Uncategorized

EXPLORE! eps.12: Berkelana Menuju Serambi Mekkah, Aceh

EXPLORE! by bisniswisata.co.id
eps. 12: Berkelana Menuju Serambi Mekkah, Aceh

Sebagai salah satu provinsi terluar di Indonesia, Nangroe Aceh Darussalam merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang diberi status sebagai daerah istimewa dan juga diberi kewenangan otonomi khusus yang juga merupakan pintu masuknya penyebaran Agama Islam di Indonesia.

Sembari mengunjungi sebuah acara di Kota Bireuen, saya bersama Ivana Maida dan Jufry Ijup menyempatkan diri untuk mencicipi nikmatnya Kopi Aceh di pusat Kota Bireuen yang tak lain pernah ditetapkan sebagai ibukota Republik Indonesia kedua pada tanggal 18 Juni 1948.

“Semakin ditarik, semakin enak” kutip Jufry Ijup yang merupakan warga asli Aceh. dengan membayar sekitar Rp 4000 untuk satu gelas , kami sudah bise menikmati kenikmatan Kopi Tarik Aceh yang mendunia. Biji kopi yang digunakan tidak boleh sembarangan. Karena Aceh merupakan salah satu produsen kopi terbesar di Indonesia, jadi biji kopi yang digunakan tidak perlu mengambil dari daerah atau kota lain.

Khusus untuk Kopi Tarik, biji kopi yang banyak dipakai adalah hasil produksi Ulee Kareng. Bahkan untuk varian kopi lain dari Aceh hampir semua menggunakan biji kopi ini. Alasan utama penggunaan biji kopi Ulee Kareng adalah cita rasa unik yang berbeda dari biji kopi lain. Biji yang sudah menjadi bubuk tidak hanya diseduh dengan air panas melainkan dimasak bersama air sehingga aroma dan rasa yang dihasilkan lebih kuat.

Di penghujung malam, kami kembali sampai di Banda Aceh setelah menempuh perjalanan darat selama kurang lebih 6 jam lamanya. Tak lama kemudian, kami kedatangan seorang vlogger asal jakarta; @inimasabi dan mengajak kami untuk menikmati Mie Racing di Kedai Mie Aceh dan Nasi Goreng Bardi yang terkenal karena kelezatanya, aromanya dan juga kelengkapan bumbu rempah-rempahnya dan sering menjadi buruan wisatawan saat ke kota Banda Aceh.

Untuk harga seporsi mie Aceh akan dikenakan biaya Rp 40.000 . Bisa kalian pilih jenis mie acehnya akan disajikan tanpa kuah, sedikit kuah atau berkuah.

Keesokan harinya, kami menyempatkan diri untuk berkunjung ke Museum Tsunami Aceh, sebuah museum dengan bangunan yang modern dan arsitektual yang dirancang oleh Ridwan Kamil ini merupakan monumen simbolis untuk bencana gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004 sekaligus pusat pendidikan bencana dan tempat perlindungan darurat andai tsunami terjadi lagi.

Setelah membayar tiket masuk sebesar Rp 3000, pengunjung masuk melalui lorong sempit dan gelap di antara dua dinding air yang tinggi untuk menciptakan kembali suasana dan kepanikan saat tsunami. Dinding museum dihiasi gambar orang-orang menari Saman, sebuah makna simbolis terhadap kekuatan, disiplin, dan kepercayaan religius suku Aceh. Dari atas, atapnya membentuk gelombang laut. Lantai dasarnya dirancang mirip rumah panggung tradisional Aceh yang selamat dari terjangan tsunami.

Beranjak dari Museum Tsunami Aceh, kami menghampiri landmark kota Banda Aceh lainnya yaitu Masjid Raya Baiturrahman. Masjid yang konon katanya dibangun pada tahun 1612 di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda ini terletak di pusat kota Banda Aceh dan sempat menjadi bahan pembicaraan publik dunia karena selamat dari peristiwa Gempa dan Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang hanya mendapatkan sedikit kerusakan seperti beberapa dinding yang retak.

Sebelum beranjak ke Bandara Sultan Iskandar Muda untuk kembali ke Jakarta, kami menyempatkan diri untuk belanja oleh-oleh Khas Aceh di Pusaka Souvenir yang direkomendasi oleh tour guide kami. Tempat ini menawarkan berbagai cinderamata, makanan ringan, dan kopi Khas Aceh yang siap kami bawa pulang sebagai buah tangan untuk teman dan keluarga di Jakarta.

Justin Sabrinsky

Co-Founder & Creative Director of EXPLORE! e-Magazine by bisniswisata.co.id