Wisman berkunjung ke Hagia Sophia, salah satu warisan budaya Turki sebelum terjadi pandami global. ( Foto: Yudarwita Maharajo)
JAKARTA : Awal Juli 2020 lalu banyak negara yang sudah mulai mencabut lockdown, membuat kelonggaran perbatasan negara dan melakukan travel bubble, pembukaan terbatas suatu negara bagi beberapa negara lain yang masing-masing memiliki kasus virus Corona yang rendah atau terkontrol.
Para pemimpin organisasi dunia seperti Badan Pariwisata Dunia, Sekjen UNWTO, Zurab Pololikashvili mengingatkan bahwa restart pariwisata dasarnya adalah kembali mengembangkan sustainable tourism.
Pariwisata berkelanjutan ( sustainable tourism) yang ramah lingkungan, menjaga keseimbangan alam dan menjadi destinasi wisata yang aman untuk hidup ditengah era COVID-19 adalah pilihan mutlak apalagi pandemi global ini telah menjadikan kepercayaan adalah mata uang baru.
” Kami dan pariwisata secara ideal diposisikan sebagai kendaraan untuk menyalurkan kepercayaan,” kata Zurab Pololikashvili yang diungkapkan dalam berbagai kesempatan.
Masih di bulan Juli, Sapta Nirwandar, Ketua Halal lifestyle Indonesia mengatakan bahwa wabah dunia ini telah menurunkan hidayah pada umat manusia dan menjaga kesehatannya sehingga baik Muslim dan Non Muslim yang paham bahwa makanan halal meningkatkan iman dan imun tubuh menyebabkan permintaan produk halal food meningkat di seluruh dunia.
” Halal Tourism itu extended service, pelayanan tambahan yang di Indonesia ditolak mati-matian di beberapa daerah wisata. Kalau di pesawat ada yang tidak makan daging kan diberikan vegetarian food, jangan paksa makan daging sapi kalau agamanya melarang, kata Sapta Nirwandar.
Dia optimistis seiring dengan waktu maka masyarakat Indonesia, maupun warga dunia paham halal itu makanan sehat bukan mau menjerumuskan mereka memeluk agama Islam.
Sustainable tourism yang digaungkan oleh organisasi dunia ternyata adalah terkait dan sejalan dengan tujuan Islam. Tujuan pengembangan pariwisata berkelanjutan dalam Islam adalah berkontribusi untuk kesejahteraan dan keseimbangan manusia yang harmonis antara manusia dan alam.
Hal itu di ungkapkan Barkathunnisha Abu Bakar, Founder, Elevated Consultancy & Training Director, World Women Tourism Associate, Murdoch University (Singapore) seperti dikutip dari Mastercard-CrescentRating Halal Travel Frontier 2020.
Menurut dia, tujuan pengembangan pariwisata berkelanjutan UNWTO bagi dunia Islam terkait dan sejalan, mulai dari konsumsi yang bertanggung jawab dan menghindari limbah, mempromosikan perdamaian dan keadilan termasuk berkontribusi pada kesejahteraan umat dan harmoni antara manusia dan alam.
“Untuk meningkatkan pariwisata, suatu negara harus dapat menyambut orang-orang dari semua lapisan masyarakat,” tegasnya.
Oleh karena itu sangat penting bagi penyedia pariwisata untuk mengadopsi sebuah pendekatan yang sadar secara ekologis dan sosial ke bisnis untuk menarik bagi wisatawan umum dan juga wisatawan Muslim.
“Muslim Traveler bukan lagi ceruk pasar tapi menjadi mayoritas sehingga identitas merek, perilaku, dan strategi komunikasi harus diselaraskan dengan nilai berkelanjutan untuk mendapatkan kredibilitas di benak segmen perjalanan Muslim,” kata Barkathunnisha Abu Bakar.
Di Indonesia sendiri salah satu pakar sustainable tourism yang pernah menduduki jabatan penting di UNWTO adalah mantan Menteri Pariwisata I Gede Ardika, penganut agama Hindu yang sangat menjunjung tinggi Tri Hita Karana.
Falsafah tersebut memiliki konsep yang dapat melestarikan keaneka ragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan homogenisasi. Pada dasarnya hakikat ajarannya menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini.
Ketiga hubungan Tri Hita Karana itu meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekitar, dan hubungan ke Tuhan, tambah I Gede Ardika dalam berbagai kesempatan.
Dari sini prinsip sustainable untuk pariwisata harus meliputi tiga faktor yaitu memberi manfaat ekonomi, melestarikan lingkungan alam, dan melestarikan budaya, tambahnya
Malah menurut I Gede Ardika, konsep sustainable dari PBB tersebut tidak cukup bagi Indonesia. Tidak hanya bicara seputar ekonomi, lingkungan, dan masyarakat, tapi lebih dari itu.
“Bagaimana sustainable tourism ini memunculkan perasaan bahagia dan menciptakan pengalaman, mampu menciptakan hubungan antar manusia, menghasilkan mutual understanding,” kata I Gede Ardika.
Saling menghormati, saling memahami ( mutual understanding) seharusnya juga berlaku dalam menyikapi keputusan menjadikan Hagia Sophia menjadi masjid yang mutlak adalah kedaulatan Turki.
Pada 10 Juli 2020 lalu, Dewan Negara (The Council of State), yang merupakan pengadilan administratif tertinggi Turki, telah mengetuk palu pengembalian fungsi Hagia Sophia dari museum kembali menjadi masjid.
Dilansir dari Republika, dengan keputusan itu, maka keputusan Presiden pertama Republik Turki, Mustafa Kemal Ataturk, yang pada 1934 telah mengubah status Hagia Sophia dari masjid menjadi museum, dinyatakan tak lagi berlaku.
Dunia Barat umumnya mengecam keputusan tersebut. Perubahan status itu dianggap telah dan akan menyinggung perasaan umat Kristiani dunia, khususnya golongan Kristen Ortodoks.
Ketika pertama kali dibangun oleh Kaisar Bizantium, Justinian I, pada tahun 532 hingga 537, Hagia Sophia semula dimaksudkan sebagai gereja katedral. Oleh Sultan Mehmed II dari Kekhalifahan Usmani pada 1453, fungsi bangunan itu kemudian diubah menjadi masjid
Sultan Mehmed II, yang oleh bangsa Turki dijuluki sebagai “Al Fatih”, alias “Sang Penakluk”, bukan hanya mengubah Hagia Sophia menjadi masjid, namun juga mengganti nama Konstantinopel menjadi Istanbul. Sultan Mehmed II adalah “Sang Penakluk” termuda dalam sejarah dunia yaitu berusia 21 tahun.
Hagia Sophia adalah salah satu tujuan wisata utama di Turki baik untuk wisatawan domestik maupun mancanegara. Pada 1985, ketika masih berfungsi sebagai museum, Hagia Sophia masuk dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO.
Pada 16 Juli 2020 lalu, Direktorat Urusan Agama Turki menandatangani protokol kerja sama dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata untuk mengelola Hagia Sophia setelah dikonversi menjadi masjid.
Di bawah protokol itu, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata akan mengawasi proyek restorasi dan konservasi, sementara Direktorat Urusan Agama akan mengawasi kegiatan keagamaan di masjid tersebut.
Pariwisata berkelanjutan ( sustainable tourism ) didefinisikan UNESCO sebagai kegiatan pariwisata yang menghormati masyarakat lokal, para wisatawan, warisan budaya serta lingkungan.
Bangunan megah Hagia Sophia adalah warisan berbagai peradaban yang akan dibuka untuk wisatawan domestik dan mancanegara secara gratis. Bukankah upaya ini juga bagian dari sustainable tourism ?