di daerah-daerah.
Salah satunya, Maluku yang kehilangan calon pengunjungnya. Mereka memutuskan untuk membatalkan kunjungan karena tingginya harga tiket pesawat. Hal itu disampaikan oleh Ketua Association of Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA) Maluku, Faruk Baadila.
“Yang kita sayangkan itu kenaikan tiket pesawat ikut mengganggu pariwisata, banyak tamu yang mau datang ke Maluku membatalkan perjalanan karena tiket yang sangat mahal. Sebaliknya banyak warga membatalkan kunjungannya dan memilih lokasi wisata lainnya di luar Maluku,” kata Faruk seperti dilansir Kompas.com, Sabtu (26/01/2019).
Meski tidak menyebutkan secara detail berapa jumlah wisatawan yang membatalkan rencana kunjungan ke Ambon, namun dia memastikan banyak yang batal ke Ambon karena harga tiket yang terlampau mahal. Dan Untuk mengatasi hal itu, pihaknya terbang ke Jakarta untuk negosiasi dengan beberapa maskapai penerbangan, salah satunya Garuda Indonesia.
faruk minta Garuda menurunkan harga tiket penerbangan ke wilayah Indonesia bagian Timur yang terkenal mahal, termasuk Maluku. Dari pertemuan itu, harga tiket pesawat perlahan turun. Harga tiket Jakarta-Maluku sudah ada di angka Rp 2 jutaan. “Mudah-mudahan ke depan harus minimalkan dengan harga standar,” harapnya.
Dampak mahalnya tarif pesawat juga menguncang aktifitas penumpang. Di Bandar Udara Hang Nadim, Batam misalnya, sembilan jadwal penerbangan diketahui batal dilaksanakan karena alasan sepi penumpang. Padahal Batam sebagai destinasi wisata dengan berbagai objek wisata yang menarik dikunjungi.
Hal yang sama juga terjadi di Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru. Sejumlah 223 penerbangan dibatalkan, lagi-lagi karena jumlah penumpang yang turun drastis. Setidaknya sejak tanggal 1-14 Januari.
Selain penurunan bisnis pariwisata dan transportasi udara, penerapan batas atas harga tiket pesawat juga mempengaruhi tingkat inflasi dalam negeri. Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution.
“Selama empat-lima tahun terakhir, inflasi kita itu bukan lagi pangan, memang masih tinggi dan berpengaruh, tetapi selain itu dia juga ada perhubungan (tiket pesawat), baru setelah itu pendidikan, tiga itu saja,” ujar Darmin.
Bahkan ada pula petisi online yang dialamatkan pada Kementerian Pariwisata, dan beberapa pihak lain agar harga tiket pesawat bisa diturunkan. Hasilnya, saat ini sebagian besar biaya penerbangan dengan rute-rute tertentu telah diturunkan hingga 60 persen.
Langkah inilah yang akhirnya diambil pihak maskapai Indonesia, meski mereka harus menelan kerugian yang semakin besar, akibat biaya operasionalisasi yang tak tertutupi. Juga harga bahan bakar Avtur yang terus meningkat.
Direktur Utama Garuda Indonesia sekaligus Ketua Indonesia National Air Carrier Association (INACA), Ari Ashkara mengaku maskapainya masih akan tetap merugi meskipun tarif tertinggi sudah diberlakukan.
Di sisi lain, tingginya harga tiket ini pasti akan berdampak pada menurunnya minat masyarakat menggunakan moda transportasi udara ini. Lebih jauh, penurunan minat ini akan membawa imbas yang juga serius pada sektor-sektor lainnya. “Memang Dampak mahalnya tarif pesawat benar-benar terjadi akhir-akhir ini,” ungkapnya
Pihak Garuda Indonesia selaku maskapai BUMN mengakui sebagai inisiator maskapai yang menaikkan harga tiket pesawat. Setelah keputusan ini dibuat maskapai plat merah, ternyata maskapai lain pun sontak mengikutinya menaikkan harga tiket pesawat.
Ini tentunya memberatkan konsumen. Apalagi, maskapai yang terbilang menghadirkan tiket murah atau low cost carrier kini menerapkan biaya bagasi. Tentu saja ini sebuah dilema. Biaya operasional pesawat terbang memang sangat tinggi, mulai dari harga pesawat, perawatan, perbaikan, bahan bakar, hingga gaji para staf profesional di dalamnya. Memang Harga tiket pesawat yang rendah tidak akan cukup menutup biaya yang diperlukan maskapai untuk operasionalisasi usahanya.
Karenanya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai inefisiensi biaya operasional maskapai seharusnya tak berdampak pada tarif pesawat terbang bagi konsumen. Pasalnya, tata kelola perusahaan yang buruk adalah kesalahan manajemen, dan seharusnya menjadi tanggung jawab maskapai seutuhnya.
YLKI mencontohkan biaya sewa pesawat (leasing) yang dilakukan maskapai. Ia berkisah, terdapat satu maskapai yang memiliki biaya leasing 20 persen lebih mahal dibanding maskapai lainnya. Hal ini, lanjut dia, terungkap saat dia bertemu Dewan Pertimbangan Presiden (wantimpres) beberapa waktu lalu terkait tarif tiket pesawat terbang.
“Ini kan kesalahan masa lalu dari manajemen maskapai, sehingga inefisiensi ini harusnya tidak dibebankan ke konsumen. Memang ini seharusnya dikeluarkan dari komponen tarif tiket pesawat,” jelas Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi
Dilanjutkan, mahalnya tarif pesawat tentu akan menjadi disinsentif bagi konsumen. Hasilnya, semakin sedikit masyarakat yang mau menggunakan jasa transportasi penerbangan. Apalagi, hal ini sudah terbukti beberapa waktu yang lalu.
Tulus mencontohkan kasus di Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, Riau, di mana 433 penerbangan dibatalkan karena jumlah penumpang turun drastis lantaran harga tiket pesawat kian menukik. “Ini bisa jadi bumerang bagi maskapai dan pemerintah. Pertama, ratusan penerbangan dibatalkan karena sepi penumpang. Di samping itu, kunjungan ke beberapa tujuan wisata jadi turun. Memang harus ada tindakan pemerintah terkait hal ini,” jelasnya. (ENDY)