ENTREPRENEUR NASIONAL

Kerajinan Panel Bambu Kadisono Tembus Pasar Rusia dan Australia

SLEMAN, Yogyakarta, bisniswisata.co.id: Zarra tak segan-segan nyemplung ( masuk) ke dalam selokan dengan aliran air berwarna bening semata kaki. Di sekitarnya berjejer potongan bambu wulung berwarna hitam. Tangannya dengan cekatan menyikat bambu itu dengan sabut kelapa hingga bersih.

Bambu merupakan tanaman khas yang masih banyak dijumpai diberbagai pelosok daerah di Indonesia. Salah satunya di Sleman Yogyakarta yang dimanfaatkan menjadi kerajinan unik dan cantik.

Warga Desa Kadisono, Sleman, Yogyakarta ini memanfaatkan bambu yang dikalangan masyarakat perdesaan sangat dibutuhkan untuk keperluan membuat pagar pekarangan menjadi produk ekspor berupa panel bambu.

Warga desa memang banyak yang menanam bambu dipekarangan belakang mereka. Ada beberapa jenis tanaman bambu, yakni bambu apus berwarna hijau, bambu wulung berwarna hitam, bambu ori, bambu buluh dan lain sebagainya.

Wanita yang nama aslinya Sari Setyawati ini memilih bambu wulung berwarna kehitaman menjadi panel bambu dengan branding Sono Deling dan banyak dipesan pengusaha asal negeri Beruang Merah Rusia dan negeri Kanguru, Australia.

“Sono Deling maksudnya bilah bambu cantik dari desa Kadisono, lihatlah dari bentuknya saja sudah terlihat kuat, kokoh ” kata Zarra.

Di tangan dingin pengrajinnya, bilah-bilah bambu ternyata bisa disulap menjadi produk kreatif panel bambu yang unik, cantik sekaligus kuat dan punya nilai tambah yang besar.

Zarra memang tidak sendiri, usaha panel bambu ini  merupakan karya bersama perajin lainnya  yakni Sumitro Hadi Joko Sautra, yang akrab disapa Gatot. Keduanya pun lalu berbagi tugas, siapa melakukan apa.

Untuk bagian produksi dipegang oleh Gatot, sementara untuk pemasaran dan manajemen diurus Zarra. Hasilnya pun diluar dugaan, pasalnya karya warga Kadisono, Tegalrejo RT 05 RW 13 Berbah Sleman Yogyakarta ini selain Russia dsn Australian juga dilirik pangsa pasar lainnya di luar negeri.

Zarra, perajin bambu yang diekspor ke Rusia dan Austalia.

“Kita berayukur, di tengah pandemi produk kita masih bisa bertahan, sehingga kita tetap bangkit memberi karya terbaik kita produk panel Bambu. Harapannya bisa menjadi inspirasi, bagi siapapun yang ingin maju dan meningkatkan kesejahteraan keluarga,” ungkap Zarra.

Bahan baku yang melimpah di daerah Sleman dianggap bisa membantu kedua pengrajin ini memproduksi panel bambu. Sementara alat dan bahan-bahan lainnya, sebagian didatangkan dengan cara online diantaranya ijuk, yang dipesan dari petani ijuk di Boyolali Jawa Tengah.

Proses pembuatan panel bambu ink cukup sederhana, namun membutuhkan keuletan dan ketekunan. Proses kreatif memadukan skill dan seni ini membuat produk panel kayu tampil berkelas. Untuk mempercantik tampilan, sekaligus nguri nguri budaya Jawa, pada bagian pengikat bambu menggunakan tali ijuk.

Selain itu, seluruh proses pembuatan dilakukan secara handmade, mulai proses konsep menggandeng desainer yang mendesain sekaligus menterjemahkan kemauan pemesan luar negeri. 

Tak hanya itu, pada proses finishing, yakni pengemasan produk menjadi paling mendasar agar saat tiba ditangan pemesan dan produk panel bambu tetap aman dan kondisi tak berubah sesuai pesanan.

“Kita menggunakan ijuk, karena jaman dulu orang Jawa itu memanfaatkan pengikat ijuk, justru ini menambah nilai seni bagi produk, tapi tetap menjaga kualitas, karena tali ijuk dengan sendirinya bisa memperkuat panel bambu itu sendiri,” terang Gatot

Hingga kini, panel bambu Sono Deling bisa bertahan meski di tengah pandemi COVID-19, bahkan kini makin diminati. Selain pasar manca negara, panel bambu juga dipesan di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, terutama untuk mendesain kafe restoran, hotel , homestay maupun perkantoran. Bahkan pemesan juga datang perorangan untuk rumah maupun penghias ruangan.

Untuk panel bambu Sono Deling memasang harga untuk pasar lokal sebesar Rp 70 ribu per meternya, sedangkan untuk pasar luar negeri diharga  Rp100 ribu  per meter..

Para pengrajin ini  berharap meski diterpa pandemi COVID-19 usaha mereka masih bisa bertahan bahkan mampu berbicara banyak di level internasional.

“Kerja keras dan proses kreatif membutuhkan inovasi maupun modifikasi, kita selalu terbuka untuk beradaptasi di tengah Pandemi, salah satunya dengan memanfaatkan teknologi pemasaran berbasis online hingga media sosial,” jelas Zarra.

Satrio Purnomo