NEWS TRANSPORTASI

IATA Serukan Penghapusan Kebijakan “Use-it-or-lose-it”

Kebijakan ‘use-it-or-lose-it’ (pakai atau hapus) beratkan maskapai penerbangan (foto: Asian Aviation)

JENEWA, bisniswisata.co.id: Asosiasi Transportasi Udara Internasional ( IATA) mendesak Uni Eropa untuk membatalkan kebijakan ‘use-it-or-lose-it’ (pakai atau hapus) karena dianggap memberatkan maskapai penerbangan.

Sejak kebijakan ini diberlakukan, banyak maskapai terpaksa terbang dengan minim penumpang demi mempertahankan rute. Karena menurut aturan jika rute penerbangan ke tujuan Eropa tak diterbangi, maka maskapai pemilik rute bisa kehilangan izinnya.

Di bawah aturan Uni Eropa itu, maskapai penerbangan yang beroperasi dari luar Eropa harus terus menjalankan 80 persen dari slot yang dialokasikan. Atau berisiko kehilangan rute tersebut, dan dilalihkan kepada para pesaing.

Masalahnya banyak maskapai tak sanggup menerbangkan pesawat dalam keadaan kosong. Apalagi permintaan pasar saat ini tengah menurun. Kebijakan ini telah menyebabkan beberapa operator menerbangkan pesawat kosong menuju dan dari negara-negara Eropa dengan biaya besar.

 “Dalam situasi seperti saat ini dimana ketidakpastian sangat tinggi, maskapai penerbangan memerlukan aturan yang fleksibel. Sebaiknya sanksi tidak diberlakukan hanya karena tidak mampu memanfaatkan slot yang telah dialokasikan,” demikian seperti ditulis dalam rilis yang diterima bisniswisata.co.id, Rabu (2/09/2020).

Seruan ini merupakan satu dari dua permintaan IATA kepada pemerintah terkait langkah pemulihan industri penerbangan. Organisasi yang berbasis di Jenewa, Swiss ini juga mendesak negara-negara untuk fokus pada pemberian bantuan keuangan.

Banyak maskapai saat ini menghadapi kesulitan finansial. Industri ini  merugi hingga 84,3 miliar dollar AS; pendapatan terpangkas 50% sementara biaya untuk pesawat dan tenaga kerja tetap tinggi. 

Bantuan keuangan dari pemerintah menjadi sangat berarti. Tetapi masalahnya, itu pun akan segera habis. Tambahan bantuan diperlukan untuk menyangga keadaan kritis dan seharusnya itu tidak menjadi beban hutang baru yang sudah membengkak. 

Konektivitas Global

IATA juga menyerukan perlunya kerja sama internasional untuk membangun konektivitas global lewat  dibukanya kembali perbatasan.

Seruan ini merupakan cermin rasa frustrasi industri penerbangan terhadap hilangnya permintaan yang antara lain disebabkan karena sejumlah kebijakan, termasuk: penutupan perbatasan, pembatasan perjalanan, dan pemberlakukan aturan karantina.

 Terbukti selama puncak musim panas permintaan perjalanan hanya naik sedikit dibandingkan dengan periode Mei-Juni. Data menunjukkan empat dari lima pelancong memilih untuk tinggal di rumah. Angka yang mengecewakan.

“Melindungi warga negara harus menjadi prioritas utama setiap pemerintah. Tetapi banyak negara menganggap bahwa satu-satunya jalan keluar untuk memerangi pandemi global adalah dengan menutup perbatasan. 

Sudah tiba saatnya bagi pemerintah untuk bekerjasama menerapkan langkah-langkah yang memungkinkan ekonomi dan kehidupan sosial dimulai sambil terus mengendalikan penyebaran virus,” kata Alexandre de Juniac, Direktur Jenderal dan CEO IATA dalam rilis.

IATA secara khusus meminta perhatian pemerintah di seluruh dunia untuk memahami dampak serius yang dihadapi industri penerbangan serta konsekuensi bagi warga negaranya. 

Untuk itu IATA mendesak pemerintah untuk fokus memberi perhatian pada masalah-masalah utama, termasuk pembukaan kembali perbatasan, melanjutkan program bantuan, dan mengupayakan kepemimpinan global.  

Membuka Kembali Perbatasan

Sebagian besar dunia masih menutup diri. Sebenarnya sudah ada protokol global terkait kesehatan yang disusun pemerintah bersama-sama dengan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) dan didukung Badan Kesehatan Dunia (WHO).

 Itu seharusnya cukup menjadi panduan untuk dimulainya kembali perjalanan global, karena sudah mencakup semua aspek kesehatan dan langkah-langkah sanitasi untuk menjamin keselamatan pelancong dan mengurangi risiko infeksi.

 “Sebagian besar maskapai penerbangan telah dilarang terbang selama setengah tahun. Sementara hingga kini, situasi belum juga membaik. Bahkan di sejumlah kasus, keadaan bergerak ke arah yang salah,” kata de Juniac.

Dia melanjutkan, IATA melihat ada beberapa negara sudah tak lagi menutup perbatasan tapi kemudian menerapkan kebijakan karantina bagi penumpang pesawat udara. 

Langkah ini terbukti bukan hanya gagal memulihkan perjalanan tapi juga gagal menciptakan pekerjaan. Lebih parah lagi, ada negara yang mengeluarkan aturan permit baru tapi minim pemberitahuan kepada wisatawan atau setidaknya berkoordinasi dengan mitra dagang mereka. Ketidakpastian inilah yang telah menghancurkan permintaan.

“ Sepuluh persen ekonomi global ditopang oleh industri perjalanan dan pariwisata; pemerintah perlu berbuat lebih baik untuk memulainya kembali,” kata de Juniac.

Kebijakan travel bubble

Selain itu, IATA juga mengusulkan agar negara-negara menerapkan kebijakan travel bubble atau sering disebut travel bridge di wilayahnya. 

 Dalam travel bubble, negara-negara sepakat untuk membuka perbatasan mereka satu sama lain, tetapi menutup semua perbatasan untuk negara lain. Jadi, orang yang ada dalam travel bubble itu dapat bergerak bebas, tetapi di luar (bubble) tidak bisa masuk.

IATA beranggapan travel bubble dapat mengurangi risiko dan dapat memprediksi seberapa luas pengujian COVID-19 dilaksanakan. 

“Tidak ada pemerintah yang ingin mengimpor COVID-19. Demikian pula, tidak ada pemerintah yang ingin menyaksikan kesulitan ekonomi terus berlangsung serta pengangguran massal terjadi,”ujar de Juniac.

Untuk berhasil melewati krisis ini, dibutuhkan manajemen risiko yang cermat serta langkah-langkah yang efektif. Jika pemerintah fokus pada upaya pemulihan kembali dengan aman, maka industri penerbangan siap mengikuti. 

Manajemen risiko adalah disiplin yang telah dikembangan dengan baik yang diandalkan maskapai penerbangan agar dapat menjami perjalanan yang aman dan terjamin, tambahnya.

 

Rin Hindryati