HALAL REVIEW

Masa Depan Industri Halal Pasca COVID-19

JAKARTA, bisniswisata.co. id: Sebelum pandemi COVID – 19 merebak, industri halal mengalami perkembangan yang positif dan peningkatan jumlah pasar produk halal didunia seperti disebutkan di dalam laporan ‘the State of the Global Islamic Economy 2019/20’.

Laporan yang diterbitkan DinarStandard, bahwa konsumen Muslim menghabiskan US$2,2 triliun pada sektor halal dan gaya hidup Islam pada tahun 2018 dan adanya peningkatan 5,1% dibandingkan tahun 2017.

Kemudian menurut laporan tersebut, sektor halal dan gaya hidup Islam diperkirakan akan mencapai US$3,2 triliun pada tahun 2024. Industri halal tidak hanya terdiri dari sektor makanan, tetapi juga termasuk sektor pariwisata, farmasi dan kosmetik, media dan rekreasi.

Dilansir dari mysharing.co, setelah pandemi COVID-19, terdapat sektor yang terdampak sangat besar seperti sektor pariwisata dengan estimasi penuruan angka sebesar 20%-30% dan pendapatan akan menurun sebesar  US$300 sampai US$450 milyar termasuk diantaranya Turki dan Indonesia.

Di Indonesia diperkirakan akan terjadi peningkatan angka pengangguran yang mencapai 2.8 juta pekerja. Ini disebabkan karena adanya pembatasan pergerakan dan terhentinya penerbangan antar Negara.

Tetapi ada sektor yang bisa dimanfaatkan lebih baik lagi seperti sektor makanan halal. Produksi dalam negeri bisa dimaksimalkan dan menurunkan ketergantungan impor makanan.

Selain itu, terdapat potensi sektor-sektor lain untuk dapat dikembangkan seperti halal lifestyle media and digital apps (virtual tourism by 3D photo), online grocery shopping, Islamic social finance, fintech dan lain-lain. Sektor ini sesuai diterapkan di negara minoritas Islam seperti di Inggris dan negara Eropa lainnya.

Diantara strategi-strategi yang disarankan terhadap industri halal adalah beradaptasi dengan saluran distribusi, berusaha untuk meminimalisir celah (gap) dan menghindari dari ketergantungan impor.

Untuk industri kecil dan menengah akan menghadapi kesulitan karena mereka tidak mempunyai modal dan sumber daya yang mencukupi untuk mem-backup keadaan yang sulit ini.

Bagi manajemen perusahaan perlu membuat perubahan dari segi kepemimpinan, komunikasi, matchmaking dan anggaran pemasaran.

Negara-negara OKI saat ini belum menjadi negara-negara exportir (10 terbesar) produk halal di dunia, hanya Indonesia menempati urutan ke-10. Banyak peluang Negara Muslim belum dieksploitasi dengan optimal. 

Begitu juga dengan merek Halal (Islamic branding) yang didominasi Thailand, yang mempunyai 20 merek dari 200 lebih merek halal/Islam dunia. Sedangkan Indonesia dan Malaysia hanya punya 1 atau 2 merek Islam saja.

Oleh karena itu, Negara-negara OKI harus bekerja sama erat untuk meningkatkan produk dan pasar halal termasuk pada harmonsasi standar sertifikasi halal. 

Termasuk menerapkan aspek transparansi, kepercayaan dan traceability agar industri halal dapat terus bertahan dan meningkat pasca COVID-19 outbreak ini.

CEO & Managing Director Dinar Standard – Mr Rafiuddin Shikhoh mengungkapkan, ada 7 sektor yang kita fokuskan dalam halal ekonomi yaitu makanan halal, fesyen muslim, media dan rekreasi halal, pariwisata halal, obat-obatan halal, kosmetik halal dan keuangan syariah.

“Dampak negatif langsung terbesar adalah pada sektor pariwisata. Tentu saja, pengeluaran 189 miliar dolar AS oleh Muslim untuk pariwisata menurut data dari State of Global Islamic Economy Report 2019/2020 juga akan berkurang drastis sebagai dampak VOVID -19.” ungkapnya.

Hal ini akan mempengaruhi negara tujuan pariwisata dalam negara-negara OKI termasuk Indonesia. Ekosistem dari pariwisata seperti hotel, restoran dan katering juga akan terkena dampak,” jelas Rafiudin dalam acara Media Briefing Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) International Webinar – 2nd Series  “The Impact of COVID-19 to Global Halal Industry” baru-baru ini yang diselenggarakan secara online.

Menurut Rafiudin, di sektor fesyen muslim akan lebih sedikit berdampak sama seperti sektor kosmetik halal. Sementara itu, keuangan Islam akan terkena dampak secara signifikan, namun makanan dan farmasi halal adalah sektor yang paling sedikit terpengaruh.

“Adapun negara yang paling terpengaruh oleh COVID -19 ini dapat dilihat dari hasil kajian yang dilakukan oleh Oxford Analytica yang mengkaji hal tersebut berdasarkan dua matriks yaitu  kesiapan kesehatan negara dan negara yang lebih bergantung pada pendapatan ekspor. 

Negara yang ekonominya bergantung dengan ekspor lebih rentan dalam hal dampak rantai pasokan global dan ketergantungan global. Contohnya Bangladesh dan Pakistan, negara yang tidak siap dalam hal layanan kesehatan, namun karena ekspor mereka relatif rendah terhadap PDB. Hal ini membuat mereka kurang terkena dampak penurunan ekonomi global,” papar Rafiudin.

Lebih lanjut dipaparkan Rafiudin, berdasarkan kajian dari Dinar Standard dan COMCEC terkait kerentanan keamanan pangan di negara-negara OKI, ada 4 pengelompokan negara-negara OKI terkait kerentanan keamanan pangan.

Salah satu pengelompokannya adalah ada negara yang secara ekonomi stabil namun bergantung pada impor makanan seperti Arab Saudi, dan Bahrain. Indonesia termasuk kelompok negara yang memiliki kapasitas pertanian tinggi sehingga memiliki stabilitas sistem pangan.

Rafiudin lalu menjalaskan, bahwa global lockdown telah mengubah perilaku konsumen, dinamika industri dan kebijakan pemerintah, sehingga hal ini juga dapat menciptakan peluang-peluang baru diantaranya:  Industri/investor,  keterlibatan digital yang tinggi di sebagian besar industri B2C.  

Berikutnya, belanja grosir online melonjak, 20% -30% di banyak pasar.  Selanjutnya, permintaan makanan yang sehat dan tidak terkontaminasi menciptakan peluang bagi pertumbuhan global makanan halal.  

Kemudian, fintech- proposisi keuangan dan takaful digital mendapatkan momentum.  Lalu, keuangan sosial islam meningkat (shadaqah, zakat dan wakaf). 

Berikutnya lagi, pembelajaran/pendidikan online: transisi jangka panjang ke pembelajaran online hybrid. Kemudian, media digital “gaya hidup halal” dan aplikasi digital (hiburan, langganan media rumah, game) meningkat.

Selanjutnya, ketahanan pangan menciptakan peluang bagi negara-negara OKI/ekspor halal/ekonomi tangguh dan sistem yang baik (digerakkan oleh rantai-rantai).

“Sinyal awal industri halal ke depan adalah keamanan pangan dan ekonomi yang mendorong investasi pasar halal. Kami melihat peningkatan fokus pada produksi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor. Hal ini terlihat dari Arab Saudi, UEA, Nigeria dan banyak pasar lainnya. 

Lompatan besar dalam konsumsi dan layanan online, mendorong peluang untuk fintech Islam, media dan aplikasi halal, dan pendidikan bertema islam. Keuangan sosial Islam juga mengalami peningkatan,” jelas Rafiudin.

Sementara itu, President and CEO IsFin yang juga konsultan strategi emerging market – Prof Laurent Marliere dalam dialog ini mengungkapkan, industri halal dipengaruhi oleh berbagai sektor. Jadi setiap sektor membutuhkan jawaban spesifik.

“Pariwisata halal atau makanan halal tidak terpengaruh dengan cara yang sama seperti keuangan syariah atau fesyen muslim,” tandas Prof Laurent.

Menurut Prof Laurent, strategi untuk meminimalkan Dampak COVID-19 pada Industri halal adalah dengan menyesuaikan saluran distribusi ke pemasok lokal, dan mengisi celah dan mengurangi ketergantungan impor. 

Kemudian, melakukan 3 T: Transparency (Transparansi), Trust (kepercayaan) dan traceability (keterlacakan). Berikutnya, memaksimalkan online dan menjadi digital. Selanjutnya, belajar dan mempersiapkan gelombang pandemi yang akan datang.

“Jalankan manual operasional Anda. Karena kita mungkin harus berhadapan dengan pandemi selama beberapa bulan kedepan, jadi akan ada gelombang yang kita hadapi lagi. Kita perlu belajar dari pengalaman masa lalu. Disarankan perusahaan, menjalankan manual operasional ketika masalah serupa tiba,” kata Prof Laurent.

Selanjutnya menurut Prof Laurent, saat ini adalah momen yang tepat untuk berdialog dengan pemerintah, ataupun otoritas guna meningkatkan kebijakan pendukung, baik terkait dengan kebijakan sertifikasi halal, ekspor-impor, maupun kebijakan pendukung industri lainnya.

Sementara itu, menurut Nahla Mesbah, peneliti American University di Kairo mengatakan  dalam skala global dari segi ekonomi halal, dampak negatif yang paling besar adalah terhadap sektor travel and tourism. Dampak negatif yang paling tinggi terjadi pada sektor muslim friendly travel dibandingan sektor industri halal lainnya.

“Secara khusus ini terjadi karena adanya pembatasan perjalanan akibat COVID-19, semua penerbangan dibatalkan, begitu juga perjalanan kemanapun dibatalkan, untuk mengurangi penyebaran covid-19,” kata Nahla.

Nahla menjelaskan, The World Tourism Organization (UNWTO) bahwa kedatangan wisatawan turun 20-30% pada tahun 2020, dan ini merupakan penurun penerimaan pariwisata internasional sekitar 300- 450 juta miliar, hal ini adalah kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya.

“Dari segi ekonomi halal, sektor pariwisata seperti Haji dan Umrah sebagai pemasukan utama dalam sektor industri ini juga terkena dampak. Arab Saudi telah membatasi perjalanan umrah, sehingga pendapatan besar di sektor ini juga mengalami kerugian.,” kata Nahla.

“Kita tidak tahu, pandemi ini akan mengganggu kegiatan industri sampai kapan. Terganggunya industri bukan hanya dari segi pendapatan bagi industri saja tetapi juga pekerjaan. Sebanyak kurang lebih 75 juta orang telah kehilangan pekerjaan akibat wabah COVID -19 ini,” papar Nahla.

Nahla lalu menjelaskan,  pada negara-negara OKI, seperti di Indonesia sekitar 2.8 juta orang telah kehilangan pekerjaan, Turki sekitar 700.000 orang kehilangan pekerjaan, Mesir sekitar 400.000 orang kehilangan pekerjaan.

“Kehilangan pekerjaan akan mengakibatkan kerugian dan kehilangan pemasukan, tentunya ini akan menimbulkan berkurangnya permintaan dari masing-masing negara, orang-orang juga kehilangan aktivitas,” jelas Nahla.

Menurut Nahla,  strategi penting dalam mengatasi kesulitan Muslim-friendly travel: pertama,  tour secara virtual, seperti yang dilakukan oleh Kementerian Pariwisata di Mesir meluncurkan serangkaian perjalanan virtual yang menampilkan foto tiga dimensi serta video panduan dari situs arkeologi dengan informasi dalam bahasa Arab dan Inggris. 

Selain itu, Abu Dhabi #staycurious (contoh tujuan): video 360 derajat untuk petualangan olahraga air, gurun, pemandangan langit Abu Dhabi.

Strategi kedua, perlu Inisiatif dukungan sektor swasta seperti, StratUp Hotel Data Cloud (menggunakan Artificial Intelligence dan mesin untuk membantu hotel terlibat dengan konsumen) mengalokasikan 350K dollar dalam pendanaan awal dari investor lokal dan internasional untuk mendukung hotel dalam menggaet pelanggannya kembali pasca COVID -19.

Ketiga, inisiatif dukungan pemerintah seperti, beberapa negara telah menyiapkan paket stimulus untuk industri pariwisata, Dubai menerbitkan paket stimulus ekonomi US$408 juta (termasuk untuk pariwisata), Turki mengumumkan stimulus ekonomi US$15.4 miliar dollar AS untuk mengurangi dampak krisis kesehatan COVID -19 pada semua sektor (termasuk pariwisata).

Dan terakhir, keempat merger, seperti beberapa maskapai sedang berdiskusi merger (kasus AirMalaysia dan AirAsia).

“Sebagian besar negara OKI adalah importir. Satu-satunya ekspor utama dari negara OKI adalah energi.  Untuk itu, kita membutuhkan lebih banyak kerja sama dari segi ekonomi, kita semua perlu saling mendukung dan kita sebaiknya dapat saling melengkapi dalam jangka pendek maupun jangka panjang,” demikian Nahla Mesbah.

Catatan : Artikel ini telah diterbitkan oleh MySharing.Co, Mei lalu dan tetap relevan sebagai acuan. MySharing.Co  adalah  portal ekonomi dan keuangan syariah untuk menyosialisasikan ekonomi dan bisnis syariah kepada masyarakat umum melalui situs web. 

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)