Suasana bandara Schiphol yang sepi padahal dalam kondisi normal 70 juta penumpang/ per tahun berangkat dari Amsterdam ( Foto: dok.pribadi)
Oleh Wiwiek Srikandi Shabrie
ROTTERDAM, bisniswisata.co.id: Perjalanan menuju Bandara Schiphol dari apartemen ananda di Rotterdam kali ini memang berbeda karena mau pulang ke tanah air di tengah pandemi global COVID-19.
Meski sudah bolak-balik menengok cucu dan hafal sudut-sudut bandara, namun sejak datang hingga pulang menghabiskan waktu di rumah saja membuat perjalanan jadi lebih excited. Maklum Belanda juga baru mulai buka aktivitas publik awal 1 Juni 2020 lalu.
Selain menjadi kota terbesar kedua di Belanda, Rotterdam adalah surga bagi seniman dan pemusik, pematung dan arsitek, surga cinta dan kehidupan malam yang semarak.
Buat saya yang suka dengan seni pertunjukkan dengan kegiatan drama di masa muda, kunjungan ke Rotterdam yang dinobatkan sebagai Ibukota Kebudayaan Eropa selama tiga bulan benar-benar hanya menjadi MC alias momong cucu dan diisi webinar aktivitas kampus tempat mengajar di Surabaya.
Schiphol adalah bandara yang terletak 4,5 m di bawah permukaan laut (DPL) selatan Amsterdam, tepatnya di Gemeente Haarlemmermeer, Belanda dan disebut juga Luchthaven Schiphol.
Bandara yang memiliki kode bandara AMS dan menjadi rumah bagi banyak maskapai penerbangan dunia seperti : KLM dan menjadi salah satu bandara tersibuk di Eropa dengan lebih dari 70 juta penumpang per tahun.
Bandara ini dibuka pada 1916 sebagai lapangan terbang militer, dan sekarang telah berubah menjadi salah satu bandara tersibuk di dunia, dan bandara ini juga memiliki banyak fasilitas seperti pijat dan bermain poker di tempat kasino dan ada perpustakaannya juga.
Jika mendarat di bandara Schiphol, Amsterdam para penumpang sebenarnya bisa bersantai sambil membaca beragam buku yang disediakan. Bandara menyediakan sebuah perpustakaan besar yang menyediakan ribuan buku, katalog, dan majalah. Asyiknya lagi, perpustakaan itu juga memiliki fasilitas semacam ruang baca yang nyaman.
Akhirnya tiba juga di bandara Schiphol yang nampak sepi, tenang. Padahal sebelum pulang dan baca berita semakin membuat bingung tentang penanganan penumpang pesawat dari dan ke luar negri berkaitan dengan COVID- 19.
Apalagi membayangkan setibanya nanti di Bandara Soekarno-Hatta. Baca berita juga sulit dibedakan mana yang hoax mana yang berita resmi.
Diawali dengan rencana kepulangan yang penuh pertentangan di kalangan anak-anak dan suami karena takut istri atau ibunya dikarantina akibat terkena penularan wabah penyakit Corona.
Akhirnya saya menggunakan hak veto diri untuk memutuskan pulang ke indonesia pasa 6 juni 2020 lalu dengan pesawat kebanggaan nasional milik BUMN. Begitu ada kepastian dapat tiket pulang, mulailah tanya sana sini dan banyak dapat informasi.
Tapi akhirnya saya jadi bingung sendiri meski yang ditanya adalah teman-teman yang berkecimpung atau yang memang mempunyai akses dapat memberikan info yang dipertanggung jawabkan dari kementrian luar negri, tràvel agen dan imigrasi.
Dari beragam informasi yang masuk dikepala, satu hal yang saya pegang teguh adalah mengikuti aturan main yang jelas dan akurat, misalnya berpegang pada SE atau SK instansi terkait. Kalau ada berita dari sumber yang tidak jelas kata arek Suroboyo, no reken.
Sadar sih jika buka berita yang tidak jelas akan membuat kita tambah panik yang akan membuat imun tubuh menurun. Dalam Nota Dinas kementrian kesehatan tebaru saat itu ( SR.03.04/1/2431/2020), 27mei 2020, disebutkan persyaratan bagi orang yang akan melakukan perjalanan a.l harus memiliki hasil PCR yang menyatakan negatif.
Di negara tertentu tidak mudah untuk mendapatkan surat keterangan kesehatan dari RS atau Pusat kesehatan setempat. Begitupun di Belanda, pusat pelayanan kesehatan setempat tidak mengenal istilah surat kesehatan tapi mereka menyarankan untuk menghubungi pihak yang terkait dengan keperluan khusus.
Misalnya untuk perjalanan penerbangan kita harus mencari info ke bandara setempat. Oleh karena itulah saya menghubungi pihak airport Schiphol di Amsterdam untuk menanyakan tentang test kesehatan yang berkaitan dengan covid 19.
Akhirnya dapat keterangan bahwa KLM Health Service menyediakan PCR test dan setelah berkirim email di sepakati tanggal yang tersedia dengan memperhitungkan tanggal kepulangan karenanyawa sertifikat itu hanya 7 hari.
Selain menjalani test COVID-19 sebagai persyaratan penerbangan dan masuk wilayah sebuah negara maka untuk masuk ke indonesia dibutuhkan juga surat keterangan dari KBRI yang menyatakan bahwa saya adalah warga negara Indonesia yang bermukim di negara tersebut atau turis yang akan kembali ke tanah airnya.
Tidak lupa juga harus download surat keterangan perjalanan dari pihak Garuda Indonesia yang menerangkan status penumpang dan kita isi kolom-kolom keterangannya. Setelah tiga persyaratan ini terpenuhi maka perjalanan insyaa allah lancar.
Suasana bandara relatif sepi namun di depan counter tiket barulah terlihat disiplin diri akan teruji. Dalam hal menerapkan social distancing selama perjalanan misalnya, baik mau naik pesawat di Airport Schiphol ataupun sewaktu turun di bandara Soeta.
Akan terlihat siapa yang bisa disiplin dan memang semua tergantung kepada pribadi masing-masing, mau menjaga jarak atau pilih berdesak-desakan. Ternyata tidak ada social distancing ( jaga jarak) saat mengantri di Schiphol.
Di bandara besar ini calon penumpang dan pengawasannya longgar sehingga sedikit yang patuh untuk jaga jarak saat pemeriksaan imigrasi di Schiphol. Calon penumpang terlihat tidak sabaran baik bule maupun wajah Asia karena penjagaan hanya seutas tali dan petugas hanya sedikit mungkin masih berlaku work from home ( WfH).
Sulit diceritakan perasaan ini sewaktu sudah masuk ke dalam pesawat. Yang jelas keinginan yang menggebu-gebu untuk pulang kampung membuat hanya melihat nomor kursi sudah tepat saja saya merasa lega dan bahagia sekali…
Apalagi saat sudah mulai take off tidak ada penumpang lain di kiri dan kanan, artinya saya bisa tiduran sepanjang perjalanan. Wah tapi gangguan ada saja karena rasa kepo sesama penumpang.
Tetangga sebrang kursi mengatakan dapat informasi setiba di Cengkareng akan ada Rapid Test lagi dan siap-siap menunggu 6 jam. Soalnya kalau hasil positif akan dibawa ke Wisma Atlit dan jika tidak mau ikut bisa pilih hotel tapi bayar sendiri dan hotelnya bintang 5.
Terbayang karantina 14 hari x Rp 1 juta maka biayanya jauh lebih mahal dari harga tiket pesawat. Astagfirullah, pilih tidur saja deh daripada memikirkan hal yang tidak pasti. Alhamdulilah tidur nyenyak padahal cerita penumpang lain ada guncangan-guncangan keras saat mengudara melintas entah diatas negara mana.
Turun dari pesawat di bandara Soetta dan menyusuri belalai pesawat serta koridor panjang, penumpang disambut petugas yang banyak dan dipersilahkan duduk dengan deretan kursi sesuai SOP, social distancing.
Petugasnya juga ramah-ramah sehingga saya bisa menanyakan prosedur yang akan dilewati, benarkah kami harus antri sampai 6 jam seperti yang ditulis berita-berita yang ada.
Ternyata antrian yang berlangsung hanya satu jam prosesnya kemudian isi formulir tentang data diri dan ukur suhu badan. Tiba di loket inteview dengan dokter bandara dan dokter memeriksa hsl test PCR serta surat keterangaan lainnya.
Proses selesai tinggal ambil bagasi dan keluar terminal. Saya langsung tanya petugas apakah ada penerbangan langsung ke Surabaya. Dari Belanda tidak ada informasi akurat untuk penerbangan ke Surabaya pada hari yang sama sehingga saya belum membeli tiket Jakarta-Surabaya.
Alhamdulilah rejeki anak soleha, ternyata saya tidak perlu keluar dari terminal tiga karena ada pesawat Garuda menuju Surabaya siang itu. Bereslah rangkaian “ritual” pulang ke tanah air ditengah pandemi.
Surabaya I am coming…. jangan mau ditakuti berita hoax, no way.. yuukk kita traveling lagi kalau miss Corona sudah hilang di muka bumi ini….Good bye….
Penulis adalah Dosen Tetap STIESIA SURABAYA.