KAPUAS HULU, KalBar,bisniswisata.co.id: Langur Borneo bernama ilmiah Presbytis chrysomelas ssp. Cruciger, satwa endemis Kalimantan ini tersebar secara terbatas di Kalimantan Barat, Sabah, dan Brunei Darussalam. Populasi mereka makin terancam karena tidak diakui sebagai satwa yang patut dilindungi.
Semaian kata Aries Munandar di Peladangkata.com, menyebutkan bahwa kemunculan seekor Langur Borneo mengagetkan Yadi Purwanto, dan kawan-kawan. Primata tersebut bertengger pada pohon karet di pinggir hutan di Desa Nanga Lauk, Kecamatan Embaloh Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Setelah diamati, langur itu ternyata tidak sendirian. Ada langur lain bertengger pada beberapa pohon karet di sekitar kantor Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Lauk Bersatu tersebut. Warga setempat mengenal langur sebagai pika atau kelasi. Kedua satwa itu memang mirip karena masih satu marga. Perbedaan mencolok terdapat pada rambut di sekujur tubuh. Rambut kelasi berwarna merah terang, sedangkan langur lebih gelap dengan kombinasi hitam pada bagian lengan, punggung, dan dada.
“Habitat Langur Borneo di Desa Nanga Lauk berada di hutan rawa gambut. Sebagian besar daratannya tergenang saat air pasang,” kata Yadi, yang juga staf People Resources and Conservation Foundation (PRCF) Indonesia.
Langur hidup berkelompok, berkoloni, kerap menjelajah ke luar hutan untuk makan pucuk pohon karet di kebun warga.
“Sekarang, langur sudah tidak pernah muncul lagi di situ. Pohon karet telah ditebang pemilik lahan dan ditanami purik (kratom),” kata Yadi, saat ditemui di Pontianak, beberapa waktu lalu.
Ancaman Pelestarian
Habitat alam Langur Borneo di Nanga Lauk merupakan hutan produksi terbatas. Luasnya sekitar 2.500 hektare, berseberangan dengan area Hutan Desa Nanga Lauk, yang pengelolaannya didampingi PRCF Indonesia. Dan sungai Palin selebar 30 meter menjadi batas alamnya.
Yadi, dan kawan-kawan kerap menemukan jejak perburuan pada habitat alam langur di Nanga Lauk. Rambut-rambut halus yang diduga berasal dari langur berserakan ketika mereka melintas saat hendak merestorasi kawasan hutan produksi terbatas tersebut.
“Selain berpatroli di hutan desa, kami bersama LPHD Lauk Bersatu merestorasi kawasan di sekitarnya. Kami mesti menjaga dan melindungi hutan tersebut karena sedikit, banyak pasti memengaruhi kelestarian hutan desa,” jelasnya.
Hutan yang menjadi habitat alam bagi langur juga ditempati orang utan, enggang badak, julang emas, dan pelbagai satwa endemis Kalimantan. Sejak beberapa tahun terakhir, siklus pasang-surut air pada kawasan hutan tersebut mengalami abnormalitas. Musim air pasang tinggi yang biasa berlangsung pada akhir Juli hingga Agustus, kini bergeser ke September.
Kondisi itu memengaruhi perkembangan flora, dan perilaku fauna. Satwa harus mencari pakan hingga ke pinggir sungai bahkan kebun warga lantaran pohon yang menjadi sumber makanan belum berbuah atau mengeluarkan pucuk.
Populasi langur di Desa Nanga Lauk bakal makin terancam sehubungan rencana PT Annisa Surya Kencana menjadikan kawasan tersebut sebagai area konsesi. Mereka telah mengantongi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA) seluas 34.120 hektare dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK).
Berdasarkan surat persetujuan yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor S./361/PHPL.0/2019, area konsesi tersebut meliputi wilayah Kecamatan Putussibau Utara, Bika, dan Embaloh Hilir di Kabupaten Kapuas Hulu. Pembahasan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) digelar pada 15 Juni 2020 di Pontianak.
“Area konsesi itu termasuk hutan produksi terbatas di Desa Nanga Lauk (sekitar 1.600 hektare). Kami merekomendasikan hutan tersebut tidak masuk dalam area penebangan, tetapi menjadi kawasan konservasi karena memiliki keanekaragaman hayati tinggi,” kata Direktur Eksekutif PRCF Indonesia Imanul Huda pada kesempatan terpisah.
Rekomendasi itu disampaikan Imanul kepada Forum Amdal, dan di berbagai kesempatan. Para pemangku kepentingan berjanji mempertimbangkan rekomendasi PRCF Indonesia.
Belum Dilindungi
Organisasi Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) memasukan Langur Borneo pada daftar merah atau satwa sangat terancam punah. Namun, Pemerintah Indonesia belum menggolongkan primata tersebut sebagai satwa yang dilindungi. Pada Peraturan Menteri LHK Nomor P.106/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri LHK Nomor P. 20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018, tidak tercantum nama Langur Borneo.
Ibnu Maryanto, peneliti pada Pusat Penelitian Biologi memperkirakan populasi Langgur Borneo tidak lebih dari 500 ekor di seluruh dunia. Populasi itu tergerus hingga 80% dalam 30 tahun terakhir.
“Di Indonesia, kriteria satwa langka dan rawan punah belum didasarkan kepada pelestarian fungsi jenis terhadap ekosistem. Apakah Presbytis chrysomelas (Langur Borneo) memenuhi kriteria satwa dilindungi? Perlu kajian lebih lanjut dan dituangkan dalam publikasi ilmiah,” kata kata Profesor Ibnu dalam seminar daring mengenai Langur Borneo, seperti dipublikasikan laman resmi Pusat Penelitian Biologi, 11 Agustus 2020.
Di Kalimantan Barat, Langur Borneo selama ini diketahui hanya berhabitat di kawasan Taman Nasional Danau Sentarum, Kabupaten Kapuas Hulu. Serangkaian survei serta penelitian sejak 2012 menjumpai setidaknya 106 Langur Borneo di sekitar dan dalam kawasan tersebut.
“Langur Borneo cuma ada di (hutan sekitar) Danau Sentarum. Hutan di Desa Nanga Lauk itu masih satu hamparan dengan kawasan Taman Nasional Danau Sentarum,” kata Kepala Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (TNBKDS) Arief Mahmud saat dihubungi melalui telepon.
Langur di hutan Danau Sentarum, menurutnya berbeda dengan langur di Malaysia, dan Brunei Darussalam. Kepastian tersebut telah dikonfirmasi oleh ahli genetika dari Serawak, Malaysia.
“Langur di sini lebih tepat disebut Lutung Sentarum karena kemungkinan berbeda subspesiesnya dengan di Malaysia. Warnanya lebih gelap. Ahli dari Malaysia sedang meneliti genetika langur mereka,” jelas Arief.
Balai Besar TNBKDS terus memperjuangkan supaya Lutung Sentarum menjadi nama resmi untuk jenis langur endemik Danau Sentarum. Mereka juga bakal meneliti secara mendalam pengidentifikasiannya supaya Lutung Sentarum diakui sebagai satwa dilindungi. Pengakuan atau status resmi itu penting untuk menjaga dan melindungi fauna Indonesia dari kepunahan.
“Populasi Lutung Sentarum di TNBKDS dipastikan aman karena merupakan kawasan konservasi. Namun, keberadaan mereka di luar kawasan (TNBKDS) bisa jadi terancam karena dianggap bukan satwa yang dilindungi,” kata Arief.
Atau menunggu diklaim negara tetangga? *