ART & CULTURE

Lopis Raksasa Warnai Tradisi Syawalan

PEKALONGAN, bisniswisata.co.id: Lopis atau Lupis atau MoHam Koi merupakan makanan khas Indonesia terutama di wilayah Jawa. Dahulu bentuknya segitiga, tetapi karena sulit untuk membungkusnya, maka dibentuk bulat memanjang. Lupis dibuat dari beras ketan kemudian dibungkus dengan daun pisang yang masih mudah dan dimasak. Setelah matang, lopis diberi kelapa parut dan gula merah cair.

Di Pekalongan Jawa Tengah, lopis bukan hanya dimakan namun dipakai acara tradisi pasca Lebaran tepatnya bulan Syawal sehingga disebut Syawalan. Bentuk yang disajikan dalam tradisi itu dalam bentuk yang besar, Raksasa seberat 1.6 ton. Lupis besar sebanyak dua buah itu siap memeriahkan tradisi Syawalan di Kelurahan Krapyak Kota Pekalongan yang akan digelar pada Rabu (12/6/2019).

Koordinator Panitia Syawalan Krapyak Kidul, Muhammad Fahrudin, mengungkapkan ukuran lopis raksasa pada Syawalan tahun ini dibuat lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya. Bahan bakunya yakni beras ketan. Jika tahun sebelumnya hanya 3,7 kuintal, di tahun ini ditambah bahan bakunya menjadi 5 kuintal.

“Alhamdulillah ukurannya juga bertambah dengan tingginya dulu 180 cm, tahun ini ada peningkatan 20 cm menjadi 200 cm, diameter tetap sama 250 cm,” tutur Fahrudin, Selasa (11/6).

Dilanjutkan, pembuatan lopis raksasa di Kelurahan Krapyak Kidul ini menghabiskan waktu selama tiga hari tiga malam. Hari pertama Jumat (7/6), proses pembuatan dimulai dari penanakan beras ketan, dilanjutkan merangkai daun pisang dan bambu, kemudian menumbuk beras ketan yang setengah matang.

“Setelah itu, dimasukkan ke wadah setahap demi setahap. Proses tersebut membutuhkan waktu 10 jam. Kemudian lopis tersebut dimasukkan ke dandang raksasa dan siap direbus. Setelah direbus seharian penuh, lopis kemudian dibalik dan dimasak kembali pada Sabtu (8/6) petang. Dan kemudian diangkat pada Minggu (9/6),” papar Fahrudin seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Eka Susanti.

Pembuatan lopis raksasa ini menyerap anggaran sekitar Rp 30 juta dari bantuan Pemerintah Kota Pekalongan sebesar Rp 24 juta dan sisanya merupakan swadaya masyarakat.

“Proses memasak lopis raksasa ini yang paling sulit adalah mengontrol api agar tetap stabil. tidak boleh terlalu besar maupun terlalu kecil. Karena jika tidak seperti itu, uap air yang dihasilkan akan surut, dan proses penguapan maupun ukurannya tidak akan sesuai yang diharapkan,” imbuh Fahrudin.

Selain ada tradisi yang sudah rutin digelar tiap tahun, yakni pemotongan lopis raksasa. Ada lagi beberapa kegiatan seni dan budaya yang akan digelar.

Tradisi Syawalan ini dimulai sejak 130-an tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1855 M. Kali pertama yang mengelar hajatan Syawalan ini adalah KH. Abdullah Sirodj yang keturunan dari Kyai Bahu Rekso. Upacara pemotongan lopis ini baru dimulai sejak tahun 1956 oleh Rohmat, kepala desa daerah tersebut pada saat itu.

Lopisan berasal dari kata lopis, yaitu sejenis makanan spesifik Krapyak yang bahan bakunya terdiri dari ketan, yang memiliki daya rekat luar biasa bila sudah direbus sampai masak benar. Lopis memang mengandung suatu falsafah tentang persatuan dan kesatuan yang merupakan sila ketiga dari Pancasila kita.

Dia dibungkus dengan daun pisang muda, diikat dengan tambang dan direbus selama empat hari tiga malam, sehingga tidak mungkin lagi butir-butir ketan itu untuk bercerai berai kembali sebagaimana semula. Mengapa tidak dibungkus dengan plastik atau bahan lain yang lebih praktis, sesuai dengan kecangihan masa kini? Pohon pisang tidak mau mati sebelum berbuah dan beranak yang banyak atau dengan kata lain tak mau mati sebelum berjasa dan meninggalkan generasi penerus sebagai penyambung estafet.

Demikian mendalamnya pemikiran sesepuh kita terdahulu. Masyarakat Krapyak juga biasanya menyediakan makanan ringan dan minuman secara gratis kepada para pengunjung. Masyarakat juga biasanya menggelar kegiatan hiburan, pentas seni dan lomba-lomba serta menghias kampung untuk memeriahkan tradisi, budaya dan kearifan lokalnya. (NDY)

Endy Poerwanto