H. Awam, Kepala Desa Wisata Cibuntu, Kuningan, Jawa Barat. ( Foto-foto: Arum Suci Sekarwangi)
KUNINGAN, Jabar, bisniswisata.co.id: Kesejahteraan itu milik rakyat sehingga dahulukan kepentingan warga Desa Wisata Cibuntu adalah yang utama untuk menjadi desa yang berprestasi dan mampu melestarikan adat istiadatnya, kata H . Awam, Kepala Desa Wisata Cibuntu.
” Bagaimana caranya sejahtera ? ya pimpinan yaitu ketua kelompok Sadar Wisata desa Cibuntu, Kecamatan Pesawahan harus bersikap adil dalam membagi pekerjaan termasuk mengisi permintaan homestay,” kata H. Awam
Dirinya sebagai Kepala Desa Wisata Cibuntu maupun keluarga dan kerabatnya tidak boleh mengambil prioritas dalam hal melayani jasa-jasa yang dibutuhkan oleh kunjungan wisatawan terutama jasa homestay.
“Banyak Desa Wisata di Tanah Air akhirnya tidak berkembang karena konflik kepentingan dari pengurus Pokdarwis, Kepala Desa dan jajarannya yang justru mengambil tamu sendiri untuk rumah mereka yang juga menjadi homestay,”
Di situlah akhirnya kesejahteraan dan keadilan menjadi tidak merata. Kalau tamu sudah tidak tertampung di homestay milik rakyat barulah kepala desa boleh buka pintu. Intinya harus ada giliran yang adil dan merata serta tercatat sehingga semua menjadi transparan tentunya.
” Setelah jadi Desa Wisara Cibuntu, maka harga tanah di sini naik menjadi Rp 400.000 per meter. Oleh karena itu saya minta pakta integritas dari warga, kita tidak butuh investor dari luar, kita tidak menjual tanah pada pihak luar,” kata H. Awam.
Dia menjelaskan bahwa terbentuknya desa wisata ini tidak langsung jadi sendiri, ada banyak proses dan dilakukan dari hasil observasi dan uji kelayakan dari mahasiswa STP Trisakti pada tahun 2011. Saat itu ada tiga mahasiswa yang diutus meneliti.
“Setelah mereka kembali ke Jakarta, mereka buatkan laporannya ditindak lanjuti serta diadakan pembinaan kembali. Warga Desa Cibuntu pada 2012 mulai sepakat merintis desa wisata sesuai arahan para mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti hingga menjadi desa wisata binaan perguruan tinggi itu, ” jelasnya.
Awam bercerita bahwa proses menjadi desa wisata itu bisa dibilang gampang-gampang susah. Banyak desa yang harus dilakukan penelitian hingga 8 kali, sementara Cibuntu baru dua kali penelitian sudah bisa mendapatkan legalisasi sebagai Desa Wisata yang pada 15 desember 2012 sudah bisa soft launching oleh Pemda Cirebon.
Alhamdulillah, Cibuntu punya modal dengan masyarakatnya yang kondusif, keamanannya terjaga, bersih dan tertib. Hal ini karena sering dilakukan pembinaan agar desa wisata ini semakin berkembang.
Akhirnya pada 2016, penilaian dari kemenpar juga, salah satu homestay yang ada di Cibuntu, itu menjadi peringkat ke 5 di Asean pada 2016. Lalu pada tingkat nasional di Hotel Bidakara Jakarta tahun 2017, meraih posisi kedua setelah Bali.
“Penilaian juga dari kemenpar, kami mendapat penghargaan CFT (Community First of Tourism) yang pariwisata dengan pemberdayaan masyarakat.” kata H. Awam
Menurut dia, dari awal penerapan Sapta Pesona yang ditekankan terdiri dari tujuh unsur yaitu aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah tamah dan kenangan bukan hanya jadi slogan.
“Kita harus menciptakan suasana indah dan mempesona, dimana saja dan kapan saja. Khususnya ditempat-tempat yang banyak dikunjungi wisatawan dan pada waktu melayani wisatawan,”
Dengan kondisi dan suasana yang menarik dan nyaman, wisatawan akan betah tinggal lebih lama, merasa puas atas kunjungannya dan memberikan kenangan indah dalam hidupnya, ungkap H. Awam.
Desa Wisata Cibuntu terletak sekitar 28 km dari Kota Kuningan, atau 56 menit jika menggunakan mobil. Berkunjung ke desa ini selain pemandangan apalagi yang bisa dilihat dan bisa menjadi wisata edukasi ?
“Di sini banyak situs peninggalan pra sejarah, adanya mata air Kahurupan yang bisa diminum langsung dari sumbernya dan ada juga curug ( air terjun) serta ada kampung domba untuk wahana edukasi,”
Dari rekam jejak digitalnya, kata H. Awam, bagi anak milenial bisa dibaca dulu sejarahnya arca peninggalan sejarah masa hindu Budha di Desa Cibuntu, Kabupaten Kuningan yang terkenal dengan sebutan situs Saurip Kidul, Bujal Dayeuh dan Hulu Dayeuh.
Kalau dilihat langsung mungkin tidak menarik karena hanya batu atau onggokan, kebon kosong berpagar, tempat penemuan sesuai titik kordinatnya. Seharusnya memang dipasang papan keterangan mengenai sejarah penemuan di situs-situs yang kini sudah tersimpan di museum.
Tahun 1967 pernah ditemukan Peti Kubur Batu di kebun warga dan di dalam peti ada beberapa Kapak Genggam. Penemuan peti kubur batu, diyakini berasal dari gelombang kebudayaan megalitik muda.
Bulan Februari 1972, Tim dari Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) Jakarta menemukan lagi puluhan Kapak Genggam, Gelang dan Kelenting, serta 1 (satu) Kapak Genggam dari Saurip II (Kidul) berwarna Ati ayam.
Satu hal yang membuat desa wisata ini unik adalah mereka memiliki Kampung Kambing. Seluruh kambing milik warga di taruh di sana yaitu jenis kambing Garut.
Kampung Kambing merupakan kandang khusus yang memiliki lebih dari ribuan kambing. Meski begitu, lingkungannya masih bersih, sehingga tidak perlu khawatir dengan bau kotorannya.
Kampung kambing yang terpisah dari Desa Wisata Cibuntu kini banyak dikunjungi anak-anak sekolah hingga PNS untuk memahami cara pembudidayaan maupun perawatan yang datang dari berbagai daerah lainnya di Jawa Barat termasuk sekolah-sekolah di Jabotabek.
Awam mengatakan selama pandemi semua aktivitas dipending termasuk rencana membuat balai desa yang permanen. Tamu sekarang bisa berkunjung namun semua homestay tidak boleh menerima tamu dulu.
“Sekarang, menyambut New Normal, kami sudah membuka kembali pariwisata desa wisata cibuntu, tentu dengan protokol kesehatan yang ketat, seperti mencuci tangan, pakai masker dan jaga jarak. Kita sudah siapkan tempat untuk mencuci tangan. Berkunjung boleh, tapi kalau untuk menginap masih kita larang,” ujarnya.
Ke depan dengan adanya balai desa pihaknya ingin menonjolkan pertanian kopi hasil budi daya masyarakat Cibuntu asli, tambahnya sambil mengakhiri obrolan..