JAKARTA, bisniswisata.co.id: Ada sesuatu yang janggal di Jl Ciputat Raya No. 3, di jalan satu arah sudah dekat ke rel kereta Pasar Kebayoran Lama – umbul-umbul merah dan kuning memanggil-manggil serta spanduk besar “Telah Dibuka Restoran Masakan Padang Kadai Mak Ciak Kebayoran…”.
Ah, sebuah restoran baru? Janggal, karena sekarang masa pandemi dan sudah banyak sekali restoran yang tutup sepanjang tahun ini…kok ada yang berani membuka restoran baru?
Penasaran, suatu siang kami mendatangi restoran berlogo serba merah ini. Sejenak, langkah terhenti, ragu karena ruangan dalamnya mirip sekali dengan cafe! Untung di sebelah kanan terlihat palung khas restoran Padang dengan berbagai masakan yang langsung membuat perut terasa makin lapar.
Karyawan mempersilahkan kami untuk langsung memilih makanan. Oh, rupanya disini makanan dirames dan hanya dihidangkan by request. Mungkin karena sedang pandemi jadi setting-an seperti ini memang lebih higienis, selain cepat dan praktis.
Cara ini juga membuat kita tidak canggung jika mau berjumpa dengan teman-teman satu komunitas dan makan bersama dengan sistem bayar masing-masing sesuai yang dipesan. Selain disambut dan didampingi staf resto, flow setelah masuk langsung pilih nasi dan lauk pauk yang dipesan baru diarahkan pilih tempat duduk di ruang bawah atau ke ruang atas.
Saat memilih tampak oleh saya potongan-potongan tunjang yang besar dan ikan kepala kakap berbagai ukuran. Langsung teringat: aha, rupanya saya telah masuk ke restoran Padang yang sedang hit saat ini! Kadai Mak Ciak Kebayoran. Tunjang, rendang dan gulai kepala ikan kakapnya sedang menjadi talk of the town.
Tidak kurang dari YouTuber Nex Carlos meng-claim makanan Kadai Mak Ciak sebagai “…masakan Padang paling enak di Jakarta”. Sementara itu, Chef Haryo Pramoe, sambil menghabiskan rendangnya berujar di IG, “Rendang Mak Ciak enak sekali , memakai bahan-bahan yang berkualitas dan memakai kelapa asli sementara banyak restoran Padang lain mencampurkan minyak goreng dalam rendangnya.”
Restoran terdiri dari 2 lantai. Kami memilih duduk di lantai 2. Ruangannya luas, terang, dengan dekorasi yang juga lebih dekat dengan suasana sebuah cafe. Dinding-dinding dibuat bergaya industrialis minimalis dengan warna semen exposed dan lampu-lampu yang juga bertema industrialis. Beberapa dinding dilukis dengan gambar dedaunan hijau besar ditambah aksen oranye, membuat ruangan terasa hidup dan segar.
Kami memulai makan siang dengan rasa ingin tahu yang besar. Ah, benar saja, tunjangnya juara! Potongannya besar-besar, empuk dan rasanya gurih membuat kita ingin melahap semuanya tanpa sisa. Ada dua macam sambal yang disediakan untuk menemani lauk-pauk: sambal merah dan sambal hijau.
Sambal merahnya berwarna merah merona sedangkan sambal hijaunya yang setengah mentah berwarna hijau segar. Sambel hijau ini cocok sekali menemani gulai tunjang yang kenyal. Rupanya ada rahasia dibalik kesegaran duo sambal ini: dimasak dengan campuran susu. Pemiliknya, Aprizal asal Sumatra Barat, peduli terhadap kesehatan konsumennya.
Oleh karena itu, selain menggunakan cabai yang bagus ia mencampurkan susu ke dalam sambal untuk menetralisir racun yang ada dalam cabai. Susu juga membuat sambal hijau tetap tampil hijau segar, tidak kuning dan tidak menjadi hitam. Cabai banyak mengandung vitamin C yang dibutuhkan oleh tubuh manusia tetapi ia juga mengandung racun yang berbahaya bagi lambung. Susu rupanya menjadi penetralisir.
Favorit yang lain tentu saja rendang. Rendang berwarna kehitaman ini juga luar biasa, empuk, bumbunya betul-betul meresap sampai ke serat-serat daging dan dedaknya juga terasa enak sekali, gurih alami dan tidak pedas. Entah mengapa, ada sensasi yang berbeda saat menyantapnya, dibandingkan dengan rendang-rendang di rumah makan lain.
Mungkin karena pilihan dagingnya yang bagus, dan bahan-bahan lain yang berkualitas seperti diucapkan oleh Chef Haryo, mungkin dari cara memasaknya yang spesial. Jelas sekali bahwa mereka memakai banyak santan untuk rendangnya dan rasa pedas rendang sama sekali tidak menyengat.
Saya perhatikan, gulai otaknya juga berpotongan lebih besar dibandingkan yang saya makan di berbagai restoran lain. Kuahnya beraroma sedap dan ada irisan daun mangkokan di dalamnya. Ah, sudah lama sekali saya tidak makan gulai dengan daun mangkokan. Kadai Mak Ciak menanam sendiri daun mangkokan dan daun ruku-ruku karena sudah susah mendapatkannya di Jakarta.
Teman saya memesan kepala ikan kakap ukuran L. Ternyata ukurannya jumbo dan…harganya hanya 70 ribu rupiah! Kami serbu bertiga, sama sekali tidak mengecewakan, tidak amis dan kuah kuningnyanya terasa gurih segar karena ada rasa asamnya. Samar-samar tercium wangi pandan yang tampaknya dipakai di hampir semua lauk, yang berkhasiat membuat lauk terasa “pulen.”
Ada yang tidak biasa disini, selain daun singkong dan gulai nangka, kedai ini juga menyediakan tumis toge. Teman bergumam, mengekspresikan keheranan karena baru kali ini bertemu tumis toge di restoran Padang.
“Memang kami sajikan bergantian: dengan sayur kacang panjang atau sayur kol. Di kedai kami yang lain yang buka 24 jam kami memasak sayuran baru di sore hari seperti labu siam, gulai terong, gulai cuciwis atau tumis sawi,” papar pemilik jaringan Kadai Mak Ciak, Aprizal di lain kesempatan.
Melihat saya keheranan, dia menyambung, “Coba pergi ke Padang, apa disana restoran-restoran menyediakan lalap daun singkong dan gulai nangka? Tidak. Yang mereka sediakan ya seperti yang saya sediakan disini, tumis toge, sayur kacang, sayur kol dan semacamnya.”
Menarik nih, konon, dahulu kala saat daun singkong dan nangka tidak ada harganya karena kurang diminati orang, restoran-restoran Padang memanfaatkannya untuk lauk gratis. Lama-kelamaan ini seperti menjadi kekhasan restoran Padang. Di Kadai Mak Ciak ini saya tidak keberatan sama sekali diberikan gulai nangka yang banyak, karena rasanya juga enak!.
Kadai hanya memakai nangka yang masih alami dan tidak pernah memilih nangka yang putih dan rapi. Di pasaran, nangka-nangka yang putih bersih itu rupanya sudah diberi pemutih, berarti sudah mengalami penggunaan kimia, yang sebisa mungkin dihindari oleh Kadai Mak Ciak.
Selain ayam goreng rempah, ayam panggang, ayam pop, ayam gulai ada juga ayam singgang dan ayam rendang. Dari barisan ikan tampak gurame bakar, bawal bakar, tongkol asam padeh dan nila goreng cabe merah. Tampak jelas cabai-cabai segar melumuri ikan, terong dan ayam.
Ternyata mereka memang hanya pakai cabe dan rempah-rempah yang serba segar. Tak peduli harus berbelanja setiap hari, tak peduli harga cabai sedang melambung, Kadai konsisten memakai bumbu-bumbu segar demi menjaga kualitas. “Cabe dan lengkuas yang telah bermalam, beda rasanya. Apalagi daun-daun, jika sudah bermalam akan berbeda warnanya,” jelas pemilik restoran.
Minyak bekas tidak boleh dipakai lagi. Minyak bekas ayam hanya boleh untuk menggoreng cabe untuk ayam. Minyak bekas menggoreng ikan, hanya boleh dipakai untuk menumis sambal ikan tersebut. Tidak boleh dipakai untuk yang lain. Itu aturan dapur yang berada langsung di bawah pengawasan Aprizal yang masih turun ke dapur setiap hari.
Kadai Mak Ciak Kebayoran tampak ingin membuat terobosan di dunia restoran masakan Padang. Jika biasanya restoran Padang identik dengan nasi panas, ruangan yang panas, keringat mengucur dan makan siang kilat, restoran yang satu ini menyediakan tempat yang luas, bersih dan sejuk ber-AC, tamu-tamu bisa makan dengan tenang, tempat yang cocok juga untuk menjamu kerabat, menjamu rekan bisnis atau ajang untuk kumpul-kumpul keluarga dan teman.
Kejutan lain adalah: ternyata harga-harga disini lebih murah daripada harga-harga di restoran lain yang setara. Nasi ayam misalnya, Nasi cumi goreng cabe merah masing-masing Rp. 22.000/ porsi. Untuk minuman Es, Teh tarik cukup bayar Rp 10.000/ gelas dan
Teh talua: Rp. 15.000 Dan Es teh manisnya Rp. 5.000 saja. Nasi tunjang Dan nasi rendang hanya Rp. 25.000. Nah untuk Nasi gurame bakar Rp. 45.000 yang bisa dipesan lewat Gofood jugs.
Mungkin ini saatnya kita mengalihkan business meeting dan kongkow-kongkow dari cafe fancy dan restoran mahal yang bill-nya merobek kantong ke restoran Padang yang enak, nyaman dan murah ini!