NASIONAL Uncategorized

Tiga Poros Perlindungan Literasi : Ajak Keluarga Memilah dan  Memilih Informasi

                       Oleh : Suhartini S.Sos 

JAKARTA, bisniswisata.co.id : Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara soal minat baca masyarakatnya. Hal itu dinyatakan dalam studi “Most Littered Nation In The World” yang dilakukan oleh Connecticut State University pada tahun 2016.

 

Suhartini S.Sos, aktivis perlindungan anak.

Sejak saat itu Indonesia berkonsentrasi dalam peningkatan minat baca masyarakatnya. Beberapa kebijakan dilakukan, dimulai dengan Gerakan Nasional Literasi Bangsa (GLNB) yang bertujuan untuk menciptakan ekosistem sekolah dan masyarakat berbudaya baca tulis serta cinta sastra.

Tidak sampai di situ, dengan semangat  melanjutkan perjuangan untuk meningkatkan  minat baca masyarakat, negara melahirkan Undang-Undang No.3 Tahun 2017 tentang perbukuan. Tujuannya sebagai sarana membangun dan meningkatkan budaya literasi masyarakat Indonesia.

Penyebaran informasi GLNB dan undang-undang perbukuan mengajak semua lini untuk berjuang, begitu juga dengan pentingnya peran keluarga. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan tiga poros utama Gerakan Literasi Nasional adalah Keluarga, Sekolah dan Masyarakat.

Pemahaman tentang literasi disampaikan kepada masyarakat terutama bagi siswa dari mulai Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Pemerintah membuka akses literasi secara luas,  baik secara formal melalui perpustakaan-perpustakaan di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan kelurahan.

Secara formal pemerintah juga membuka akses bagi pegiat literasi melalui Taman Bacaan Masyarakat, Rumah Baca, dan Perpustakaan Keliling yang dilakukan masyarakat peduli literasi. Para pegiat literasi mengajak masyarakat terutama orang tua untuk berpartisipasi dalam pengembangan literasi anak-anaknya. Pemerintah juga memberikan apresiasi sebagai bentuk penghargaan kepada pegiat literasi.

Banyak hal sudah dilakukan dengan fokus literasi dalam bentuk buku. Literasi yang diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menggunakan potensi dan keterampilan dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan aktivitas membaca dan menulis.

Secara etimologi istilah literasi berasal dari bahasa Latin “literatus” yang artinya adalah orang yang belajar. Belajar dengan proses membaca dan menulis, yang diawali pada proses membaca dan menulis buku. Pada perkembangannya saat ini, masyarakat bahkan melakukan proses belajar membaca dan menulis yang lebih dominan di dunia maya.

Faktanya  saat ini masyarakat terpapar literasi digital melalui internet dan media sosial tanpa batas, tanpa konfrontasi bahkan  tanpa sensor. Informasi instan melalui media sosial seperti facebook, whatsApp, instagram diterima masyakat tanpa melihat status maupun usia.

Kemudian tanpa bimbingan “menelan” informasi tersebut bulat-bulat lalu menyebarluaskan kembali dalam versinya. Hal itu diperburuk dengan adanya oknum-oknum masyarakat yang demi kepentingan kelompoknya menyebarkan informasi hoaks (bohong). Informasi hoaks yang tersebar di media sosial saat ini  sudah membuat resah, karena itu sangat penting adanya proses literasi digital seperti media sosial.

Tiga Poros Perlindungan Literasi 

Tujuan literasi seyogianya adalah sebuah proses membantu meningkatkan pengetahuan masyarakat dengan cara membaca berbagai informasi yang bermanfaat. Literasi juga bertujuan membantu meningkatkan tingkat pemahaman seseorang dalam mengambil kesimpulan dari informasi yang dibaca.

Tujuan tersebut tidak akan tercapai  jika informasi yang didapat adalah bohong, karena itu mulai dengan melakukan perlindungan.  Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan tiga poros utama Gerakan Literasi Nasional adalah Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat, sama halnya tiga poros perlindungan literasi adalah keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Dimulai dari keluarga, ajak keluarga kita untuk melakukan MMI (Memilah dan Memilih Informasi). Sekolah juga sudah harus bijak mengajak anak-anak untuk melakukan MMI, dan masyarakat harus ikut mengawasi anak-anak saat menggunakan literasi digital.

Keluarga adalah pintu gerbang pertama anak-anak untuk mengenal dunia luar. Keluarga sangat berperan dalam memberikan pengetahuan dasar serta membentuk kepribadian anak-anak. Alangkah baiknya membuat pola pendidikan literasi digital keluarga dengan membahas dan mendiskusikan persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat saat-saat berkumpul, meskipun di meja makan.

Informasikan dampak buruk dari literasi hoaks yang tersebar di dunia maya (media sosial), sajikan informasi pembanding dari literasi digital yang diterima. Memilah dan memilih informasi adalah langkah awal yang harus dibudayakan dalam keluarga untuk menambah pengetahuan.

Setelah keluarga hal terpenting yang harus berperan dalam melakukan perlindungan literasi adalah sekolah. Anak-anak beraktivitas di sekolah minimal 5-6 jam, sekolah-sekolah unggulan bahkan menyediakan waktu 8 hingga 10 jam.

Orang tua bahkan memiliki waktu efektif untuk berkomunikasi dengan anak-anak hanya 5 jam, selebihnya untuk tidur, istirahat dan persiapan aktivitas ke luar. Waktu di sekolah dari pukul 7.00 pagi sampai pukul 15.00 siang adalah waktu efektif untuk berintraksi, karena itu sekolah juga poros penting untuk melindungi anak-anak dari literasi digital yang salah.

Sekolah diharapkan dapat menyampaikan pentingnya Memilah dan Memilih  Informasi (MMI) digital buat siswa-siswa. Informasi digital dapat dikonfrontasi dengan sumber-sumber valid yang didapat dari buku-buku dengan sumber terpercaya.

Masyarakat terutama lingkungan sekitar diharapkan dapat berperanserta memberikan perlindungan literasi digital. Melalui organisasi-organisasi remaja seperti Forum Remaja Mesjid atau Karang Taruna dapat membahas tentang perlindungan literasi digital.

Masyarakat peduli literasi dapat membuat forum diskusi bersama remaja untuk membahas tentang literasi digital. Dan pemerintah  harus memberikan apresiasi bagi masyarakat yang peduli dengan perlindungan literasi digital yang dilakukan masyarakat.

Tiga poros perlindungan literasi digital  bergandengan tangan untuk melakukan MMI, maka generasi penerus akan lebih memiliki pemahaman yang baik dalam ilmu pengetahuan.

Penulis adalah aktivis perlindungan anak, saat ini tinggal di Jakarta.

 

 

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)