JAKARTA, bisniswisata.co.id: Indonesia kaya event atraksi wisata, gelaran musik, berbagai festival hingga sport tourism. Tercatat ada 100 calender of event unggulan disetiap daerah. Jumlah ini belum termasuk yang tidak diunggulkan, jumlahnya bisa ratusan. Sayangnya event yang sudah menelan anggaran tidak sedikit, kerapkali amburadul. Penonton pun kecewa.
“Memang setiap acara yang saya lihat di daerah, kondisinya masih parah. Banyak yang harus dibenahi. Problemnya adalah, kita selalu lemah di eksekusi teknis. Untuk konten, kita sudah bagus. Senimannya oke-oke banget. Minat masyarakat dan penampil bagus sekali. Tapi saat manggung, soundnya tidak memadai,” lontar koreografer, Denny Malik saat paparan acara Coaching Clinic Calender of Event (CoE) di Jakarta, belum lama ini.
Koreografer acara pembukaan Asian Games 2018 ini merasa kasihan dengan kondisi di daerah. “Sudah latihan berbulan-bulan, tapi pas pentas soundnya mati. Ditambah lagi kondisi panggung tidak layak, mulai ukuran panggung bahkan dibuat seadaanya, asala ada panggung. Ini kan nggak boleh. Kondisi ini terjadi berulang-ulang. Tanpa ada perubahan,” papar pelantun lagu Jalan Jalan Sore.
Di balik kekurangan teknis itu, sambung dia, selalu beralasan klasik yakni masalah biaya. Padahal agar bisa menciptakan event berstandar Nasional apalagi Global, memang dibutuhkan dana yang tidak sedikit, tapi output yang dihasilkan akan sesuai. Jadi soal mahal dan murah itu sangat relatif.
“Setiap saya ke daerah, mereka selalu bilang pakai event organizer (EO) atau vendor-vendor paling murah. Kenapa selalu begitu. Bagi saya, mahal-murah itu relatif. Kalau tidak sanggup, jangan buat event. Analoginya, kalau nggak punya uang, jangan bikin pesta. Kita undang orang, kalau acaranya nggak bagus, makanannya nggak enak, mending nggak usah,” tegas peraih penghargaan: AMI Award untuk Artis Solo Pria Dangdut Kontemporer Terbaik.
Dengan pengalaman selama lebih dari 30 tahun di dunia pangung, Denny tidak mentolerir jika alasan kekurangan teknis ini adalah soal dana. Bagi Denny, semuanya bisa diusahakan. Jika memang berkomitmen, para pemangku kebijakan di daerah pasti akan mengusahakan dan mencarikan solusi terkait masalah tersebut.
“Jangan dihemat-hemat lah. Bikin event, tapi genset cuma 1, panggungnya umpek-umpekan, spek alat tidak menunjang, terkesan seadanya. Asal ada event, ini tidak benar. Dan, biasanya kalau yang banting harga itu kualitasnya tidak bisa dipegang. Padahal untuk acara skala besar selisih Rp50-100 juta itu, tidak seberapa jika dibandingkan kepuasan semua orang. Juga kesuksesan yang diraih. Dan pasti dikunjungi lagi,” ungkap bapak satu anak Rayhan Khan Malik.
Solusi agar event daerah bisa sukses, meriah dan diacungi jempol oleh penonton, mencoca diusahakan dulu mencari sponsor, baik sponsor skala besar maupun kecil asal menghasilkan sekaligus mengurangi beban biaya acara. “Tolong jangan tolak sponsor yang diangap mengeluarkan anggarannya sedikit. Itu rejeki jangan ditolak,” lontar Denny yang juga dikenal sebagai music arrangement.
Selain masalah urusan teknis, Denny juga menyoroti penempatan fotografer selama sebuah event berlangsung. Terkadang para media atau fotografer, justru diberi tempat yang tidak strategis, posisinya di belakang. Padahal pihak penyelenggara membutuhkan mereka untuk publikasi agar event mereka bisa diketahui khalayak, apalagi sekarang sudah zaman serba digital.
“Panggung VIP nggak perlu lah. Justru harusnya itu untuk panggung media. Panggung buat media kadang nggak memadai. Harusnya mereka yang VIP, kita kasih privilege. Kita yang butuh mereka. Apalagi sekarang sudah zaman digital, foto harus yang bagus, promosi yang bagus. Jangan mimpi jadi event internasional, kalau secara teknis kita tidak menguasai,” tandas Kurator Bidang Festival dalam TIM CoE,
Problem lain yang selalu menyelimuti event di daerah, tambah Denny, penyelenggaraan acara kurang koordinasi. Baginya koordinasi adalah hal yang tidak boleh dikesampingkan. “Karena itu adalah kunci kesuksesan sebuah acara,” saran keturunan Raja Inderapura yang ke-37. (END)