Rencana pemerintah untuk mengizinkan kembali beroperasinya mal dan tempat pariwisata di tengah pandemi virus corona (COVID-19) yang belum menurun saat ini dinilai sangat riskan.
Namun di satu sisi tuntutan agar tidak ada lagi perpanjangan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) DKI Jakarta yang akan berakhir hari ini 4 Juni 2020 juga menimbulkan pro-kontra.
Pembukaan mal dan tempat pariwisata akan memicu kerumunan orang dan bertentangan dengan prinsip aturan PSBB. Selain itu, kerumunan juga berisiko mengabaikan unsur physical distancing yang tertuang dalam protokol kesehatan.
Apalagi, masyarakat sampai saat ini belum kooperatif dalam mengikuti aturan pemerintah untuk melaksanakan protokol kesehatan dalam berbagai aktivitas selama pandemi berlangsung.
Hal ini berkaca pada insiden di Bukit Alas Bandawasa, di Cigombong, Bogor, Jawa Barat, hari Minggu, 31 Mei lalu yang dipenuhi pengunjung mendirikan tenda dan menjadi viral karena di tengah pemberlakuan PSBB.
Berkumpul di alam terbuka bak negri di atas awan membuat para pengunjung bukit itu melupakan segala bentuk aturan untuk melindungi diri mereka sendiri akibat penyebaran masif virus COVID-19 yang sudah menjangkit 216 negara di dunia.
Gagalnya aturan larangan mudik yang tidak dipatuhi sehingga ditengarai 1,6 juta orang berhasil mudik pada Lebaran lalu juga berdampak pada daerah yang menjadi tujuan mudik. Insiden lainnya, masyarakat juga belum lupa pada penumpukan penumpang di Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang terjadi pada 14 Mei 2020 lalu.
Saat itu beredar viral foto antrian calon penumpang pesawat yang sama sekali tidak menerapkan physical distancing. Padahal bandara bagian dari tempat keramaian orang. kerumunan selain mengabaikan protokol kesehatan bisa memperparah pandemi ini.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) DKI Jakarta akan berakhir hari ini 4 Juni 2020. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan belum memutuskan apa PSBB akan diperpanjang atau ini menjadi yang terakhir.
Hingga saat ini pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum menetapkan kebijakan terbaru terkait PSBB. Dijadwalkan hari ini pengumuman akan dilakukan langsung oleh Anies.
PSBB pertama kali dijalankan pada 10 April sampai 24 April 2020 lalu. Anies kemudian memperpanjang PSBB dari 24 April sampai 7 Mei dan diperpanjang lagi hingga 22 Mei. Terakhir, Anies memperpanjang PSBB hingga 4 Juni.
Kebijakan Anies memperpanjang PSBB tersebut tak terlepas dari angka reproduksi Corona yang masih tinggi. Oleh karena itu jika belakangan ini gaung kenormalan baru ( New Normal ) sudah semakin gencar, maka harus hati-hati karena faktanya kasus COVID-19 belum menurun.,
Masalah pro-kontra PSBB menjadi topik yang hangat dikalangan masyarakat maupun dalam seminar/ diskusi daring ( webinar) selama kebijakan bekerja, belajar dan beribadah di rumah diterapkan oleh banyak negara termasuk di Indonesia.
PSBB membuat perekonomian anjlok, , larangan dan penutupan perbatasan di banyak negara membuat industri travel & tourism secara global mati suri. Boleh dibilang banyak yang berharap bulan Juni ini bisa terjadi pelonggaran di berbagai bidang.
Berandai-andai memang sah-sah saja, itulah yang dilakukan Anton Thedy, Founder TX Travel dan wholeseller travel pertama di Indonesia ketika pekan lalu menjadikan Sjachrul Firdaus, Direktur Eksekutif ASTINDO sebagai nara sumbernya dalam bincang ke 224 Live Insta Story di instagram @resellertravel.
Tanpa perlu menunggu keputusan Gubernur DKI Anies Bawesdan soal PSBB akan diperpanjang hari ini, penilaian pribadi kedua tokoh pariwisata ini mengacu pada perilaku masyarakat yang sampai saat ini belum kooperatif dalam mengikuti aturan pemerintah.
” PSBB kalau menurut saya pribadi tidak perlu di perpanjang soalnya masyarakatnya unik. Pengawasan ketat di lapangan mungkin lebih ampuh,” kata Sjachrul Firdaus.
Sedangkan Anton menilai tingkat resiko kematian manusia dan ekonomi kini lebih rentan di bidang ekonomi karena dunia usaha sudah tidak tahu lagi cara bertahan hingga 6 bulan ke depan.
” Banyak teman meyakini bulan Juni ini usahanya sudah bisa mulai beroperasi lagi. Tapi pertanyaannya apakah konsumennya ada ? ,”
Sjachrul mengatakan masyarakat Indonesia itu unik dan keluar dari segala macam teori. Bahkan dengan bangsa serumpun yaitu negara tetangga seperti Brunei, Singapura, Malaysia tetap saja ada keunikannya sendiri terutama dalam hal nekad.
“Biar pendidikannya tinggi yang diikuti adalah maunya sendiri saja. Kasus 14 Mei 2020 di bandara saya tidak kaget karena hasil survei yang kami buat memang menunjukkan karakter itu,” kata Sjachrul.
Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan Indonesia ( ASTINDO) belum lama ini membuat survei dengan melibatkan para pelanggan dari perusahaan travel anggotanya di 21 provinsi melibatkan 264 responden.
Pertanyaan: Apabila pandemik dinyatakan selesai, apakah Anda langsung melakukan perjalanan ? jawabannya : 14,6 % langsung pergi, 48% menunggu 1-2 bulan, 26 persen baru memutuskan setelah 6 bln dan 12% berani melakukan perjalan setelah setahun.
” Nah kasus 14 Mei 2020 dan perkiraan ada 1,6 juta orang yang lolos mudik Lebaran 24 Mei lalu itu golongan yang langsung pergi ( 14,6%),” ungkap Sjachrul Firdaus.
Pertanyaan lain seperti jika pergi berwisata tujuannya kemana ? maka jawabannya 58 % domestik dan 42% Asean. Sedangkan soal tujuan perjalanan setelah pandemi berakhir maka jawabannya 76% untuk berlibur, 11% perjalanan dinas sisanya lain-lain.
Setelah aktivitas dilakukan di rumah saja sedikitnya selama tiga bulan terakhir, berwisata yang telah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia memang jadi keinginan teratas. Uniknya, tambah Sjachrul, golongan kelasnya baik miskin, menengah maupun atas dari masyarakat sudah punya rutinitas berwisata.
” Jadi meski taraf hidupnya heterogen tapi ada segmen-segmen untuk berbagai tipe jenis dan paket wisata yang menjadi pilihan masyarakat sehingga jangan khawatir di Indonesia peluang mengembangkan industri wisata selalu ada,”.
Selain ada sifat nekad, masyarakat Indonesia juga latah. Ibarat fashion jika ada mode yang trend langsung mengikuti dan boom. Itu sebabnya begitu PSBB berakhir dan ada kelonggaran Sjachrul yakin wisata jadi trend lagi.
Apalagi jika penerbangan kembali normal dan aktivitas bekerja, belajar dan beribadah jadi longgar maka bisa-bisa 48% responden yang baru mau melakukan perjalanan 1- 2 bulan setelah pandemi berakhir justru langsung pergi staycation atau sudah jadi turis domestik mengikuti kelompok 14,6% di dorong sikap latah,” tambahnya.
Anton juga berandai-andai jika sebelum kenaikan harga tiket ada lebih dari 80 jutaan pengguna pesawat terbang di Indonesia maka untuk menggerakkan wisata domestik ( Wisdom) pemerintah RI patut mencontoh kebijakan Jepang.
Pemerintah Jepang alokasikan dana triliunan untuk mensubsidi 50% biaya perjalanan turis ke Jepang setelah Juli ini. Namun belakangan diralat bahwa subsidi ditujukan untuk warga Jepang agar melakukan wisata domestik bukan pelancong asing.
” Kalau industri travel & tourism di Indonesia kompak bikin satu juta paket wisata domestik di dukung pemerintah maka roda perekonomian akan bergerak,” kata Anton.
Memang riset menunjukkan wisata domestik akan menjadi andalan dengan melihat daerah tujuan wisata yang siap menerapkan kenormalan baru ( New Normal). Namun pemicu untuk menggerakan 275 juta pergerakan wisatawan nusantara atau wisatawan domestik seperti tahun lalu memang harus dipelopori pemerintah.
Pemerintah dan swasta harus kompak dan yakin bahwa sektor pariwisata bisa jadi andalan membangkitkan perekonomian bangsa dengan multiplier effect yang luas.
Kalau selama ini di lingkungan dunia usaha urusan kompak masih jauh panggang dari api alias sulit untuk kompak, apa setelah menghadapi musuh bersama bernama COVID-19 masih sulit ?. Wallahu A’lam Bishawab, Allah lebih tahu atau Allah Yang Maha Mengetahui.