HILDA'S NOTE

Mana yang Utama, Kesehatan VS Ekonomi ?

Obyek wisata Lumina di Grand Maerakaca, Semarang terapkan protokol kesehatan demi keamanan pengunjung. ( Foto: HAS) 

UPAYA  memulihkan aktivitas pariwisata digaungkan oleh semua asosiasi industri pariwisata dunia dan di tanah air. Maklum pandemi COVID-19 telah menjatuhkan perekonomian banyak negara. Bahkan beberapa negara telah masuk ke jurang resesi.

Menurut data Trading Economics. sedikitnya 50 negara termasuk negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang telah resmi menyatakan resesi. Untuk AS hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonominya selama kuartal II nya tertekan dalam.

Tak heran organisasi dunia seperti Badan Pariwisata Dunia di bawah PBB (UNWTO), World Travel & Tourism Council ( WTTC), International Air Transport Association ( IATA) dan Airports Council International (ACI) sejak awal pandemi sudah gencar mengeluarkan berbagai rekomendasi, pernyataan sikap, seruan, himbauan dan rangkaian kampanye.

Pariwisata adalah penggerak utama ekonomi dunia, terhitung 7% dari perdagangan internasional.  Secara global, pariwisata menghasilkan secara langsung atau tidak langsung satu dari setiap sepuluh pekerjaan.  

Krisis COVID-19 telah hancurkan ekonomi pariwisata, dengan efek yang belum pernah terjadi sebelumnya pada pekerjaan dan bisnis.  Pariwisata adalah salah satu sektor pertama yang sangat terpengaruh oleh langkah-langkah penahanan COVID-19.

Pembatasan perjalanan yang sedang berlangsung dan resesi global yang membayangi masih ditambah  risiko menjadi salah satu sektor yang terakhir pulih. Kini 100 juta pekerjaan di sektor ini terancam kehilangan pekerjaan.

Hidup di era New Normal, ternyata adalah hidup berdampingan dengan COVID-19 yang belum ada vaksinnya dan diwarnai perdebatan seru antara mana yang diutamakan lebih dulu ?. Kesehatan atau ekonomikah ?. Seperti halnya ayam dan telur, mana yang lebih dulu utamanya ?

Industri pariwisata termasuk industri penerbangan di dalamnya giat mengkampanyekan safe travel. Di tanah air, Indonesia National Air Carriers Association (INACA) sejak awal Agustus lalu juga sudah mengkampanyekan program safe travel  ini.

Inti dari seruan-seruan dan kampanye juga terkait dengan menyelamatkan industri penerbangan nasional dinegara masing-masing dengan suntikan dana tanpa harus berhutang, maupun permintaan IATA agar biaya rapid test misalnya, ditanggung oleh pemerintah bukan konsumen calon pengguna angkutan udara.

Endorse pada selebgram untuk mengajak masyarakat melakukan perjalanan aman dan nyaman dengan moda transportasi udara juga gencar dilakukan oleh instansi pemerintah seperti Kementrian Perhubungan, Kemenparekraf/ Bekraf dan lainnya.

Meski belum ada pernyataan resmi atau hasil survey mana yang lebih ampuh menanamkan rasa aman perjalanan,  peranan pers nasionalkah ? atau para influencer berbayaran selangit itu ?.

Rasa jelous memang harus dikesampingkan dulu karena yang jelas perlu tindakan kuat dan terkoordinasi untuk menyelamatkan jutaan mata pencaharian baik di Indonesia maupun seluruh dunia akibat pandemi global ini.

Dengan prediksi penurunan 60-80% dalam pariwisata internasional tahun 2020, dan penurunan ekspor antara US$910 miliar dan US$ 1,2 triliun. Selain dampak langsung ini, ekonomi pariwisata bukan hanya  terkait dengan transportasi udara, darat maupun laut.

Pariwisata banyak terkait sektor lain termasuk konstruksi, agro-pangan, jasa distribusi dan lainnya  yang kesemuanya memperburuk besarnya guncangan.  COVID-19 telah mengungkapkan pentingnya ekonomi makro pariwisata di sebagian besar negara OECD dan G20.

Hal itu terungkap pada pertemuan para Menteri Pariwisata G20 tanggal 7 Oktober lalu yang menyerukan tindakan kuat dan mendesak di tiga bidang untuk menopang jutaan mata pencaharian.

Pertama, kerja sama multilateral yang diperkuat dan dukungan yang kuat sangat penting untuk mengaktifkan kembali perjalanan.

Kedua, pemerintah harus mendekati pemulihan pariwisata dengan cara yang lebih terintegrasi – melibatkan semua tingkat pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat sipil dalam rencana yang praktis dan dapat ditindaklanjuti untuk hidupkan kembali sektor pariwisata.

Ketiga, kita perlu membentuk kembali pariwisata yang bertanggung jawab dan inklusi.  Sektor pariwisata, dapat memiliki pengaruh lingkungan dan sosial yang penting, baik melalui emisi gas rumah kaca, dengan mempengaruhi lingkungan alam dan budaya yang rapuh atau mempengaruhi  masyarakat yang jadi tuan rumah ?.

Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Wakil Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Angela Tanoesoedibjo, kemarin di Bali  menekankan pentingnya berbagai upaya atau program sinergi untuk membangkitkan kembali sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.

Menurut data UNWTO, sejak Januari hingga Juni 2020 pariwisata dunia kehilangan 440 juta turis. “Indonesia diperkirakan kehilangan devisa sebesar  US$14,5-15,8 miliar  karena adanya penurunan kunjungan wisman karena sektor ini  sangat andalkan pergerakan manusia,” kata Angela.

Pihaknya telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan bantuan untuk membantu para pelaku pariwisata yang terdampak oleh pandemi ini dan dari segi ketahanan industri pariwisata, fokusnya saat ini adalah untuk peningkatan kualitas dari destinasi dan persiapan industri dalam adaptasi kenormalan baru serta pascapandemi COVID-19.

Selain itu, Kemenparejraf juga telah mengalokasikan lebih dari 119 miliar untuk sertifikasi Clean Health Safety Environement ( CHSE) secara gratis dengan lembaga independen, yang ditujukan untuk meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap sektor pariwisata.

Sementara, untuk membangkitkan kembali sektor pariwisata Tanah Air, Angela menuturkan pihaknya akan memberdayakan wisatawan nusantara melalui program diskon pariwisata yang rencananya akan diluncurkan pada 2021 atau setelah vaksin COVID-19 rampung.

“Diskon pariwisata ini gunanya untuk mendorong paket wisata domestik. Karena di masa pandemi ini, selain faktor kepercayaan masyarakat atas kebersihan destinasi wisata, daya beli masyarakat juga tengah menurun di masa pandemi ini,” ucap Angela.

Kebijakan ini in line dengan Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Widodo Muktiyo yang menyatakan sektor pariwisata bisa kembali bergeliat dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi nasional, khususnya untuk mengurangi jumlah pengangguran.

Untuk itu, wilayah destinasi pariwisata wajib menerapkan Protokol kesehatan (Prokes) sebagai standar baru dalam prosedur pelayanan kepada wisatawan agar dapat terhindar dari infeksi virus COVID-19 yang masih mewabah.

“Mengedepankan Prokes dalam setiap prosedur pelayanan kepada wisatawan yang tidak boleh ditawar oleh siapapun,” ujarnya.

Pernyataan Widodo Muktiyo beralasan karena saat sata melakukan perjalanan ke tiga provinsi dan satu Kabupaten sejak 21 September hingga 13 Oktober 2020 lalu, pengalaman berada di obyek-obyek wisata terutama setelah makan atau foto-foto banyak pengunjung obyek wisata yang lupa memakai maskernya lagi.

Masker dan aturan jaga jarak terutama untuk rombongan keluarga harus disiplin ditegakkan agar obyek wisata tidak menjadi kluster baru COVID-19. Cukuplah warung soto di Solo menjadi kluster baru virus ini dengan jumlah tracing yang mengejutkan gara-gara satu pengunjung.

Perlu ekstra pengawasan bagi pengelola obyek wisata untuk mengingatkan pengunjung untuk melaksanakan protokol kesehatan itu. Kalau perlu lewat pengumuman menggunakan pengeras suara dengan santun sehingga pengunjung juga tidak terganggu. 

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)