Oleh : Rahmawati Bustaman.
Salah satu dampak dari Pandemi global COVID-19 adalah berbondong-bondongnya non-Muslim terutama di Jerman dan negara Eropa lainnya seperti Ingggris, Perancis, Amerika Serikat, Argentina, Brazil, Cuba dan negara lainnya di Amerika Selatan masuk Islam.
Masjid-masjid besar memang open house bagi mereka yang ingin belajar lebih banyak tentang Islam. Dilansir dari Boston Globe, Senin (3/4), Council on American-Islamic Relation (CAIR) menjelaskan pengunjung akan mendapatkan semacam tur ke masjid. Dilansir dari www.aminef.or.id, mereka akan dapat pengelanalan singkat tentang Islam dan dibolehkan melihat secara langsung umat Islam melaksanakan ibadah shalat.
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Terpisah ribuan kilometer jarak, saat ibunda menelpon maka pertanyaannya sederhana, namun sangat berkaitan dengan kecintaannya pada Allah SWT.
“Dek, meunyo i lua pake jilbab kon?”
“Pakelah Mak, meu i rumoh mantong pake, peu lhom di lua.”
Itulah sepenggal percakapan saya dengan ibu saya saat videocall. Itulah juga salah satu kekhawatiran ibu yang anaknya sedang berada di luar negeri, tepatnya di Negeri Paman Sam, Amerika Serikat.
Tidak pernah saya bayangkan, anak kampung dari Meunasah Pulo Lhee, Sakti, Pidie, akan menginjakkan kaki di Amerika. Bukan sebagai turis atau mahasiswa S2/S3, melainkan sebagai pengajar utama di Kelas Audit Bahasa Indonesia di universitas tertua di sana dan paling bergengsi di dunia, yaitu Universitas Harvard.
Ini merupakan program Fulbright Foreign Language Teaching Assistant (FLTA) yang berlangsung selama satu tahun akademik atau sembilan bulan.
Dari awal penyeleksian, saya sudah berharap lulus di kota dan universitas yang nyaman untuk saya sebagai muslimah.
Ketika tiba pada tahap penyeleksian universitas, ada empat universitas yang yang harus saya rankingkan. Yakni, Columbia University, Harvard University, University of Georgia, dan Indiana University.
Saya pun mulai mencari informasi tentang universitas-universitas itu dan juga kotanya. Dari semua pertimbangan, saya memilih University of Georgia sebagai pilihan pertama saya. Dengan alasan profesor pembimbingnya adalah seorang muslim.
Saya berpikir, jika beliau muslim, beliau akan memudahkan saya untuk beribadah, setidaknya di area kampus tempat saya bertugas. Akan tetapi, takdir berkata lain, saya diluluskan di Harvard yang merupakan pilihan ketiga saya.
Tentu saja saya bahagia lulus di universitas ternama itu. Jujur, sebelumnya saya sangat memimpikan lulus di sana, hanya saja saya kurang percaya diri (PD) hingga tidak memilihnya sebagai pilihan pertama.
Seperti kata pepatah, jodoh tak lari ke mana. Saya pun mulai mencari informasi lebih dalam tentang kampus ini dan Boston. Rupanya banyak muslim di sana, hingga mereka memiliki beberapa masjid dan Harvard pun memiliki musala untuk mahasiswa muslim.
Akan tetapi, rasa khawatir itu tetap ada walaupun sedikit. Beberapa pertanyaan muncul di benak saya. Apakah akan aman untuk saya berada di Amerika? Bisakah saya shalat dengan tenang? Apakah akan ada orang yang mengganggu saya karena berjilbab?.
Apalagi pernah ada yang menceritakan kepada saya bahwa keluarganya pernah diteriaki “teroris” di salah satu bandara Amerika. Oleh karena itu, sebelum berangkat ke sana, saya sering memikirkan apa yang harus saya lakukan jika kejadian yang serupa menimpa saya.
Tanggal 4 Agustus 2018, saya berangkat ke sana. Gerbang USA pertama saya adalah Bandara O’Hare Chicago. Alhamdulillah, tidak ada masalah apa-apa, bahkan petugas di sana tersenyum ramah.
Berikutnya, saya menuju Indiana untuk summer orientation di Universitas Notre Dame. Di sana saya juga merasakan kebaikan orang Amerika ketika saya dan teman-teman berkesempatan mengunjungi sebuah museum.
Saya dan salah satu teman dari Pakistan ingin shalat Ashar dan kami bertanya kepada salah satu pegawai museum itu di mana kami bisa shalat. Tanpa menanyakan apa pun, dia langsung menunjukkan tempat yang layak untuk kami
Setelah lima hari berada di Indiana, saya pun berangkat ke Boston. Sungguh, dari awal tiba di Kota Boston hingga saat ini saya merasa aman dan nyaman. Kota ini sangat ramah terhadap muslim.
Banyak toko makanan halal yang saya jumpai di sini hingga tidak membuat saya kesulitan dalam mengolah makanan atau ingin sekadar jajan di luar. Kebanyakan penjualnya berasal dari Palestina, Maroko, Pakistan, dan India.
Untuk restoran atau kafé Indonesia memang belum ada, tapi hampir semua bumbu masak Indonesia ada di sini, yaitu di toko Asia. Tentu saja, saya yang mempunyai lidah asam sunti, menjadi pelanggan tetap di toko-toko Asia itu.
Masjid pun ada di beberapa tempat kota ini. Bahkan salah satunya, yaitu ISSBC dibangun oleh Wali Kota Boston terdahulu. Masjid itu merupakan masjid terbesar di Boston. Di Harvard sendiri, tersebar mushala di beberapa tempat. Salah satunya berada di basement asrama kampus lengkap dengan tempat wudhunya.
Ada juga yang berupa ruangan kecil, dan ada juga prayer room yang artinya tempat ibadah untuk semua agama. Di departemen saya pun saya diberi tempat untuk shalat, yaitu di ruang penyimpanan file merangkap tempat ibu menyusui.
Memang tempat-tempatnya tak seluas dan sebagus tempat shalat di universitas di Aceh, tapi itu semua cukup layak. Orang-orang Boston cukup ramah dan baik.
Selama di sini tak pernah saya jumpai orang yang memandang aneh ke jilbab saya. Mereka terlihat cuek atau biasa saja. Jika saya minta bantuan, mereka tak segan-segan membantu, dan terkadang ada juga yang meminta bantuan saya.
Sama seperti di Indonesia, jika beradu pandangan, mereka akan tersenyum. Pernah saya tertidur di kereta dan tanpa sadar telah tiba di pemberhentian terakhir yang merupakan pemberhentian saya, salah satu penumpang menepuk lengan saya hingga saya terjaga.
Tidak terbayangkan jika saya tidak terbangun, pasti saya sudah bolak-balik ke tempat semula. Hehe.Bahkan awal saya tiba di Boston, saya harus naik taksi sendiri pada pukul 01.30 malam dari bandara menuju rumah tempat tinggal saya.
Tiba di sana, rupanya orang-orang rumah semuanya tertidur dan tidak mendengar ketukan pintu. Sopir taksi itu bersedia menelepon nomor-nomor yang saya berikan walaupun tidak ada yang mengangkatnya.
Sesekali dia bertanya mengapa teman saya tidak menunggu saya. Tapi dengan baik hati dia mau menunggui saya di situ sampai orang rumah membuka pintu setelah hampir 30 menit saya berdiri di luar mengetuk pintu dengan perasaan takut tak karuan. Tentunya masih ada beberapa kebaikan lainnya yang saya dapatkan di sini, tapi tidak mungkin saya ceritakan semuanya.
Rasa nyaman itu juga saya dapatkan di Kampus Harvard. Saya tidak pernah merasakan dilecehkan atau diperlakukan tidak adil di lingkungan kampus. Semua profesor dan teman sekelas saya mau mendengar pendapat saya dan sangat menghargainya.
Sering di kelas Philosophy of Education yang saya hadiri, saya menjelaskan tentang Islam. Akan tetapi, tidak terlihat kening yang berkerut atau mata yang mengeryit dari mereka. Entah bagaimana dengan hati mereka, saya tak tahu.
Setidaknya mereka tidak menunjukkannya di depan saya sehingga saya pun merasa sangat nyaman dalam beropini. Alhamdulillah, sejauh ini saya merasakan sangat aman di sini.
Mulai dari bepergian di malam hari hingga ketika berada di sekitar orang yang sedang mengisap mariyuana sekalipun. Tidak pernah terdengar siulan nakal terhadap perempuan di sini walaupun dia memakai baju yang sangat terbuka, apalagi ucapan salam yang menggoda untuk muslim.
Kota ini juga kota yang sangat diverse atau beragam. Berbagai orang dari negara, etnis, ras, agama yang berbeda ada di sini dan mereka bisa berbaur dengan semuanya. Masyarakat di sini sudah sangat terbiasa menghadapi keragaman.
Saya bersyukur bisa merasakan kehidupan di kota ini. Jika saya bandingkan dengan kota lain yang sudah saya kunjungi, masjid di kota ini memang tak sebanyak di Philadelphia, makanan halalnya tidak sebanyak di New York, tapi jika digabungkan semuanya, menurut saya, Boston masih tetap yang terbaik.
Lima bulan sudah saya berada di Boston, ibu kota negara bagian Massachusetts. Sungguh tak terasa bulan-bulan yang telah terlewati itu, mungkin karena saya menikmatinya.
Pernah saya dengar, ada beberapa orang yang tak berani melanjutkan pendidikan di Amerika karena menurut mereka negara ini tidak ramah terhadap muslim. Saya rasa itu anggapan yang kurang tepat karena sebenarnya cukup banyak kota yang ramah terhadap muslim. Salah satunya adalah Boston.
Mungkin pengalaman saya berbeda dengan orang yang lain. Yang pasti, inilah yang saya rasakan dan saya yakin ini semua tidak terlepas dari lindungan Allah.
Teringat lagi suatu sore pada hari raya Idul Adha, ketika saya menunggu kereta untuk pergi ke komunitas Turki, salah satu penumpang yang ke luar laki-laki Amerika kulit putih berusia sekitar 50 tahun tersenyum dan meraih tangan saya.
“God be with you, Allah be with you” yang berarti Tuhan bersama kamu, Allah bersama kamu.” ujar pria itu sebelum kami berpisah.
Penulis adalah penerima Beasiswa Fulbright Program FLTA di Harvard University, USA. Alumni Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2012.