NASIONAL

Meriah, Puncak Festival Bakar Tongkang

BAGANSIAPIAPI, bisniswisata.co.id: Suasana Kota Bagansiapiapi, Ibukota Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) Riau berbeda dibanding hari-hari biasa. Sejak pagi hari, Rabu (19/06/2019), satu persatu bahkan berberapa sekeluarga warga keturunan Tionghoa silih berganti mendatangi Ing Hok Kiong, kelenteng tertua yang berada di jantung kota Bagansiapiapi.

Dengan khusuk, khidmat warga Tionghoa melaksanakan ritual sembahyang. Sejumlah peralatan ibadah, seperti Xiang atau Hio berbagai jenis mulai Hio bergagang merah Digunakan untuk bersembahyang pada umumnya. Hio tidak bergagang, bentuk piramida, bubuk Untuk menentramkan pikiran, meditasi, mengusir hawa jahat. Hio berbentuk spiral seperti obat nyamuk Hanya untuk wewangian dan Hio besar gagang panjang untuk upacara sembahyang besar diambil warga sesuai dengan keperluannya.

Setelah dibakar, aroma hio sangat terasa apalagi asap putih mengepul ke udara bahkan menutup sekitar kelenteng. Memang bagi yang tak biasa dengan asap hio akan terasa sesak, batuk bahkan mata terasa perih. Namun warga maupun wisatawan menyadari kondisi itu. Malah mereka larut dengan mengabadikan melalui handphonenya, juga dipakai selfie untuk dimasukkan media sosial.

Upacara ritual sembayangan ini dilakukan menjelang festival bakar tongkang yang dilaksanakan ditepi pantai timur Sumatera. Bakar tongkang baru dimulai pukul 14.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Dari kelenteng Ing Hok Kiong, peserta Ritual Bakar Tongkang bergotong royong mengeluarkan replika tongkang yang berada di dalam kelenteng setelah disembanyangi terlebih dulu.

Replika Tongkang itu digotong secara bergantian, melintasi jalan yang menjadi rute arak-arakan. Dimulai Jalan Kelenteng melewati Jalan Perniagaan hingga sampai di lokasi Ritual Bakar Tongkang dilaksanakan. Tradisi ritual Bakar Tongkang ini merupakan tradisi turun-temurun bagi warga Tionghoa Bagansiapiapi untuk menghormati nenek moyang.

“Ritual setiap tahun ini diikuti puluhan ribu perantau yang kini tinggal di berbagai kota di dalam dan luar negeri. Jadi seperti pulang kampung, atau bagi umat Islam mudik Lebaran. Mereka ada yang tinggal di Singapura, Australia, Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan dan Pekanbaru,”papar Panitia Pelaksana Bakar Tongkang, Randy Gunawan kepada wartawan di Bagansiapiapi, Rabu (19/6/2019).

Para perantau maupun wisatawan yang datang, menginap di hotel Bagansiapiapi yang jumlahnya ada 15 hotel, wisma, klenteng dan mess yayasan. Bila ada tamu yang datang, tapi tak ke bagian hotel atau tak ada rumah keluarga, panitia telah menyiapkan penginapan di mess klenteng, kata Randy yang juga Ketua Yayasan Budi Marga.

Ditanya soal Biaya Ritual Bakar Tongkang, Randy menjelaskan tahun ini mencapai Rp 600 juta. Jumlah sebesar itu, hanya untuk pembiayaan ritual saja, seperti membeli peralatan replika tongkang, peralatan sembahyang, dan lain sebagainya. “Untuk pelaksanaan ritual tidak ada bantuan sama sekali dari pemerintah daerah. Pemerintah hanya membantu pada kegiatan festival dan beberapa bantuan fasilitas lainnya,” lontarnya.

Intinya, lanjut dia, panitia tetap berkoordinasi dengan Gubernur Riau dan Bupati Rokan Hilir, agar kegiatan ini berjalan sukses dan mengajak warga Tionghoa Bagansiapiapi yang di perantauan untuk membangun Kabupaten Rokan Hilir.

Sementara Ketua Pelaksana Top 100 Calender of Event (CoE) Wonderful Indonesia Kementerian Pariwisata Esthy Reko Astuty juga sangat antusias menyambut prosesi Bakar Tongkang. Apalagi Bakar Tongkang telah terbukti menjadi salah satu atraksi utama pariwisata Indonesia.

“Semangat saya selalu berlipat jika berbicara mengenai Bakar Tongkang. Sebagai salah satu atraksi pariwisata, event ini selalu sukses dalam setiap penyelenggaraannya. Selalu sukses menyedot wisatawan datang. Makanya saya setiap tahun selalu hadir disana, sangat luar biasa,” ujar Esty.

Sebagai sebuah atraksi wisata, lanjut dia, perhelatan Bakar Tongkang kian hari kian luar biasa. Konsep pendukungnya selalu diperbaharui dengan penambahan-penambahan atraksi yang menarik. Nama besar Festival Bakar Tongkang harus menjadi pemicu pengembangan pariwisata Rokan Hilir.

“Pengembangan pariwisata daerah membutuhkan 3A (atraksi, amenitas, akses) untuk dapat mengoptimalkan semua. Terdapat beberapa hal yang mampu dijadikan potensi untuk ditingkatkan dari sektor pariwisata Rokan Hilir, yaitu bidang budaya, kuliner dan juga daya tarik alam. Trigger-nya sudah ada tinggal terus dikembangkan,” ungkapnya.

Wisata Religi

Sebelumnya Gubernur Riau H Drs Syamsuar, meresmikan sekaligus melakukan Pemancangan Tiang Pertama Pembangunan Masjid Laksamana Muhammad Cheng ho di halaman Pujasera Kelurahan Bagan Barat, Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Riau, Rabu (19/6) yang dihadiri
Staf Ahli Menteri Pariwisata juga Ketua Pelaksana Top 100 Calender of Event (CoE) Wonderful Indonesia Kementerian Pariwisata Esthy Reko Astuty, Bupati Rokan Hilir H Suyatno AMp, dan para Muspida Kabupaten Rokan Hilir.

“Pembangunan masjid ini akan memberi manfaat dan anugrah yang besar khususnya bagi seluruh masyarakat Rohil dan Riau. Pembangunan Masjid bernuansa wisata religi ini sesuai komitmen bersama akan menjadikan cahaya islam di Kabupaten Rokan hilir yang akan memberi rahmat bagi sekalian alam dan ini harus wujudkan sebagai anugrah untuk kerukunan umat beragama,” kata Gubernur Riau dalam sambutannya

Pembangunan Masjid ini, lanjut dia, demi kemajuan Rohil serta kesejahteraan masyarakat. Masjid Laksamana Cheng ho yang dibangun salah satu warga mualaf bernama Abian, yang merupakan pertama kali sebagai tempat wisata religi yang harus dikemas secara baik untuk kemajuan umat islam dan meningkatkan kesejahteraan serta perekonomian masyarakat.

“Masjid ini akan dijadikan tempat wisata religi serta sebagai tempat ekonomi kreatif kerajinan masyarakat serta masakan kuliner. Kemudian sebagai pusat kajian al-quran kalau bisa disini bisa mendidik qori qoiqah serta Hafis alquran, apalagi saat ini banyak sekali anak riau sebagai penghafal alquran yang mendunia,” lontarnya.

Dicontohkan seperti qoriah Humairoh di Bengkalis yang dididik orang tuanya menjadi penghapal alkuran. Apalagi Riau punya potensi, termasuk kota Bagansiapiapi ini. “Untuk itu kita harus mempersiapkan diri,kita berharap akan lahir anak yang hebat di sini seperti humairoh yang bisa berprestasi sampai kemanca negara,” pungkasnya.

Bupati Rohil Suyatno menambahkan pembangunan Masjid Laksamana Cheng Ho ini terwujud atas kepedulian para perantau yang peduli akan kampung halamannya bernama Abian. Masjid ini dibangun sangat menawan sekali dengan perpaduan arsitektur bernuansa Cina dan Melayu yang sangat menarik dengan ornamen terbaru dan akan menjadi ikon baru bagi Negeri Seribu Kubah ini. Pembangunannya ditargetkan selesai dalam tempo selama 9 bulan.

Pembangunan masjid seluas 2 hektar ini ditempatkan di kota Bagansiapiapi, dengan pertimbangan keberadaan Pujasera yang ada lebih di optimalkan, sehingga keberadaan masjid ini masyarakat bisa hidup dengan berjualan. “Nanti kita buat program bagaimana masjid ini mengangkat perekonomian masyarakat,” sambungnya.

Hikayat Bakar Tongkang

Bermula ada 3 kapal tongkang dalam ekspedisi. Namun, hanya satu kapal mencapai pantai Sumatera. Dipimpin Ang Mie Kui, kapal berhasil tiba di pantai Riau karena mengikuti kunang-kunang – warga lokal dikenal sebagai siapi-api. Mereka lantas memutuskan untuk menetap di sini dan bersumpah tidak akan kembali ke tanah air mereka.

Keputusan bersejarah para migran ini, ditandai membakar Kapal tongkangnya, yang kini setiap tahun dirayakan dengan membakar replika kapal tradisional Tiongkok di puncak festival. Selama festival, dengan berbagai ritual serta doa oleh peserta di pura utama, biasanya diawali prosesi budaya, berbagai atraksi oriental seperti Barongsai juga panggung hiburan dari

Puncaknya pembakaran replika kapal besar, kerumunan dengan cemas mengantisipasi di mana tiang utama akan jatuh. Warga setempat percaya arah dimana tiang utama jatuh akan menentukan nasib mereka di tahun mendatang. Artinya, Jika tiang laut jatuh ke laut, dipercaya keberuntungan datang dari laut. Sebaliknya jatuh ke darat, keberuntungan dari daratan.

Replika kapal biasanya berukuran sampai 8,5 meter, lebarnya 1,7 meter dan beratnya mencapai 400Kg. Kapal itu akan disimpan untuk satu malam di Klenteng Hok Hok Eng. Kemudian diberkati lantas dibawa dalam sebuah prosesi ke tempat di mana kapal ini akan dibakar.

Prosesi tongkang juga melibatkan atraksi Tan Ki, dimana sejumlah orang menunjukkan kemampuan fisiknya yang luar biasa dengan menusuk diri dengan pisau tajam atau tombak namun tetap tidak terluka, agak mirip dengan tradisi Tatung di Singkawang di Kalimantan Barat.

Sesampainya di situs tersebut, ribuan potongan kertas permohonan berwarna kuning akan dilekatkan pada kapal yang membawa doa dari orang-orang untuk nenek moyang mereka, sebelum kapal tersebut akhirnya dibakar.

Ritual ini juga merupakan manifestasi ucapan terima kasih oleh rakyat kepada para dewa Ki Ong Ya dan Tai Su Ong yang membawa nenek moyang mereka dengan selamat hingga sampai ke Bagansiapi-api. Para dewa Ki Ong Yan dan Tai Su Ong mewakili keseimbangan antara kebaikan dan kejahatan, kebahagiaan dan kesedihan, serta keberuntungan dan bencana. (MDY)

Endy Poerwanto