NEWS

Para Pendaki dan  Penggemar Wisata Hutan Lebih Paham New Normal  

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Hutan menutupi 31% dari permukaan tanah di muka bumi ini dan wisata hutan telah mengisi ceruk sebagai salah satu segmen pariwisata yang tumbuh paling cepat di seluruh dunia.

Setelah pandemi global menjangkit 216 negara, berwisata ke hutan agaknya bisa menjadi pilihan untuk tetap bisa berwisata dan menerapkan protokol kesehatan yang ada, disamping wisata hutan melalui aktivitas Taman Nasional di banyak negara telah menjadi sarana untuk mempromosikan manajemen kehutanan dan mendukung masyarakat lokal.

Bepergian di sekitar area hutan membantu wisatawan mengamati dan berinteraksi dengan kehidupan tanaman dan hewan setempat di habitat alami mereka. Manfaat lain jika berwisata di hutan yaitu bisa memahami bagaimana memperlakukan alam dengan semestinya, Pengalaman berinteraksi dengan alam ini biasa dilakukan para pendaki gunung yang ingin mengeksplor kawasan hutan hingga ke puncak gunung.

Pengalaman yang dinikmati setiap orang mungkin berbeda tapi kerap sulit dilukiskan dengan kata-kata hingga akhirnya menjadi kunjungan rutin di berbagai tempat yang tak terhitung jumlahnya.  Bahkan mereka yang acuh tak acuh terhadap kehidupan hutan dan alam akan mendapatkan esensi dari berwisata ke hutan sambil mendaki gunung.

Di era New Normal , para pendaki sejati yang mencintai alam dan keluar masuk hutan lebih dulu menggalakkan wisata hutan yang memberikan nilai lebih berupa kesehatan dan peningkatan spiritual kepada Allah sang khalik.

Ada atau tidak ada pandemi global bagi Rahmi Hidayati, Ketua Umum Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI) yang juga pendiri Komunitas Perempuan Berkebaya sudah lama mengenalkan wisata alam pada masyarakat.

Sudah hampir lima tahun terakhir Rahmi mendaki gunung dengan kebaya dan kain lilit. Keluar masuk hutan, mendaki Gunung Rinjani, Gn Semeru, Gn Gede, Gn.Ceremai, Gn Prau, Gn Merbabu. Semua itu  merupakan deretan gunung yang pernah didakinya dengan memakai kebaya.

Saat mendaki gunung, Rahmi bakal membawa peralatan lengkap di dalam tas ransel serta memakai sepatu gunung demi keselamatan. Tatapan bingung sering dijumpainya dari pendaki lain 

Mereka seolah tak percaya ketika melihat sosok ibu dua anak–, yang tertua sudah menjadi dokter—berkebaya dengan kain lilit, mendaki hingga puncak gunung dengan ketinggian ribuan meter di atas permukaan laut. 

Bersama PBI sejak 2014 gebrakannya telah membuat wanita Indonesia setiap hari Selasa kini mengenakan kebaya sebagai baju nasional dan sejak 2019 lalu dia juga sudah memulai program “Kebaya Goes To The World”.

Kiprahnya ini di dukung Departemen Luar Negri sehingga bisa memperkenalkan kebaya sebagai busana asli perempuan Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Rahmi dengan komunitasnya melakukan serangkaian perjalanan, misalnya Desember 2019 lalu ke Bangkok, Thailand.

Pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus tahun lalu,  Rahmi juga mendaki Puncak Tugu, salah satu puncak dari Pegunungan Kendeng, di Pekalongan dengan ketinggian 2.117 Mdpl.

” Saya mendaki gunung pertama kali tahun 1987, waktu itu naik Gunung Gede lewat jalur Cibodas. Umur 19 tahun.  Waktu mendaki pertama kali rasanya berat karena memang lagi nggak enak badan. Terpaksa tidur di antara pos 3-4 karena muntah2 akibat masuk angin. Besoknya pendakian dilanjut dan sampai ke puncak,” kenangnya.

Perasaannya pertama kali naik gunung tentunya senang sekali dan langsung mendapat pelajaran berharga, meski dalam kondisi kurang fit jika memiliki keyakinan dan semangat yang kuat maka rasa teler juga hilang dengan sendirinya. 

“Intinya sih jangan mudah patah semangat apalagi belum mencoba. Pendakian selanjutnya dilakukan ketika bergabung dengan Mapala UI tahun 1988,”

Setiap mendaki gunung dan melewati kawasan hutan dari sisi spiritual, sungguh terasa banget betapa Allah maha besar. Gunung bahkan langit yang luar biasa luasnya, bumi dengan matahari serta planet di sekitarnya, cuma seperti butiran pasir di antara semesta ciptaanNya. Jadi sesungguhnya umat manusia itu kecil sekali, tidak  ada apa-apanya, ungkapnya.

“Sebagai manusia ciptaanNya, tak usahlah kita merasa “besar” dan sombong. Langit yang rasanya seperti bisa disentuh jari ketika berada di puncak gunung, ternyata jaraknya sampai jutaan tahun cahaya,”

Pengalaman naik gunung dari sisi kesehatan banyak manfaatnya karena   membuat badan luar biasa sehat. Sebagai penderita asma parah karena sering banget sesak napas sampai berbunyi ngik ngik, Rahmi bisa merasakan perubahan setelah rajin mendaki gunung.

“Ketika rajin naik gunung, nggak berasa asma nya hilang sama sekali, bahkan sampai sekarang pun nggak pernah kambuh lagi. Tentu aku tetap jaga kesehatan dengan cara menjauh dari asap rokok dan debu rumah,” kata Rahmi Hidayati.

Di usia yang sudah lolita ( lolos lima puluh tahunan) naik gunung juga melatih otot-otot tubuh untuk tetap bekerja dengan baik. Alhamdulillah sampai saat ini berat badannya juga tidak pernah berlebihan. Mungkin karena lemak-lemak tubuh habis terbakar saat mendaki, menapaki tanah sebagai undangan dari gunung.

Para pendaki sebenarnya menaklukkan diri sendiri dan saat melewati hutan dengan segala makhluk yang bersarang di dahan pohon akan jadi penyemangat dengan oksigen tak terbatas yang mereka keluarkan dari tiap helai daun. 

“Dalam perjalanan menuju puncak pula akan kita temui bahwa Allah memang ada dimana-mana, …. Ah, susah deh cerita soal ini kalau tidak mengalami sendiri hehehe,” ujarnya dilanjutkan tawa berderai.

Hutan di Indonesia ini ada yang berstatus Taman Nasional, ada juga Hutan Sosial. Kalau Taman Nasional, contohnya gunung-gunung  yang sering didaki atau danau-danau indah yang banyak diantaranya dijadikan obyek wisata. 

Perhutanan Sosial bisa digarap oleh masyarakat atas ijin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ini artinya hutan tidak hanya dijaga oleh pemerintah, tapi juga oleh masyarakat termasuk para pengunjung yang datang untuk menikmati keindahannya maupun masyarakat sekitar yang memanfaatkan keberadaan lahan hutan tersebut. 

Membuang sampah pada tempatnya menjadi kunci utama menjaga dan merawat hutan selama mendaki gunung atau mengunjungi obyek wisata alam tersebut. 

” Jadi harus ada kesadaran soal menjaga kelestarian alam melalui pengelolaan sampah yang baik. Akan lebih baik kalau sampahnya dibawa turun kembali, apalagi sampah plastik ” kata Rahmi Hidayati mengakhiri obrolannya.

Dekat Alam Lekat Tuhan

                             Adji Kurniawan ( foto: dok. pribadi)

Menjelajah hutan dan naik gunung juga aktivitas yang disukai wartawan senior Adji Kurniawan dari Travelplusindonesia.  Mulai kenal hutan dari SD sejak masuk Pramuka, sekitar umur 9 tahun saat mulai camping.  

“Lebih intens lagi saat duduk dibangku  SMA karena masuk organisasi pecinta alam di sekolah dan di kampung juga bikin kelompok pecinta alam ‘Tropis’. Jadi sering jelajah hutan & naik turun gunung,” ungkap Adji. 

Saat di bangku kuliah, Adji menjadi lebih sering masuk kawasan hutan sejumlah taman nasional bahkan  bikin kelompok jurnalis pecinta alam ‘Phinisi’ dilanjutkan setelah masuk dunia kerja, bikin komunitas pecinta alam & traveler ‘Kembara Tropis’ sampai sekarang walau sejumlah anggota kini sudah di usia sebagai warga senior alias sudah tua.

“Berwisata ke hutan dan melakukan pendakian rasanya bikin damai, sejenak bebas dari rutinitas dan menambah wawasan dari masalah sosiologi, geografi dan budaya,” jelasnya.

Selain itu hobby ini juga  menambah pertemanan, dan paling asyik bisa tahu langsung keindahan alam dan karekater bermacam gunung di Indonesia karena ada gunung yang super aktif, sedang, relatif tenang & dan ada gunung mati seperti gunung api purba Nglanggeran di Yogyakarta.

Ketinggian gunung juga bervariasi karena ada gunung berketinggian dibawah 1000 meter di atas permukaan laut atau MDPL, 2000 dan 3000- an. Ada gunung populer dan tidak populer,  ada gunung berstatus Taman Nasional bahkan ada gunung yang dianggap keramat dan ada gunung yang instagramable karena  punya pemandangan menawan.

Dua manfaat secara spiritual dan kesehatan sangat terasa. Secara spritual Adji merasa lebih dekat dengan sang Maha Pencipta alam . Itu sebabnya sejak dulu ada motto pecinta alam : Dekat Alam Lekat Tuhan artinya kedekatan dengan alam harus lebih melekatkan diri dengan penciptanya dalam artian harus menjadi hambaNya yang taat.

“Rutinitas ibadah sholat kalau dilakukan saat pendakian, di hutan, lereng dan puncak  gunung terasa lebih nikmat, sekalipun kondisi fisik lelah, ngantuk dan dingin. Paling asyik lagi kalau sholat wajibnya di gunung dilakukan  berjamaah bisa berdua atau bertiga dengan  teman sependakian karena terasa lebih berkesan.

“Karena itu sejak kuliah saya tanamkan pendaki gunung bernilai plus artinya bisa pendakian gunung yang bernilai sosial, pendidikan, ramah lingkungan, dan lainnya, jadi bukan pendakian gunung biasa sekadar naik sampai puncak, foto-foto lalu turun. Ada aktivitas sosial juga yang kita lakujan,” ungkapnya.

Secara kesehatan, jelas sangat mendukung. Dulu sebelum pendakian terlebih gunung yang terbilang tinggi dan sulit seperti Ceremai, Semeru, Rinjani, sebelum mendaki saya biasakan latihan fisik suku minimal seminggu 2 kali dengan jogging di Senayan (terutama di trek bukit hutan kotanya).

Secara kesehatan dengan sering mendaki gunung berarti sering menghirup udara segar, bersih, bebas polusi, kaya oksigen karena melewati hutan, sungai, air terjun, telaga. Fisik dan mental pun lebih terlatih dan teruji.

“Saat berada di hutan, mencium aroma pepohonan dan tanah itu enak banget. Kadang kalau kelamaan di hutan jadi terhipnotis, malah jadi malas untuk mendaki ke puncak gunung ” ungkap Adji.

Tapi untungnya, sejak dulu saat  mendaki gunung Adhi targetnya harus sampai puncak dan itu sebelum matahari terbit supaya bisa lihat pesona sunrise lalu sholat subuh di puncak. Entah kenapa jika tidak sampai melihat sunrise, dia merasa gagal mendaki gunung itu.  Meski dalam dunia pendakian, sejatinya tidak ada istilah ‘menaklukan’ gunung, yang ada menaklukan diri sendiri (ego,  fisik/mental).

Menurut Adji, penetapan hutan dan gunung sebagai kawasan konservasi entah itu Cagar Alam, Taman Wisata adalah cara terbaik menjaga hutan ya ng dilakukan pemerintah. Tinggal bagaimana menerapkannya di lapangan.

“Masalahnya hutan kita amat luas,  jumlah Taman Nasional (TN) hingga 2019 ada 54 TN, sementara SDM/penjaga hutannya terbatas. Belum lagi banyak faktor penyebab kerusakan hutan oleh perambah hutan, faktor alam seperti kebakaran,” 

Pemerintah harus lebih siap dan tegas lagi dalam menjaga keberadaan hutan dari pihak-pihak yang rakus & tak bertanggung jawab. Sedangkan komunitas, LSM, kelompok pecinta alam harus bahu membahu mengatasi kerusakan hutan.

“Kita harus rajin menyuarakan informasi untuk ramah lingkungan dan wisata sambil merawat hutan saat melakukan berbagai aktivitas wisata alam, petualangan, pendakian gunung,” kata Adji.

Ke depan banyak pihak optimistis wisata hutan makin digemari masyarakat. Namun hutan wisata terutama hutan pinus yang kini  banyak dikunjungi  wisatawan juga harus dijaga daya dukung dan peruntukan fasilitas umumnya sehingga tidak menjadi merusak lingkungan, tutupnya. 

 

 

 

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)