Oleh H. Koko Sujatmiko
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Setelah cukup lama terhenti, Rancangan Undang-Undang (RUU) Minuman Beralkohol (Minol) kembali dibahas DPR. RUU inisiatif DPR yang telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020 tersebut memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.
“RUU ini nanti akan memperjelas siapa yang boleh memproduksi, membeli, dan mengkonsumsi. Siapa yang boleh memproduksi dengan kadar alkohol tertentu dan siapa yang boleh membeli serta mengkonsumsinya,” kata M. Syafi’i dalam Rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI terkait harmonisasi RUU Minol, di Jakarta, baru-baru ini.
Larangan minuman berakohol ini, sebagaimana dalam draft RUU Minol, perlu dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta melindungi masyarakat dari dampak negatif minuman beralkohol sehingga terjaga kualitas kesehatan, ketentraman, ketertiban dan ketentraman di masyarakat.
Perlindungan terhadap dampak negatif Minol tersebut juga ditujukan pula bagi wisatawan asing yang berwisata di Indonesia, karena tidak sedikit wisatawan juga menjadi korban akibat Minol ilegal atau minuman keras racikan, dan sempat menjadi sorotan dunia.
Ketua Hubungan Antar Lembaga Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bambang Britono menilai bahwa RUU Minol akan berdampak negatif bagi industri pariwisata.
“Apabila itu disahkan kami khawatir wajah Indonesia di mata dunia akan berubah, kita tentu harus ramah terhadap wisatawan. Ini akan bawa citra kurang positif,” ujar Bambang Britono dikutip dari Antara, belum lama ini.
Menurut dia, jika RUU itu disahkan maka industri pariwisata nasional akan semakin terpuruk. “Saat ini usaha pariwisata sedang terpuruk akibat pandemi, harusnya kita membutuhkan citra yang positif di mata dunia,” ucapnya.
Draf RUU Minol yang diperoleh bisniswisata.co.id dari laman resmi DPR-RI ditemukan sejumlah pasal yang pro terhadap pariwisata. Misalnya, dalam Pasal 7 dan Pasal 8. “Pasal 8 (1) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 tidak berlaku untuk kepentingan terbatas. (2) Kepentingan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kepentingan adat; b. ritual keagamaan; c. wisatawan; d. farmasi; dan e. tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kepentingan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.”
Aturan Minol sudah lama menjadi isu nasional, khususnya di kalangan pelaku industri pariwisata. Di era tahun 1980-an, ketika pariwisata mengalami booming, isu pendistribusian Minol sempat mengemuka. Banyak aturan (Perda dan Peraturan Menteri) saling tumpang tindih dalam mengatur peredaran Minol.
Ketika itu sejumlah importir Minol yang ditunjuk pemerintah dinilai “memonopoli” dan “pilih kasih” dalam mendistribusikan Minol ke hotel-hotel (tempat wisata) di Tanah Air sehingga banyak pengelola hotel yang mengeluhkan kelangkaan Minol, yang dampaknya cukup besar terhadap pelayanan dan “persaingan” hotel.
RUU Minol yang diajukan DPR sejak tahun 2012 ini bila menjadi UU akan menjadi acuan daerah dalam mengatur peredaran Minol di tempat-tempat wisata. Seperti diketahui, penjualan Minol –yang masuk dalam bagian F&B hotel —cukup besar dalam memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementrian Keuangan (Kemenkeu).
Menurut data Kemenkeu realisasi penerimaan cukai dari Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) pada Januari-September 2020 mencapai Rp 3,61 triliun. Penerimaan cukai MMEA ini mengalami purunan 23,01 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu akibat terdampak pandemi COVID-19 di mana banyak hotel, restoran dan cafe yang tutup.