Kopi Sedap disuguhkan bersama roti bakar (foto: P. Hasudungan Sirait)
PARAPAT, Sumut, bisniswisata.co.id: Setiap kali mengunjungi kota kelahiran suami saya, Parapat, di pinggir Danau Toba, Sumatera Utara, kami selalu singgah di Pematang Siantar. Melongok kotamadya ini masuk daftar must-to-do kami. Tujuan utamanya sebenarnya adalah menikmati Chinese food di bilangan Jl. Bandung (orang lama menyebutnya Jl. Nanking).
Seorang sahabat di Jakarta yang merupakan Siantarman—dia pecinta kuliner yang sudah acap menjajal makanan di Eropa dan Amerika—menyatakan hidangan salah satu restoran lawas di sana tak ada bandingannya.
Sebutan dia: terenak sejagat. Sebuah penilaian yang subyektif tentunya. Olah rasa oleh lidah tak bisa diperdebatkan, bukan? Begitupun sobat yang terkenal kritis dan hemat bicara itu tentu tak asal ngomong; seperti biasa, ia pasti punya dasar penilaan.
Selain mengisi perut, yang selalu kami lakukan di Siantar adalah ngopi di kedai legendaris. Kopi Sedap, namanya. Dahulu (d/h) sebutannya kedai Go Muk. Letaknya di Jl. Sutomo, sedinding dengan toko roti termashyur yang praktis tak pernah sepi sepanjang tahun: Ganda. Meski telah kenyang oleh mie, kami selalu merasa ada yang kurang kalau belum mereguk Kopi Sedap.
Bersantap makanan Cina di Jl. Bandung dan sesudahnya ngopi di Kopi Sedap. Itu agenda utama kami setiap kali ke Siantar. Selebihnya adalah bonus, termasuk tur keliling pusat kota dengan menumpang becak mesin bergaya motor gede dari zaman Perang Dunia.
Atau sekadar menikmati udara petang di kota yang bersih, nyaman dan tertata rapi. Seperti kota-kota di Eropa, salah satu pusat pemerintahan Hindia Belanda di Sumatera Timur ini ajeg saja dari tahun ke tahun; praktis tak banyak yang berubah di sana sampai hari ini. Keklasikannya aku suka.
Ikon
Aku dan suamiku, P Hasudungan Sirait, pengopi serius. Kami menyukai kopi dalam negeri macam Ulee Kareng, Sidikkalang, Lintong, Gayo, atau Toraja. Menikmatinya di kedai kota asal merupakan sensasi yang tak terpermanai, menurut kami. Kesempatan seperti itu selalu kami damba.
Lain lubuk lain ikannya. Kedai kopi ‘sungguhan’ pun begitu. Racikan dan atmosfir yang satu tak sama dengan yang lain. Yang terakhir ini mencakup karakter pengunjung tetapnya serta lagak laku mereka saat menikmati minuman-cemilan, serta waktu bercengkerama di sana. Kopi Sedap pun tak terkecuali. Kami menilai yang satu ini sungguh istimewa. Atmosfir klasik mencuat di Kopi Sedap. Waktu laksana bergeming di sana.
Menurut literatur yang aku baca, kedai Go Muk yang menyajikan kopi jenis robusta ini sudah ada sejak 1939. Cabangnya tak pernah ada sampai sekarang pun. Berada di deretan rumah-toko lama di jantung kota Siantar, bangunannya berikut interiornya hingga hari ini masih seperti yang doeloe.
Perabotnya pun setali tiga uang. Kesan serba antik kian dicuatkan oleh gelas kopi berikut tatakannya. Agak kecil tapi tebal, perangkat minum ini berbahankan keramik Tiongkok. Hijau motifnya. Gompal yang ada sana-sini menjadi penegas keuzurannya.
Bila baru disajikan, cairan panas yang ngebul tersebut meluber dan agak menggenang di tatakan. Aku suka kopi hitamnya. Tapi kopi susunya pun sedap betul sehingga menjadi favoritku. Ada yang mengatakan kenikmatan rasa kopi di sini dipengaruhi juga oleh kesepuhan wadah porselin Cina itu. Kupikir bisa jadi….
Kopi Sedap memiliki aroma yang khas dan cita rasa spesifik; sesuatu yang belum pernah kudapatkan di kopi lain. Jadi memang unik. Kalau dihadapkan pada aneka jenis kopi sekaligus, pada sruputan pertama aku akan langsung bisa tahu apakah ini Kopi Sedap atau bukan.
Minum di kedai Kopi Sedap tak afdol jika tidak ditemani camilan satu-satunya di sana: roti bakar. Isinya ragam, termasuk srikaya, strawberi, coklat, keju, atau favoritku selai kacang (selainya pakai Skippi lho).
Selai srikaya bisa juga kita beli di tempat ini. Ukurannya per ¼, ½, atau 1 kilogram, ditaruh di plastik putih polos tak transparan berbentuk silinder. Rasa selai juga membuat kami ketagihan. Srikaya ini senantiasa kami beli sebagai oleh-oleh untuk kerabat atau teman di Jakarta dan Bogor.
Mereka umumnya menyukainya. Si Kokoh pemilik kedai selalu memastikan bahwa selai tersebut fresh. Tapi stok mereka terkadang terbatas. Masalahnya produksinya tak banyak; diprioritaskan untuk mereka yang menyantap roti bakar di sana saja. Katanya sih demi menjaga kualitas.
Bila akan meninggalkan Sumatra, seusai menyegarkan tenggorokan dan pikiran di Kopi Sedap pasti kami akan membawa pulang dua kilo kopi bubuk mereka. Di rumah bawaan itu akan kami seduh sendiri. Ternyata tetamu kami pun menyukainya. Ada sebuah pengalaman yang boleh dibilang mengamini pendapat kami soal cira rasa Kopi Sedap.
Suatu siang seorang teman yang tak biasa ngopi main ke rumah. Saat kutawari secangkir kopi, ia kontan menggeleng. “Ah, aku gak ngopi,” ucap dia dengan santun.
“Coba dulu deh…kalau gak suka biar aku yang ngabisin,” sedikit insist aku menjawab.
Tak mau mengecewakan tuan rumah, temanku lantas membaui. Mata kami beradu saat aku memperhatikan dia menghirup aroma. “Eh, kopi susunya enak juga lho..,” kata dia begitu menyeruput untuk kali pertama. Ia pun mereguk minuman itu sampai tetes terakhir. Tandas!
Ketika kutawarkan segelas kecil lagi, ia tampak girang. ”Emang masih ada lagi?”
“Tentu masih ada. Sebentar aku panasin ya…..”
Temanku sungguh menikmati kopi susu ekstra tersebut. Hhmmm… Karena aku pandai meracik kopi susukah? Bukan. Rahasianya terletak pada materi yang istimewa: bubuk Kopi Sedap dari Siantar. Kok jadi berpromosi? Tidak juga. Aku sekadar menceritakan sebuah kejadian kecil yang aku alami saja.
Ingin menyenangkan tetamu dan diri sendiri, selama ini kami selalu mengusahakan agar stok Kopi Sedap tetap terjaga di rumah. Biasanya kalau keluarga yang hendak pulang kampung menawari, kami hanya menginginkan oleh-oleh Kopi Sedap.
Tentu pemudik tak selalu ada sementara kebutuhan kami akan kopi tak pernah sirna. Maka, kalau stok yang kami tempatkan di freezer sudah mulai tipis kami akan meng-order langsung ke Siantar.
Pesanan akan dikirim Si Kokoh lewat perusahaan ekspedisi, alias delivery. Ongkos kirimnya sih lumayan tapi demi memenuhi hasrat ngopi, kami rela membayar ekstra untuk dua atau tiga kilo. Hitung-hitung ongkos pengiriman ini biaya ngopi di luar rumah.
Lagi pula suamiku hanya merasa sudah ngopi kalau telah mengkonsumsi Kopi Sedap. Saat deadline mengerjakan naskah ia bisa menghabiskannya bergelas-gelas. Begitupun perutnya tak akan kembung. Dasar pecandu kopi ya….
Orang Siantar biasanya tidak asing dengan Kopi Sedap. Kalaupun tak pernah minum di sana ya paling tidak mereka acap melintas di depan kedainya. Mungkin ada dari mereka yang tak pernah memperhatikan dalamannya sebab matanya lebih tertarik pada etalase dinding toko roti Ganda di sebelahnya.
Tak seperti Ganda, kaum lelaki yang menjadi pengunjung tetap Kopi Sedap sehingga wajar saja kalau ada orang—perempuan terutama—yang segan menatap ruang dalamnya yang tak lapang namun hampir tak pernah lengang.
Sejak dulu di sinilah kaum pria elit kota kongkow. Pejabat pemerintah, pebisnis, pembesar partai, akademisi, makelar proyek, dan sosialita lain hang out di sini, terutama sebelum coffee shop modern hadir di hotel-hotel dan pusat perbelanjaan. Tak syak lagi kedai Kopi Sedap merupakan salah satu ikon Siantar. Maka, menurutku, pantaslah ia dijadikan cagar budaya; dengan begitu keaslian bangunan serta sajiannya perlu dipertahankan.
Kedai kopi alternatif kini sudah banyak di Siantar. Kok Tong yang berada di jalan seberang, salah satunya. Bersentuhan modern, kedai yang lebih besar ini merupakan tempat mangkal pilihan kaum muda kota. Kami sendiri terlanjur jatuh cinta pada Kopi Sedap sehingga belum berpikir untuk pindah ke lain hati. Sekali lagi, ini soal selera dan sejarah pertautan diri….
Rin Hindryati
Foto 1: Gelas porselin menambah nikmat rasa kopi (Foto: P. Hasudungan Sirait)
Foto 2: Kopi Sedap disuguhkan bersama roti bakar (foto: P. Hasudungan Sirai)
Foto 3: Di Siantar, kendaraan becak menggunakan moge BSA (Foto: P. Hasudungan Sirait)