HILDA'S NOTE INTERNATIONAL KOMUNITAS LIFESTYLE

Sustainability in Unity & Diversity

              Komunitas bule di Uluwatu

ULUWATU, Bali, bisniswisata co.id: Hari sudah menunjukkan pukul lima sore ketika supir Gocar yang mengantar dari bandara Ngurah Rai memasuki halaman rumah tempat anak bontot, Justin tinggal di Uluwatu tujuh bulan terakhir ini. 

Suasana perkampungan Bali sangat kental dengan tanaman yang rimbun mulai dari tanaman keras sampai mpon-mpon atau tanaman rempah seperti jeruk sambal, jeruk peras, cabe, sereh, kunyit bahkan bunga telang yang cantik berwarna ungu untuk minum teh.

Seorang lelaki tua tengah menyapu halaman menyapa dan mengarahkan langkah saya untuk menuju kamar Justin melalui jalan setapak. Tetangganya Justin yang bernama Stefan sedang duduk diberanda rumahnya dengan laptop di meja. 

Dia berhenti sejenak menatap layar dan menyapa tamu yang datang. Untunglah Justin segera mendengar,  keluar dan berteriak ” My Mom… !,” kontan membuat Stefan berdiri dan bersalaman mengucapkan selamat datang untuk mamanya Justin.

Tiba seminggu menjelang Idul Fitri rasanya seperti masuk kampung di tengah hutan. Sepi, sunyi, di sekeliling, tapi tak lama kemudian teman-teman justin berdatangan sehingga saya jadi terduduk sambil senyum-senyum sendiri karena ingat serial TVRI Penginapan atau Losmen Bu Broto tahun 1987 an. 

Layaknya sebuah keluarga tahu-tahu kami sudah duduk nyaman di dapur dengan Justin yang hari itu jadi birthday boy berupaya menyuguhkan ikan dan jagung bakar. Ada Adriana, tokoh yang mirip karakter mbak Pur di serial TV itu. Praktis karena saya yang tertua diantara mereka jadi bunda buat semua.

Panggilan Adriana adalah mamacita berasal dari kata mama (ibu) dan akhiran diminutif -ita, jadi arti harafiahnya adalah mama kecil. Dalam bahasa Spanyol sering dipakai untuk mengakrabkan atau bentuk kesayangan. Kenyataannya wanita ini memang kesayangan semua dan sangat baik.

Dia juga memanggil saya mama dan menjawab keheranan tamunya karena tiba-tiba kami seperti menjadi komunitas PBB. Persatuan bangsa-bangsa maksudnya karena dua orang dari Jakarta, selebihnya ada India, Spanyol, Brazil, Inggris, Polandia, Singapura, Kanada, Argentina, Chili, Portugal, Perancis, Belanda, Jerman.

“Komunitas ini kok unik sih, kalian seperti memiliki pertalian darah. Saya pernah tinggal di Canggu dan Ubud tapi nggak seperti kalian yang kompak banget, ucapan yang keluar dari mulut bahkan sikap juga terjaga,” kata saya pada Adriana dan teman-teman yang notabene temen justin berusia 20-40 tahunan.

Kalau secara singkat saya gambarkan dalam kalimat adalah komunitas yang Sustainability in Unity & Diversity atau komunitas  yang menjaga keberlanjutan dalam kesatuan & keragaman. Lucunya istilah itu langsung di setujui oleh yang hadir.

Denise & Adriana ( kanan)

Bli Eddy, sebagai pak Broto alias pemilik penginapan tergerak untuk mengomentari bahwa pandemi global telah mengajari mereka untuk saling membantu untuk bisa bertahan hidup. Bahkan saat Bali menjadi kota “mati”, turis tidak bisa pulang ke negaranya, semua fasilitas ditutup, mereka tetap aman dan bisa makan dari hasil sawah dan kebun.

” Mereka yang belum dapat kiriman uang, tidak ada penerbangan untuk pulang maka komunitas inilah rumah dan keluarganya sehingga kami saling belajar, saling tolong, merasa homey seperti di rumah dan tetap nyaman”

Bahkan saat Eddy harus segera di operasi karena jatuh dari motor saat COVID dan mengalami patah tulang, dia kewalahan balas 500 an WA dari komunitas bule ini. Meski semua dalam kondisi sulit, tapi bisa menyisihkan uang hingga eddy bisa selamat dan kembali sehat.

Adriana mengatakan seperti orang Bali yang percaya karma, maka wanita cantik ini juga yakin bahwa berbuat baik pada semua orang akan kembali pada diri kita sendiri. Bukan berarti tidak ada bule jahat, tricky yang datang ke Bali atau khususnya ke komunitas di Uluwatu, namun biasanya dari pergaulan yang buruk akan tersingkir.

” Saya pribadi yakin orang baik adalah untuk bergaul dengan orang baik, orang jahat diantara orang baik akan kelihatan dan cepat tersingkir. Karmanya orang jahat ya untuk orang jahat,” kata Andriana.

Saya menjelaskan, dalam Islam, soal pergaulan ada dalam Surat An-Nur Ayat 26, Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). 

Tak heran komunitasnya secara alamiah tersortir dengan baik. Adriana mengangguk dan meski Bali atau Indonesia selalu dianggap punya saingan Thailand, Vietnam dan negara Asean lainnya, bagi dia masyarakat lokal yang ditemuinya selalu punya ketulusan yang kuat sehingga selalu membuat turis seperti dirinya  ‘pulang’ kembali ke Bali.

” Kata pulang lebih tepat karena saya punya keluarga Bali di sini yang punya kepedulian dan kasih sayang yang tulus dari hati. Bukan bagian hospitality seperti di negara lain di Thailand dengan keunggulan pantai dan alam yang  indah serta kuliner. Di Uluwatu, ketulusan atau ‘rasa’ tidak bisa dinilai dengan uang,” ungkap Adriana.

Tak heran dia mengaku kerja keras di Spanyol untuk menghasilkan uang banyak lalu mudik ke Bali, membelanjakan uangnya untuk liburan berkualitas bersama keluarga lokalnya. ” Di dunia Barat kerjanya seperti kerja rodi, individualistis, egois, belum lagi tinggal di negara 4 musim. Di Bali kita hidup normal, bersosialisasi dan mandi matahari” tegasnya.

Denise yang berpengalaman berwisata mulai dari Amerika Latin seperti Mexico, Columbia hingga ke Vietnam, Thailand, Filipina dan negara-negara lainnya juga memiliki pandangan yang sama dengan Adriana apalagi dia memang tipe suka wisata alam.

” Dari Bali saya mudah melakukan hopping island, dari pulau-ke pulau lainnya. Saya bisa ke Lombok, Sumba, Labuan Bajo, balik lagi pulang ke Bali. Saya suka berinteraksi dengan masyarakat lokal, trekking,  menikmati air terjun di pedalaman dengan nyaman,”

Itu sebabnya Denise yang juga tipe pekerja keras di negrinya akan mudik ke Bali setiap tahun karena punya teman-teman bule dan lokal dengan jaringan yang luas. Jika orang merasa nyaman pulang ke rumah maka dia tidak merasa takut. Dia juga tidak mau Bali dibanding-bandingkan dengan destinasi wisata lainnya di Asia-Pacifik.

“Setiap negara punya kelebihan dan kekurangan, tapi jika kita suka traveling dan menemukan keikhlasan, ketulusan pelayanan maka saya bersyukur berjumpa dengan komunitas ini dan akan kembali lagi” tegas Denise.

Malam itu saya merasa beruntung menjadi mama sekaligus nenek yang bisa memahami pergaulan komunitas antar bangsa antar benua pula yang sehari-hari menjadi lingkungan baru si bontot yang tengah belajar mandiri dan memperlancar lima bahasa asing yang tengah dipelajarinya.

Masya Allah, terima kasih atas pertemuan ini Ya Rabb dan besok paginya melanjutkan perjalanan ke kampung-kampung Islam di Bali yang sudah eksis sejak abad ke 14 di Pulau Dewata. Terletak di ujung Barat pulau Bali dan bertemu dengan komunitas-komunitas baru lainnya. 

 

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)