Kaum Difabel Hadapi Tantangan Baru (foto: smarter travel)
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Bagi kebanyakan orang, pandemi COVID-19 telah memaksa mereka untuk menunda dulu rencana bepergian. Ternyata, keadaan ini lebih parah dialami para wisatawan penyandang disabilitas.
“COVID-19 memaksa kami untuk menyetop 100 persen tur bagi individu penyandang disabilitas,” kata Don Douglas, pemilik Able Trek Tours, perusahaan tur berbasis di Wisconsin, AS.
Perusahaannya mengkhususkan diri pada perjalanan yang dapat diakses kaum disabilitas. “Banyak tujuan dan atraksi ( seperti acara olahraga, festival, dan konser) yang tutup,” imbuhnya seperti dilansir Skift.
Douglas tidak sendirian. Dia bukanlah satu-satunya pelaku dalam bisnis ini yang dilumpuhkan akibat pandemi virus corona.
Josh Grisdale, pendiri Accessible Japan, sebuah komunitas online yang menyediakan dukungan bagi wisatawan penyandang disabilitas, mengeluhkan hal serupa.
Menurutnya dampak pandemi terbesar bagi orang-orang yang membutuhkan bantuan saat bepergian adalah larangan untuk membawa asisten pergi bersama.
“Beberapa agency yang menyediakan jasa pendamping sama sekali tidak menginginkan kami [kaum disabilitas] keluar. Mereka menganggap itu hanya akan berpotensi memaparkan virus corona ke pengasuh yang akan menjadi pembawa virus lalu kemudian menularkan ke pelanggan lain termasuk kepada mereka yang menyandang disabilitas lebih parah,” imbuhnya.
Seperti menurut Grisdale, pandemi telah memperberat tantangan yang dihadapi para wisatawan penyandang cacat.
“Aturan jarak sosial adalah sesuatu yang tidak mungkin diterapkan kepada mereka. Perhatian khusus bagi mereka juga muskil dilakukan tanpa kontak yang intens antara staf dan pelancong,” kata Douglas.
Jelas, keadaan ini sungguh tak menguntungkan bagi para pelancong penyandang disabilitas. Apalagi seperti dalam kasus Douglas, sebagian besar kliennya memiliki sejumlah penyakit bawaan sehingga rentan terpapar virus corona.
Wajar jika banyak wisatawan penyandang disabilitas menyatakan khawatir terkait COVID-19. Apalagi sebuah survei yang dilakukan pengusaha Josh Wintersgill terhadap 330 penyandang disabilitas mengamini hal itu.
Menurut survei itu ada lebih dari sepertiga responden menyatakan tidak akan melakukan perjalanan dengan pesawat sampai vaksin COVID-19 tersedia. Mereka juga khawatir banyak orang tak disiplin mengikuti aturan jarak sosial, baik saat di bandara maupun dalam kabin pesawat.
Bahkan di beberapa kasus, masa depan perjalanan bagi penyandang disabilitias terlihat kurang cerah. Menurut Candy Harrington, editor blog Emerging Solutions yang fokus pada wisata bagi penyandang disabilitas, ada sejumlah perusahaan travel kecil yang khusus membantu mengatur perjalanan bagi wisatawan penyandang disabilitas tak lagi dapat bertahan selama masa pandemi.
John Sage, CEO sekaligus pendiri Accessible Travel Solutions [satu-satunya perusahaan travel bagi penyandang disabilitias yang tergabung dalam Dewan Perjalanan dan Pariwisata Dunia] mengatakan kematian perusahaan travel bagi penyandang disabilitias berarti memengaruhi ketersediaan van khusus disabilitas dan perencana perjalanan.
Tetapi Srin Madipalli, co-founder Accomable [penginapan startup bagi kaum disabilitas], yakin pelaku bisnis yang dapat mengikuti tren dan berpikiran maju, akan mampu melewati tantangan dalam dua tahun ke depan.
Madipalli yang juga mantan kepala divisi AirBnB khusus bagi penyandang disabilitas mengatakan kesuksesan akan ditentukan oleh,” bagaimana mereka menjalankan bisnis, kesiapan sumber daya dan seberapa kuat mengencangkan ikat pinggang.”
Yang pasti, hasrat untuk melancong tak akan pernah mati, jadi semua tergantung pada “bagaimana kita mengubah model bisnis mengikuti tren kekinian,” misalnya.
Bagaimana pelaku bisnis dapat menyesuaikan kembali model bisnis dengan memfasilitasi perjalanan ke tempat-tempat yang tak terlalu berisiko. Kuncinya adalah adaptasi pada keadaan normal baru.