Sepur Kluthuk Jaladara menyusuri pinggiran rel jalan Slamet Riyadi, Solo, Jateng. ( foto- foto: forwarpar).
Forum Wartawan Pariwisata (forwarpar) Kemenparekraf menyelenggarakan famtrip dari 18- 21 November 2019. Selama kegiatan berlangsung para awak media di ajak mengunjungi sejumlah destinasi andalan Jawa Tengah di Solo, Boyolali dan Klaten. Berikut laporan perjalanannya
SOLO, Jateng, bisniswisata.co.id: Pagi hari buka handphone, Ekasanti sudah mengingatkan acara hari ke dua di kota Surakarta atau Solo dari jam makan pagi yang hanya satu jam mulai jam 6.00-7.00 WIB dan acara city tour sampai jam 21.00 malam nanti.
” Jangan lupa pakai kaos merah ya mbak,” sapanya. Bos media online Tag Pariwisata.com ini menjadi pengurus Forwarpar sehingga pagi-pagi sudah mengingatkan peserta famtrip agar kompak dengan Outfit of The Day ( OOTD), sebagai panduan pakaian apa yang harus kami pakai di hari kedua perjalanan ini.
Meski malas bangun karena acara diskusi serius tapi santai bersama Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo semalam berakhir hingga jelang tengah malam, akhirnya semua peserta bisa tepat waktu berada di dalam bis.
Sesuai jadwal, bis pariwisata yang kami tumpangi keluar dari halaman hotel Novotel, Solo langsung menuju stasiun Purwosari, melewati jalan Slamet Riyadi. Jalan utama di pusat kota Solo yang banyak dilewati kendaraan roda dua maupun roda empat ini di sisi kiri jalan beraspal uniknya ada rel keretanya.
Tak sampai 10 menit, kami sudah berkenalan dengan mbak Pipit, guide Tourist Information Service dari bandara Adi Sumarmo yang diutus Kadispar Solo untuk mendampingi rombongan wartawan dari Jakarta ini. Pipit sudah menunggu rombongan di stasiun Purwosari.
Kami langsung dipandu menuju kereta kuno Jaladara, dimana dalam dua rangkaian gerbongnya pengunjung tak hanya disuguhkan dengan pemandangan kota Solo saja, namun kami juga menikmati minuman jamu beras kencur yang menyegarkan dan kue-kue jajan pasar.
Wisata city tour pagi ini diawali dengan menikmati sensasi naik kereta uap Jaladara atau bahasa jawanya Sepur Kluthuk Jaladara menyusuri pinggiran rel jalan Slamet Riyadi. Kereta Ini adalah satu-satunya kereta antik yang beroperasi dan keberadaannya digagas oleh Presiden Jokowi kala masih menjabat sebagai Walikota Solo.
Presiden Jokowi spesial pergi ke Ambarawa untuk menjadikan kereta kuno menjadi magnet wisata Solo. Dari beberapa kereta kuno yang ada, kereta inilah yang sangat bisa dipakai dan akhirnya dibawa ke Solo hingga bisa dinikmati rombongan kami.
“Lokomotif kereta uap Sepur Kluthuk Jaladara keluaran tahun 1896 ini bernomor seri C1218, menjadi satu-satunya kereta tua yang masih beroperasi di dunia diatas jalan aspal. Lokomotifnya buatan Jerman, sedangkan dua gerbongnya buatan Belanda dengan interior dan bangku dari kayu jati,” jelas Pipit.
Sepanjang jalan dari stasiun pemberangkatan Purwosari ke stasiun Solo Kota sejauh 6 km biasanya ada kesempatan berhenti sekitar 15 menit di beberapa titik seperti Loji Gandrung (Rumah Dinas Walikota Solo), House of Danar Hadi, Museum Radya Pustaka, Sriwedari, Kampung Batik Kauman, Benteng Trade Center sebelum tiba di tujuan akhir, stasiun Kota Solo.
” Pemberhentian tergantung dari keinginan penyewa karena kereta ini beroperasi dengan sistem sewa untuk keperluan wisata satu grup yang berminat dengan biaya Rp 3,5 juta, kapasitas 70 orang. Harga sudah subsidi dari Pemkot Solo karena normal biaya sewa kereta adalah sekitar Rp. 8 juta, ” kata Pipit.
Saya memilih berdiri di gerbong belakang menghadap jalan raya. Rupanya sepanjang perjalanan bunyi tuit..tuit..kereta yang keras menarik perhatian warga yang menyaksikan. Mereka nampak ‘excited’ dan tak akan menyiakan kesempatan mengambil foto atau video saat kereta melintas.
Jadilah sementara waktu saya merasa menjadi model kereta uap karena dari pinggir jalan bahkan dari dalam mobil kerap ada yang memotret. Sebagai turis yang berada di dalam kereta, saya merasa beruntung bisa menjajal naik kereta uap yang hanya beroperasi 8 kali sebulan atau sekitar 80 kali saja dalam setahun.
Maklum bukan kereta reguler sehingga warga Solo sendiri belum banyak yang menikmati kereta antik ini. Tingginya biaya operasional kereta uap ini karena bahan bakarnya adalah sisa-sisa potongan kayu jati yang sifatnya tahan lama dan lebih kuat menghasilkan panas. Sebelum kereta melaju, lokomotif dipanaskan dulu dengan 5 meter kubik kayu jati dan 5 liter air selama 3 jam.
Ketika kereta beraksi di jalan kecepatannya rata-rata hanya 20 kilometer per jam saja. Kereta ini merupakan satu diantara 6 kereta uap tertua peninggalan Belanda di Indonesia. Dari 6 kereta, 1 kereta kini berada di Sawahlunto, 2 kereta di Solo dan 3 kereta di Ambarawa.
Tiba di stasiun Solo Kota, kereta ternyata harus menunggu lewatnya kereta api Betara Kresna, kereta reguler jurusan Purwosari-Wonogiri sekitar satu jam lagi. Akhirnya Pujiono, masinis Jaladara menjadi sasaran awak media untuk menceritakan pengalamannya selama ini , membawa berbagai komunitas maupun wisatawan mancanegara.
” Saya tidak merasakan masalah yang berarti dalam merawatnya. Ada sesekali pipa bocor tapi kita bisa atasi. Saya bangga kereta uap ini satu-satunya kereta antik di dunia yang masih bisa melintas di rel jalan aspal dan hanya ada di Indonesia yang masih beroperasi,” kata Pujiono.
Kebanggaan lainnya secara rutin wisman dari Kunming, China datang dengan charter fligt langsung ke Solo untuk naik Jaladara. ” Berkat ikon kereta ini, turis asing datang, hotel penuh, kuliner laris, toko oleh-oleh dan batik laris,” kata Pujiono yang kereta dalam perawatannya mampu menggerakkan perekonomian rakyat.
Ucapannya membuat saya langsung berhayal apalagi melihat Aaron Cheah, Co founder dan wartawan Tripcanvas.co dari Singapura yang ikut dalam rombongan sibuk memotret kereta dari segala sisi. Duh, seandainya di stasiun Solo Kota ini ada penyewaan baju gaya nonik-nonik Belanda pasti saya sudah mengenakan kostum cantik bergaya abis di berbagai sisi kereta antik ini pula untuk pemotretan.
Nuansa Seni dan Budaya
Kota Solo menawarkan berbagai destinasi rekreasi yang unik bagi wisatawan. Bukan hanya keraton Kasunanan dan Mangkunegara Surakarta, tapi aktivitas warganya juga jadi daya tarik karena tetap melestarikan budaya Jawa terutama batik.
Kampung Batik Laweyan menjadi tujuan berikutnya. Kampung kuno nan eksotis ini memiliki andil sejarah yang besar dalam perjalanan batik Solo. Bangunan-bangunan di kampung ini memiliki desain arsitektur Jawa kuno yang dipengaruhi juga oleh gaya Eropa, China, dan Islam.
Pipit membawa rombongan melalui gang-gang sempit kampung ini, melewati rumah penduduk yang berdagang batik, warung kopi dan tak jarang diantara kami berselfie ria depan dinding rumah yang dicat mural batik atau pintu rumah antik yang tinggi dan lebar.
Uniknya lagi, beberapa rumah di kampung ini juga memutar musik tradisional Solo seperti keroncong, karawitan, dan rebana yang memperkuat nuansa lawas di kampung ini ketika tamu melintas depan workshop sekaligus rumah tinggal mereka.
Kampung ini sudah ada sejak tahun 1546 di zaman Kerajaan Pajang. Di kala itu masyarakat Laweyan sendiri banyak yang menekuni batik sebagai mata pencaharian mereka. Hingga awal tahun 1900-an masih menikmati kejayaanya dimana banyak terdapat saudagar dan pengusaha batik pribumi yang kemudian mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI).
Tahun 1970 an ketika teknologi batik printing dari China mulai memasuki kampung ini, berakhirlah masa kejayaan dan tinggal 8 usaha yang bertahan. Produksi masal batik printing mematikan usaha pedagang batik tulis yang membutuhkan waktu 2 sampai 4 bulan untuk menyelesaikan selembar kain batik.
Pemerintah Kota Solo di era Walikota Jokowi merespon penghidupan kembali kampung ini dengan melakukan konservasi terhadap 30 rumah kuno yang memiliki nilai sejarah dalam perkembangan batik Laweyan. Lingkungan kampung pun ditata lebih rapi oleh pemerintah.
Museum Haji Samanhudi juga mulai didirikan yang berisikan peninggalan-peninggalan bersejarah milik sang pendiri Serikat Dagang Islam ( SDI) tersebut yang juga merupakan pengusaha batik. Semua langkah ini ditempuh untuk mengembangkan Kampung Laweyan sebagai sebuah wisata heritage khas Solo.
Masih seputar kota, ada yang lawas, tapi juga ada obyek wisata baru yang bisa dikunjungi yaitu Tumurun Private Museum Solo. Sesuai namanya, isi dari museum ini adalah milik pribadi anak dari pendiri perusahaan tekstil terbesar Asia, PT. Sritex yaitu Iwan Kurniawan Lukminto.
Dia mendirikan museum ini sebagai bentuk penghormatan kepada sang Ayah, alm HM Lukminto, seorang kolektor dan penikmat karya seni. Nama Tumurun berasal dari kata Turun Temurun yang berarti mewariskan dari generasi satu ke generasi lainnya.
Selain itu, berdirinya tempat ini menjadi penghargaan untuk seniman Indonesia agar karyanya bisa diapresiasi oleh publik. Namun untuk berkunjung harus reservasi dahulu, jadi tamu datang sesuai jadwal yang diberikan pihak pengelola.
Berlokasi di Jalan Kebangkitan Nasional No.8, Surakarta, Temurun Private menerima kunjungan secara gratis dari hari Senin hingga Sabtu dengan maksimal 10 reservasi tiap harinya. Bangunan museum ini berwarna putih, simpel dan bergaya modern.
Tumurun tampak menyerupai galeri seni bergaya modern, yang terdiri dari dua lantai seluas 1.800 meter persegi. Museum ini memiliki langit-langit yang tinggi untuk memberikan kesan lega dan jauh dari kesan museum kuno.
Jangan terkejut kalau pemandu mengawali informasi dengan sederet aturan seperti tidak menyalakan flash kamera, tidak memegang karya, tidak berdiri terlalu dekat dengan karya. Maklum museum dua lantai ini berisi master piece dari dalam dan luar negri yang harganya juga bervariasi bahkan selangitlah.
Pengunjung akan dipandu dengan durasi satu jam untuk menikmati aneka koleksi di dalamnya. Di lantai dasar berisi koleksi contemporary art, lalu di lantai atas untuk koleksi modern art. Ada sekitar 100 karya seni yang dipajang di lantai dasar. Ada karya milik Eko Nugroho, Eddy Susanto, Heri Dono, Eddie Hara, dan Entang Wiharso.
Selain lukisan, beberapa karya instalasi lain juga tak kalah membuat kagum. Sebut saja karya Handiwirman Saputra dan Mujahidin Nurrahman. Masih dilantai yang sama, tampak mobil lawas pribadi milik HM Lukminto merk Dodge dan Mercedes Benz.
Instalasi bertajuk Changing Perspectives karya perupa muda asal Jogjakarta, Wedhar Riyadi nampaknya menjadi ikon museum karena bentuk, warna dan ukurannya yang tinggi seperti banyak mata yang berdiri megah di tengah ruangan.
Pemandu menjelaskan bahwa penciptanya ingin mengkritisi masyarakat jaman Now yang asyik bermedsos sehingga banyak mata yang mudah menelaah kehidupan pribadinya yang diumbar ke tengah khalayak ramai.
Ada banyak perupa Indonesia yang karyanya dipajang di museum ini, mulai dari seniman old master hingga kontemporer. Seperti Hendra Gunawan, Basoeki Abdullah, Raden Saleh, Affandi, hingga Heri Dono, Eko Nugroho dan Eddy Santoso.
Lukisan karya J.A. Pramuhendra berjudul ‘A Heaven Tale’ menggunakan arang sebagai media lukisnya. Sementara karya Eddy Susanto yang berjudul ‘Melencolia I’ di mana lukisannya terbentuk dari rangkaian cerita yang ditulis dengan Aksara Jawa kecil-kecil yang membutuhkan tekhnik dan kesabaran tingkat dewa dalam pembuatannya
Tak hanya seniman Indonesia, karya luar negeri pun bisa kita temukan di sini. Ada dari Jepang, Filipina, Singapura, dan Amerika. Tentunya tak kalah luar biasa epik dilihat dari teknik, media, makna, dan filosofinya. Sementara di lantai atas memang belum dibuka untuk publik. Namun kita tetap bisa mengakses informasi dari pemandu.
Menyusuri Lorong Waktu
Rupanya agenda City Tour hari ini semuanya berhubungan dengan olah rasa dan ibarat menyusuri lorong waktu saat berbelanjapun pilihannya adalah mengunjungi Pasar Triwindu dengan bentuk bangunan khas Jawa berupa joglo dengan komponen utama kayu.
Di sini, banyak sekali terdapat barang antik bekas pakai yang masih terawat dengan baik terutama perabotan vintage lucu dari masa lalu yang bernilai seni, serta sejarah tinggi. Mulai dari piring-piring antik, kursi, lemari, gramofon, cermin, koin kuno, sepeda kuno dan perabot lain.
Berdasarkan sejarah, pasar ini sudah ada sejak 1939. Pada masa itu, keberadaan pasar ini pertama kali digagas untuk meramaikan acara naik tahta Adipati Sri Mangkunegara VII yang ke tiga windu atau triwindu. Windu adalah sebutan penanggalan Jawa untuk 8 tahun.
Pasar Triwindu Solo pada awalnya berdiri di tanah kekuasaan milik Pura Mangkunegaran. Tanah ini kemudian beralih kepemilikan menjadi kepunyaan Pemerintah Kota Surakarta dan diresmikan pada 2011 lalu oleh Walikota Solo, Joko Widodo ( Jokowi).
Pemerintah Solo juga menaruh perhatian yang besar terhadap pasar ini. Berbagai renovasi pada bangunan dilakukan. Kini Pasar Triwindu Solo pun menjadi lebih rapi, tertata dan nyaman. Banyak turis asing mengunjungi pasar barang antik itu yang juga menjual barang-barang tiruan atau replika.
Setiap kali blusukan ke dalam pasar dua lantai dengan 257 kios, saya selalu mencari aksesoris terutama kalung-kalung perak replika dari perhiasan tempo dulu. Barulah melihat keramik Belanda berbentuk bulat panjang ukuran setengah meter semacam dispenser di rumah nenek dulu.
Dari Pasar Triwindu, rombongan diajak menikmati bis tingkat wisata untuk keliling kota Solo yang bisa dinikmati wisatawan dan warga lokal dengan membayar Rp 20.000/ orang atau sewa Rp 800.000 per bis khususnya di akhir pekan.
Bukan bis tingkat terbuka seperti yang menjadi ikon kota London, Inggris tapi bis berwarna kuning bertuliskan sponsor Mayapada, mampu menampung 43 penumpang, 18 penumpang duduk di bus bagian bawah dan 25 penumpang di lantai dua bus. Dengan tinggi bus 4,5 meter, lebar 2,5 meter, dan berat 12 ton.
Oke sajalah yang jelas dari lantai atas bus tingkat ini kita bisa menikmati gedung-gedung tua hingga ke Pabrik Gula Colomadu yang telah direvitalisasi menjadi tempat wisata dan kawasan komersial. Karena masih ada jadwal lain, rombongan tidak singgah di obyek wisata yang namanya kini dikenal sebagai De Tjolomadoe pasca revitalisasi yang dilakukan oleh sejumlah Badan Usaha Milik Negara ( BUMN).
Mencoba hidangan tradisional ketika berkunjung ke satu kota bisa jadi sudah biasa. Tapi bagaimana jadinya jika menu yang disantap ternyata menjadi bagian dari menu yang dihidangkan di dalam keraton? .
Akhir perjalanan hari kedua kami menyambangi Omah Sinten untuk merasakan kuliner ala raja-raja Solo. Lokasi restorannya sejajar dengan Pasar Triwindu dan letaknya di ujung jalan, bersebrangan dengan Pura Mangkunegaran.
Tidak hanya memanjakan pengunjung dengan masakan dan minumannya yang spesial, Omah Sinten juga menawarkan atmosfer Jawa khas bagi para pelanggannya. di sini makanan menu khas keraton dapat dinikmati dengan harga terjangkau mulai Rp. 35-50 ribu saja.
Selain interior utama restoran banyak spot selfie dan instagramable, di bagian halaman ada joglo kecil dan meja-meja yang mengelilingi. Slamet Raharjo, sang pemilik restoran bahkan memfasilitasi tamu menikmati suasana budaya Jawa sambil mendengarkan alunan musik keroncong setiap Senin Wage karena di hari itulah komunitas penggemar keroncong memainkan musik di halaman restoran.
Semua menu masakan yang ditawarkan di Omah Sinten Solo terinspirasi dari masakan tradisional Pura Mangkunegaran dan sekitarnya agar tak sampai punah. Restoran yang juga memiliki sejumlah kamar untuk tamu-tamu menginap ini semua chef atau juru masaknya belajar langsung dari abdi dalem yang biasa bekerja untuk Keraton. Hal ini dirasa perlu untuk menyajikan rasa masakan otentik.
Hadirlah kemudian Nasi Golong yang menjadi andalan terdiri dari nasi putih yang dibentuk bulat, kemudian dilengkapi tambahan lauk seperti urap sayur, ayam goreng, tahu dan tempe yang dipotong kecil, telur rebus, dan sayur bening. Hidangan ini terasa kian unik karena disajikan di atas nampan berbentuk bambu.
Ada juga Sate Penthul, makanan khas ini sebelumnya hanya dimasak sekali dalam delapan tahun, bertepatan dengan upacara Adang sega Tahun Dal, namun kini tamu bisa memesannya setiap saat tanpa harus menunggu 8 tahun sekali.
Coba juga Garang Asem Bumbung, konon merupakan salah satu menu favorit Mangkunegara VI, yang berkuasa antara 1896 hingga 1916. Pengajiannya juga unik bukan dalam mangkok tapi di dalam bambu. Menu favorit lain disini yakni Manuk Nom atau burung muda yang dimakan pakai emping.
Dalam bahasa Jawa, Omah Sinten artinya adalah rumah siapa. ” Saya ingin menghilangkan keakuan bahwa ini bukan tempat saya, meski saya pemilik, tapi tempat milik semua yang ada disini, ” ungkap Slamet Raharjo di dampingi istri tercinta pada anggota Forum Wartawan Pariwisata Kemenparekraf ini.
Ucapannya membuat saya baper mengingat akhir Desember ada liburan, Tahun 2020 sudah di depan mata, lalu ada Lebaran. Selama ini karena semua orang-orang terkasih saya seperti kedua mertua dan suami tercinta sudah kembali pada sang pencipta, rumah di Jogjapun sudah tidak ada lagi untuk tempat pulang maka masih ada Omah Sinten.
Mudik ke Jogja dan Solo, masih ada Omah Sinten tempat saya bisa melepaskan rindu dengan semua tradisi Jawa yang menjadi kenangan manis saat semua anggota keluarga suami sebagai salah satu keturunan dari keluarga besar Sultan Hamengkubuwono ke IV masih lengkap.
Sayapun kembali ke hotel dengan perut yang penuh dan rencana kembali ke Omah Sinten bersama anak, menantu dan cucu. Bismillah semua rencana lancar…..