TABANAN, bisniswisata.co.id: Jatiluwih, adalah sebuah desa di Tabanan, Bali. Meski sebuah desa, namanya sudah mendunia. Hanya karena kondisi sawah yang terasering yang unik, menarik dan punya daya tarik. Desa ini berada pada ketinggian 700 meter diatas permukaan air laut, merupakan kawasan berdekatan dengan Gunung Batu Karu. Panorama sawah sangat menakjubkan ditambah menikmati udara sejuk sambil menikmati pemandangan alam yang indah.
Selain itu, desa ini memiliki atraksi wisata juga mendunia. Jatiluwih Festival, namanya. Festival ini digelar setiap tahun. Tak heran festival ini dilirik wisatawan asing. Tahun ini festival Jatiluwih digelar di D uma Jatiluwih, sebuah amfiteater yang berdiri di kawasan perbukitan di tengah sawah seluas sekitar 2 hektare tanpa mengganggu aktivitas pertanian setempat. Acara berlangsung pada 14 sampai 15 September 2018.
Festival yang berlatar pertanian dan aktivitas pariwisata dengan masyarakat, di dalamnya dapat berjalan harmonis sesuai dengan tema tahun ini “Matha Subak” yang menekankan filosofi masyarakat Bali “Tri Hita Karana”. Kearifan lokal “Tri Hita Karana” itu bermakna tiga hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, alam dan sesama manusia.
Target kunjungan wisatawan lokal, nasional hingga interasional diharapkan mengalami peningkatan kunjungan hingga 30% dari realiasasi gelaran tahun sebelumnya. 2017 Jatiluwih Festival didatangi sekitar 1.000 pengunjung. Pada 2018, diharapkan jumlah ini semakin meningkat lagi.
Apalagi, memasuki tahun kedua festival, banyak perubahan yang dilakukan, mulai dari lokasi acara hingga konsep. Sebelumnya, acara lebih berupa karnaval dengan konsep pawai jalanan. Saat ini, acara difokuskan di bukit tengah persawahan Desa Jatiluwih dengan menonjolkan pemandangan sawah yang sedang menghijau.
Memang Jatiliuwih Festival selayaknya pagelaran pada umumnya. Ada stand UMKM hingga pentas seni dan musik. Setidaknya, ada sekitar 10 UMKM memamerkan potensi lokal unggulan, yakni beras merah dan kerajinan bambu. UMKM tersebut mulai dari ragam kuliner jajanan Bali dari beras merah, teh dari beras merah, hingga ragam kerajinan anyaman bambu.
Namun yang membedakan Jatiluwih Festival yakni lokasi acara yang berada di tengah sawah. Tahun ini lebih mengusung konsep kreativitas dan budaya. Sementara gelaran sebelumnya berfokus pada agriculture festival.
Acara pun sengaja dilakukan pada pertengahan September 2018 karena saat itu padi sedang menghijau sehingga pemandangan festival akan semakin semarak. Pengunjung festival akan diajak melakukan trekking di sekitar sawah sejauh 1 km sebelum memasuki lokasi pagelaran. Panitia juga menyipkan paket camping.
Tabanan selama ini dikenal sebagai lumbung beras Bali lantaran persawahan yang terkelola dengan baik. Salah satunya Jatiluwih. Persawahan Jatiluwih selain memiliki pemandangan sawah berundak yang indah, juga memiliki sistem tata kelola air yang komunal dan berkeadilan. Kondisi ini ditunjang adat istiadat masyarakat yang sangat kental.
Jatiluwih Festival 2018 melibatkan komponen masyarakat lokal dengan menampilkan pagelaran budaya seperti seni musik rindik, Tari Rejang Kolosal, Tari Kecak, Tari Metangi, hingga Joged Bumbung.
Selain itu, ada penampilan musisi nasional seperti Balawan, Gilang Ramadhan, Marapu Band, Ito Kurdhi Chemistry, Ronald Gang, Andy Bayou, hingga Saharadja. Juga Arsitek Indonesia Eko Parwoto akan berkolaborasi dengan masyarakat Jatiluwih untuk membuat seni instalasi dari bambu. Mengingat Jatiluwih juga dikenal sebagai daerah penghasil bambu. Di areal perbukitan itu, pengunjung juga dapat menikmati penyewaan kemah dengan pemandangan terasering persawahan.
Nantinya, wahana itu juga diharapkan akan menjadi media bagi masyarakat untuk aktivitas berkesenian secara berkelanjutan. Harga tiket masuk bagi pengunjung lokal dan domestik, lanjut dia, sebesar Rp 15 ribu dan internasional sebesar Rp 40 ribu per orang.
Selama tahun 2017 jumlah wisatawan yang berkunjung ke desa Jatiluwih rata-rata mencapai sekitar 250 ribu, 80 persen di antaranya merupakan wisatawan asing kebanyakan dari Eropa. Wisdom sendiri baru banyak mengunjungi Jatiluwih pada akhir minggu yakni dengan kisaran 40-50% dari total wisatawan.
Rata-rata kunjungan pada Agustus 2018 mencapai sekitar 1.600-1.800 orang per hari Jumlah wisatawan ini dirasakan turun sebagai dampak aktivitas Gunung Agung sempat membuat penurunan kunjungan wisata hingga 80%. Jatiluwih selain menjual pemandangan sawah, juga wisatawan bisa melakukan walking, trekking, running dan bersepeda keliling serta aktivitas persawahan. (redaksibisniswisata@gmail.com)