SINGAPURA, bisniswisata.co.id: Setiap tahun, masa liburan dinantikan. Untuk orang dewasa yang bekerja, ini adalah waktu yang tepat untuk menyelesaikan cuti tahunan, istirahat dari pekerjaan dan mungkin, melakukan perjalanan singkat atau dua kali untuk menghargai keindahan dunia.
Dilansir dari tulisan Ustadz Fadhlullah Daud di Muslim.sg, dikatakan bahwa bagi para orang tua, libur panjang sekolah juga merupakan waktu terbaik untuk menjalin ikatan dengan anak-anak. Mereka dapat menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga dengan mengunjungi negara lain dan belajar tentang masyarakat, norma sosial, budaya, dan kepercayaannya.
Apapun alasan perjalanan, tujuan perjalanan didorong dengan tujuan untuk belajar. Rasulullah SAW berkata: “Allah membuat jalan ke surga mudah bagi dia yang menapaki jalan untuk mencari ilmu.” [Hadits oleh Imam Muslim]
Sebagai pelancong Muslim, saat kita menikmati liburan kita harus tetap menjadikan sholat sebagai prioritas utama. Berdoa adalah bentuk paling dasar untuk menunjukkan rasa syukur kepada Pencipta kita, yang telah memberi kita kekayaan, waktu dan kesehatan untuk bepergian.
Alhamdulillah, kita sering menyaksikan saudara-saudari Muslim kita memenuhi kewajiban agama (yaitu sholat), kapan pun mereka punya kesempatan, terutama saat transit di bandara atau di Rest Area di sepanjang jalan raya. Namun, pernahkah kita bertanya-tanya bagaimana caranya kita bisa melaksanakan sholat dalam penerbangan jarak jauh tanpa singgah?
Kondisi dan hal penting untuk shalat di pesawat agar valid
Seperti kita ketahui bersama, sebagian dari syarat (Syarat) untuk mengesahkan shalat kita adalah: i) menutupi Aurah; ii) menghadap kiblat, dan iii) berdoa selama waktu sholat.
Berdiri saat melaksanakan shalat wajib kita juga penting karena merupakan bagian dari rukun yang harus dilakukan seseorang saat melaksanakan shalat. Tanpa memenuhi semua syarat (syarat) dan rukun, shalat menjadi batal.
1) Menghadapi Kiblat saat berada di pesawat
Para ulama sepakat dengan suara bulat bahwa shalat lima waktu (Fard) harus dilakukan sambil menghadap kiblat dari ‘Takbiratul ihram’ hingga ‘Salam’.
Namun, jika seseorang berada di dalam kendaraan yang bergerak seperti kapal, kereta api atau pesawat, dia harus berusaha menghadap kiblat dengan sebaik-baiknya, dan mencari tempat yang paling cocok untuk beribadah. Jika ada ruang yang cukup luas atau tempat yang luas bagi seseorang untuk menunaikan shalatnya, maka wajib menghadap kiblat dan melaksanakan shalat seperti biasa (yaitu dengan ruku ‘, sujud, dll) sebanyak mungkin.
Namun, jika tidak ada ruang atau jika ruang terlalu sempit untuk menunaikan salat, ia tetap harus menghadap kiblat selama ‘Takbiratul ihram’ dan melanjutkan salat menghadap ke arah mana pun sesudahnya.
2) Berdiri atau duduk sembahyang di pesawat.
Sebisa mungkin lebih baik Anda berdiri dalam doa, meskipun Anda di pesawat. Namun, jika Anda tidak dapat melakukannya karena keadaan seperti keterbatasan ruang atau berbahaya untuk melakukannya karena pesawat tidak stabil, Anda boleh duduk.
‘Imran Bin Husain meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. berkata padanya:
“Berdoa sambil berdiri dan jika Anda tidak bisa, berdoalah sambil duduk dan Anda tidak dapat melakukannya, maka berdoalah dengan posisi miring.” (Sahih Al-Bukhari)
3) Melakukan sholat kembali jika suatu kondisi atau esensial tidak terpenuhi
Ada dua pendapat dari ulama. Mazhab Yurisprudensi Syafi’ie menyatakan bahwa jika seseorang tidak dapat melaksanakan shalatnya sesuai dengan norma (yaitu menghadap kiblat, berdiri, ruku ‘, sujud, dll.), Dia perlu melakukan shalat lagi (Qada ‘) setelah tiba di tempat tujuannya.
Dilaporkan bahwa Jabir bin ‘Abdillah r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. shalat (sholat sunnah) di atas unta tunggangannya (kendaraan yang bergerak) bepergian kemanapun ia pergi. Namun, ketika dia ingin melaksanakan shalat Fardhnya (wajib), dia akan turun untanya dan menghadap Kiblat (untuk melaksanakan shalatnya). ” [Hadits dilaporkan oleh Imam Al-Bukhari]
Namun, sebagian ulama berpandangan bahwa seseorang tidak perlu melakukan shalat lagi jika upaya telah dilakukan untuk menghadap Kiblat tetapi dia gagal melakukannya karena keadaan yang tidak memungkinkan.
Menurut Imam Al-Muzani, seperti dikutip Imam An-Nawawi dalam bukunya ‘Syarah Sahih Muslim’, kewajiban beragama yang dijalankan dengan sebaik-baiknya, meskipun beberapa syarat tidak terpenuhi dan tidak dilakukan.
Secara lengkap karena keadaan yang tidak memungkinkan, dan bukan karena penyalahgunaan atau kurangnya perhatian terhadap agama seseorang, diterima dan tidak mengharuskannya untuk diulang.
Pendapat kami ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., yang mengatakan:
“Saya mendengar Rasulullah s.a.w. katakan: “Apa yang telah Aku larang darimu, harus dihindari, dan apa yang telah Aku perintahkan kepadamu, harus dilakukan dengan kemampuan terbaikmu. Sesungguhnya, kehancuran bangsa-bangsa itu sebelum kamu adalah karena (terus-menerus dan tidak perlu) pertanyaan yang diajukan oleh mereka, dan perbedaan pendapat mereka terhadap Nabi mereka ”. [Hadits oleh Imam Al-Bukhari & Muslim]
Semoga Allah menerima segala usaha dan Ibadah kita dalam menunaikan kewajiban kita sebagai hamba-Nya yang shalih, amin. Allah tahu yang terbaik bagi umatnya.