JAKARTA, bisniswisata.co.id: Di Indonesia ada banyak Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang potensial mampu berkembang di pasar domestik. Sayangnya ragam produk impor kian membanjiri Indonesia membuat beberapa produk lokal menjadi lesu. Batik, salah satu produk UMKM yang tergerus munculnya batik impor, yang harga cenderung lebih murah dengan kualitas yang tak jauh berbeda daripada batik kreasi lokal.
“Memang ada beberapa industri yang sekarang memiliki persoalan cukup akut seperti batik yang mostly impor dan batik impor itu hasil mesin yang tidak mampu menyaingi punya lokal. Karena secara cost, itu jauh sekali bedanya,” papar Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati
Padahal sekilas mata, lanjut Enny seperti dilansir laman Kompas, Ahad (17/111/2019) modelnya sama. Jadi kalau kita enggak bisa optimalisasi sektor hulunya, sudah pasti garmen dan tekstil kita bisa kalah saing. “Jika sektor potensial industri yang tidak rentan terhadap gejolak adalah produk yang unik. Di Indonesia yang cukup besar adalah yang berbasis kreatifitas dan budaya,” lontarnya.
Namun kendala yang muncul adalah sisi produksi dan pemasaran yang kurang difasilitasi. “Yang menjadi persoalan adalah batik terkendala dari sisi produksi dan pemasaran. Intinya kalau ini bisa difasilitasi, maka enggak hanya mereka yang mampu bersaing dalam negeri tapi juga mereka bisa menjadi komoditas ekspor,” jelas Enny.
Sebelumnya Paguyuban Pecinta Batik Indonesia (PPBI) Sekar Jagad meminta pemerintah membatasi impor tekstil bermotif batik untuk melindungi dan melestarikan batik nusantara sebagai warisan tak benda yang telah diakui UNESCO. Bahkan bila perlu, impor tekstil bermotif batik dihilangkan.
“Harus dibatasi atau malah dihilangkan,” kata pengurus Paguyuban Pecinta Batik Indonesia Sekar Jagad Hani Winotosastro dalam dialog “Batik, Warisan Budaya Nusantara dan Solusi di Era Ekonomi Global” di Yogyakarta, seperti dilansir laman Republika.
Menurut Hani, kemunculan tekstil bermotif batik di pasaran lebih dari lima tahun terakhir cukup dirasakan oleh perajin batik lokal. Harga tekstil bermotif batik yang dibanderol jauh lebih murah membuat penjualan para pelaku usaha batik lokal menurun. “Kami merasakan dampaknya karena memang bersaing sekali. Harganya (tekstil bermotif batik) dijual murah sampai Rp25.000 per potong,” kata dia.
Para perajin maupun pelaku usaha batik tulis lokal, menurut dia, tidak bisa mencegah serbuan tiruan batik tersebut karena justru banyak digemari masyarakat. “Kami berharap para pengusaha batik jujur menjelaskan kepada konsumen mana batik asli dan tekstil bermotif batik,” kata dia.
Untuk menghadapi tantangan itu, Hani yang juga pemilik merek Batik Winotosastro mengatakan para perajin batik perlu mengikuti tren fesyen yang berkembang saat ini. “Batik harus berkembang menyesuaikan kebutuhan konsumen. Sekarang sudah mulai bermunculan anak-anak muda yang membuat batik kontemporer,” kata dia.
Sementara itu, Kepala Bidang Industri Logam, Sandang dan Aneka, Disperindag DIY, Intan Mestikaningrum mengatakan, untuk melestarikan dan meningkatkan daya saing IKM Batik di Yogyakarta, pihaknya terus menggencarkan pelatihan dan memfasilitasi pameran batik baik di dalam maupun luar negeri. “Untuk melestarikan batik, Pemda DIY juga telah mendirikan Museum Batik Jogja serta forum batik tulis, batik cap, dan batik kombinasi,” kata dia.
Ia menyebutkan hingga saat ini tercatat sebanyak 715 unit usaha batik di DIY dengan total jumlah tenaga kerja mencapai 2.760 orang. Adapun sentra industri batik di DIY antara lain terdapat di Dusun Tancep, Trembowo (Kabupaten Gunung Kidul), Imogiri, Pandak (Kabupaten Bantul), Sapon, Gulurejo, Lendah (Kulon Progo), Turi/lereng merapi (Kabupaten Sleman), dan Taman Sari (Kota Yogyakarta). (ndy/Kompas)