WASHINGTON, bisniswisata.co.id: Setiap tahunnya sekitar 1.200 orang melakukan usaha pendakian ke gunug tertinggi di dunia, Everest. Meskipun tidak banyak yang berhasil sampai di puncak tertinggi di dunia, namun bulan Mei tetap menjadi musim pendakian teramai di tempat ini.
Suhu yang dingin (jauh dibawah nol derajat) dan beragam rintangan yang mampu menjerumuskan setiap orang kepada pengalaman menuju maut, Everest jelas menjadi lokasi uji nyali yang diabadikan. Setidaknya di tempat ini ada sekitar 200 tulang belulang manusia yang menjadi pengingat bagi siapaun untuk lebih berhati-hati dalam melngkah.
Namun bom waktu yang selalu menggelantungi Everest bukanlah perkara maut, melainkan hal yang cukup sepele yakni masalah buang air. Selain menjadi pemakaman dan tempat sampah, Everest juga dijuluki sebagai toilet tertinggi di dunia. Untuk mendaki Everest setidaknya para pendaki membutuhkan waktu nyaris dua bulan, itu berarti setiap orang memproduksi sekitar 27
Musim ini, para porter yang bekerja di Everest membawa turun sekitar 14 ton kotoran manusia dari base camp Everest ke sebuah lokasi penampungan sementara di dekat daerah bernama Gorak Shep.
Jika masalah kotoran manusia ini tidak disikapi secara serius, maka inilah bom waktu bagi salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Permasalahan inilah yang menggugah Garry Porter untuk mencari solusinya.
Garry adalah pensiunan insinyur yang gemar mendaki gunung, saat ini ia memikirkan cara untuk menyelamatkan Everest dari bom waktu yang siap meledak kapan saja.
“Everest adalah mimpi basah bagi setiap pendaki gunung di seluruh dunia. Tempat ini masih menawarkan panorama yang mengagumkan, alam yang angkuh beserta dengan segala kekacauan yang membuat kita bersyukur,” ujar Porter, seperti yang dikutip dari washington post, Kamis (9/8/2018).
“Namun sebagai timbal baliknya, kita juga harus membuat Everest tetap menawan. Sebagai pendaki, saya tidak bisa begitu saja berkemas dan meninggalkan kotoran tanpa memberikan solusi.”
Porter memberi solusi untuk menjinakkan bom waktu ini dengan biogas, yang bisa mencerna kotoran-kotoran itu kemudian mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat. Limbah itu bisa disulap menjadi pupuk, atau gas yang bisa digunakan untuk memasak hingga penerangan bagi warga dan pendaki.
Bagi sebagian negara, khususnya negara yang sudah maju, limbah memang telah diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat sehingga tidak memberi dampak negatif bagi lingkungan dalam jumlah besar.
Namun ada beberapa permasalahan yang akan dijumpai di Everest, seperti mahalnya ongkos kirim peralatan dan tidak optimalnya kinerja bakteri pengurai karena suhu dingin yang terlalu ekstrim.
Solusi untuk mengatasi persoalan kinerja bakteri pengurai adalah membangun pemanas berukuran besar yang dioperasikan lewat tenaga dari panel tenaga surya. Pemanas ini akan menjaga suhu agar stabil ada angka 68 derajat celsius, sebelum dipanaskan.
Sedangkan untuk membereskan masalah terkait ongkos kirim, Porter sudah melibatkan beberapa pihak dalam sebuah grup bernama Everest Biogas Project. Tim ini nantinya akan melibatkan donatur-donatur, dan juga pemerintah Nepal utuk mendukung terlaksananya proyek ini.
Menurutya proyek ini membutuhkan biaya sekitar US$500 ribu (sekitar Rp7,2 miliar) “Saya rasa, kita harus berbuat sesuatu untuk Everest. Ini (Everest) bukanlah gunung milik saya atau Anda, kita hanya pernah berada di sana. Saya merasa harus meninggalkannya dalam keadaan bersih, sebagaimana saat saya menemukannya,” katanya. (NDI)