JAKARTA, bisniswisata.co.id: Jalan-jalan dengan cara backpacking sudah lama menjadi semacam ritual kaum muda yang umumnya ogah ribet. Tren ini telah berlangsung setidaknya dalam 70 tahun terakhir.
Secara harfiah, backpacking berarti jalan-jalan atau rekreasi dengan membawa tas di punggung yang memuat pakaian dan makanan secukuptnya atau peralatan camping lain.
Pengertian ini kemudian berkembang menjadi gaya hidup yang merujuk pada cara orang traveling dengan lebih menekankan pada kebebasan waktu dan berorientasi kepada anggaran (budget oriented). Intinya adalah jalan-jalan dengan praktis dan hemat biaya.
Sayangnya, pandemi COVID-19 telah membuat banyak backpacker tertahan. Mereka terpaksa ngendon di rumah terkena aturan ketat yang bertujuan untuk mencegah makin meluasnya penularan virus Corona. Padahal sudah banyak juga yang gatal untuk kembali menjelajah dunia.
Keadaan ini nampaknya akan berlangsung lama karena meskipun negara kelak kembali membuka diri, para backpacker masih akan kesulitan menemukan tempat-tempat untuk dijelajah.
Liburan keliling dunia sebenarnya sudah dilakoni orang sejak berabad-abad lalu. Tetapi jalan-jalan ala backpacker yang kita kenal sekarang baru terjadi pada periode 1950an dan 60an.
Rute darat antara Eropa dan Asia Tenggara, yang kemudian dikenal sebagai “jalur hippie”, terbukti populer di kalangan anak muda yang memiliki anggaran terbatas
Meski budget terbatas, mereka menganggap hal itu bukan masalah karena hasrat untuk menjelajah dunia dan memperluas wawasan jauh lebih besar.
Apalagi kemudian pada 1973 Lonely Planet menerbitkan buku panduan pertama bertajuk “Across Asia on the Cheap.” Buku itu ditulis para pendirinya Tony dan Maureen Wheeler.
Konsep bepergian ala backpacker pun terus berevolusi seiring berjalannya waktu. Kini, mereka yang melakukan perjalanan backpacking mulai memasukkan unsur-unsur seperti rute yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menginap di hostel, melamar pekerjaan temporer di sana-sini, dan menjalin hubungan dengan sesama pelancong.
“Backpacking adalah konsep yang tak lekang oleh waktu,” kata Kash Bhattacharya, pendiri BudgetTraveller.org dan penulis “The Grand Hostels: Luxury Hostels of the World,” kepada CNN.
“Ia sangat mudah dan dapat diakses. Saya telah melakukan perjalanan backpacking selama 20 tahun. Perasaan ingin terhubung, rasa kemanusiaan dan ingin tahu tak pernah pudar, tidak peduli berapa pun umur saya.”
Salah satu dari sejumlah daya tarik bepergian ala backpacker adalah keterjangkauan. Para backpacker dapat tidur di asrama dengan harga lebih murah dibandingkan tarif hotel.
Selain itu, menjamurnya maskapai penerbangan bertarif rendah juga telah membuka banyak peluang perjalanan yang sebelumnya bagi sebagian orang dianggap tak terjangkau secara finansial.
Sayangnya, pandemi telah merontokkan industri penerbangan. Menurut catatan Asosiasi Transportasi Udara Internasional, kerugian gabungan untuk periode 2020 dan 2021 yang diderita perusahaan penerbangan mencapai US$ 157 miliar. Ini akan berdampak pada ketersediaan penerbangan bertarif murah.
Asosiasi mengatakan kemungkinan besar maskapai low cost carrier (LCC) akan menjadi bagian dari masa lalu. Padahal selama ini para pelancong backpacker sangat mengandalkan tiket murah yang ditawarkan banyak maskapai tersebut.
Meskipun program vaksinasi massal tengah berlangsung di sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat dan Inggris, bukan berarti aturan akan dilonggarkan.
Justru sebaliknya, semakin banyak negara tujuan yang memberlakukan ketentuan tambahan termasuk syarat menunjukkan hasil PCR negatif bagi siapapun yang hendak berangkat atau datang.
Persyaratan ini tentu menambah biaya perjalanan. Artinya, bepergian ala backpacker menjadi mahal karena di banyak negara tujuan, biaya tes itu dibebankan kepada pendatang alias tidak gratis.
Semoga tren ini hanya berlangsung sementara meski tak seorang pun tahu kapan keadaan akan kembali normal seperti saat sebelum pandemi. Atau barangkali kita harus mulai membiasakan diri menjalani hidup dengan keadaan normal baru.