Oleh: Bagas Hapsoro
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Meski pandemi belum segera berakhir, namun langkah-langkah menyambut kebangkitan ekonomi kedepan lewat eco-tourism harus dipersiapkan.
Pandangan ini disampaikan sebagai salah satu rekomendasi Anak Agung Mia Intentilia, S.IP, MA. Anak Agung Mia atau akrab dipanggil Gung Mia setelah memberikan analisa mengenai ”Diplomasi Kopi pada Era Jokowi”.
Kajian Gung Mia ini disampaikan di depan para diplomat Kemlu dalam webinar terbatas pada hari Jum’at. 4 Desember 2020. Sebelumnya telah dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah Dinamika Sosial, bulan Pebruari 2020 oleh Universitas Pendidikan Nasional yang terakreditasi oleh Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional.
”Dalam kabinet Jokowi 2014-2019 diplomasi budaya dan ekonomi menjadi salah satu prioritas politik luar negeri (Polugri) Indonesia”, kata Mia.
Selanjutnya Mia menjelaskan bahwa pada Kabinet Kerja (2019-2024) sekarang ini nuansa diplomasi kopi terlihat lebih jelas lagi. Salah satu rekomendasi Mia adalah pentingnya peningkatan Wisata kopi experience & education. Contohnya adalah wisata teh di Jepang & wisata wine di Perancis.
Saya tertarik untuk memberikan komentar bahkan mendorong agar diteruskan. Bahkan jika perlu ditindaklanjuti. Saya akan berbicara kopi dulu, kemudian agro-wisatanya.
Perkembangan zaman membuat kopi tak lagi hanya sebatas minuman tetapi telah menjelma menjadi gaya hidup. Ajakan untuk ngopi berarti undangan untuk nongkrong santai sambil berbincang-bincang bersama rekan sejawat. Dalam hal ini, bukan saja kenikmatan aroma dan rasa kopi yang penting, tetapi juga kebersamaan yang tercipta.
Meski permintaan kopi dari hotel, restoran, cafe bahkan penerbangan berkurang, saat pandemi COVID-19 ini tidak mengurangi orang untuk minum kopi di rumah atau kos-kosan. Justru semakin banyak orang memesan biji kopi dan menggilingnya dari rumah.
Sekarang mengenai wisata kopi. Kita lihat kesiapan negara-negara pengekspor kopi lainnya mengenai eco-tourism khususnya Brazil, Kolombia, dan Viet Nam.
Brazil.
Saya pernah ke kota Manaus, Brazil. Bagi penggila petualangan menantang khususnya hutan, kota Manaus yang letaknya berada di tengah hutan Amazon adalah tempat yang tepat. Kota ini tadinya terkenal dengan hasil industri karetnya yang berkembang pesat pada awal abad ke-20. Namun seiring dengan promosi kopi, Manaus termasuk maju dalam perkopian.
Para pelancong dipersilakan untuk memilih, mau melihat pohon kopi atau malahan ingin ”berkebun”. Ini ada keunikannya apalagi diteruskan minum kopi.
Ada satu tradisi minum kopi ala Brazil yang cukup terkenal yakni cafezinho. Cafezinho sendiri memiliki arti minum kopi sedikit, diseruput pelan-pelan. Kopi yang dinikmati sejenis espresso namun dengan proses penyeduhan dan penyajian yang berbeda. Cafezinhoadalah gaya menikmati kopi dengan air seduhan gula yang mendidih. Biasanya minum kopi ditemani camilan kecil berupa kue atau snack.
Kolombia.
Pemerintah Kolombia sangat jeli untuk memanfaatkan keunggulan kopinya. Logo Juan Valdez yang sederhana merepresentasikan kopi Kolombia yang termashur.
Di sebagian besar hotel di Kolombia pasti tersedia wisata kopi. Pengunjung memiliki kesempatan unik untuk menghabiskan waktu bersama petani, pemilik kopi, mengendarai jip, dan ketemu dengan penduduk setempat. Ini memungkinkan pelancong mereka untuk benar-benar menemukan pentingnya kopi bagi seluruh budaya dan cara hidup daerah tersebut.
Kolombia memiliki Taman Nasional Kopi (Parque Nacional del Cafe). Ini adalah tempat yang direkomendasikan dan layak untuk dikunjungi. Dengan museum kopi, pameran interaktif yang didedikasikan untuk sejarah kopi, dan banyak rollercoaster dan wahana lainnya pelancong akan mengerti sejarah kopi Kolombia.
Kembali ke cerita logo Juan Valdez. Dia bukanlah nama dan tokoh nyata, dia adalah figur duta kopi Kolombia yang diciptakan sebagai strategi pemasaran produk unggulan Kolombia tersebut. Juan Valdez digambarkan sebagai seorang petani yang bertugas menyeleksi kualitas, aroma, tekstur, dan kelembutan rasa kopi Kolombia untuk dibawa ke pasar internasional.
Vietnam.
Vietnam telah dikenal sebagai negara pengekspor kopi. Secara global, negara berpenduduk sekitar 92 juta orang ini, sudah dikenal sebagai pengekspor kopi dunia terbesar kedua, setelah Brazil. Vietnam lebih menyarankan untuk mengunjungi kafe.
Di setiap hotel dan penginapan selalu ditemukan brosur tentang campuran kopi Vietnam yang berbeda dan cicipi beberapa biji paling enak di kota. Pergi dari kafe ke kafe sebagai bagian dari tur untuk mempelajari tentang berbagai minuman yang tersedia dan untuk mempelajari bagaimana tepatnya orang Vietnam suka mengambil kopi mereka.
Pelancong atau pecinta kopi akan ditawari diberitahu tentang sejarah kopi di Vietnam sebagai bagian dari tur.
Bagaimana dengan di Indonesia ?
Dubes Swedia di Indonesia tahun 2015-2019 Johanna Brismar Skoog sangat terkesan dengan kawah Ijen dan Toraja. Beliau penggemar berat kopi Indonesia. Salah satu tempat yang sangat berkesan sekaligus dapat diciptakan sensasi kopi adalah Kopi Arabika Java Ijen Raung.
Saya pernah diceritakan lebih detail bahwa kopi Ijen mengalami pencucian dalam proses dan tumbuh berada di timur Kawah Ijen, dalam ketinggian 1.400 meter.
Saya yakin pandangan beliau banyak benarnya. Bagaimana wilayah penghasil kopi lainnya. Sebagai contoh kita lihat Aceh, Bali dan Toraja.
1. Aceh, Takengon
Takengon menawarkan banyak tempat wisata diantaranya Danau Laut Tawar di Dataran Tinggi Gayo. Objek wisata kopi dengan ketinggian 1.100 meter ini menyuguhkan pemandangan alam yang memesona dengan hawa yang sejuk.
Sambil menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan, kita bisa menyeruput segelas kopi Gayo, hasil perkebunan milik warga yang diolah secara tradisional. Petani kopi di Takengon memang bukan hanya menanam kopi, tetapi juga mengolahnya supaya bisa langsung dinikmati. Inilah magnet yang menarik wisatawan dan penggemar kopi untuk berkunjung.
Perkebunan Kopi di Gayo telah ada sejak 1908, utamanya di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Kedua daerah yang berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut tersebut merupakan perkebunan kopi Arabika terluas di Indonesia.
2. Bali
Pulau Dewata ini ternyata memiliki destinasi wisata kopi yang menarik. Bukan hanya pesona alam dan keindahan budayanya yang menarik wisatawan untuk berkunjung ke Bali, tetapi rasa kopinya.
Menurut sejarah, perkebunan kopi di Bali dimulai oleh para petani dari Lombok pada awal abad ke-20. Daerah yang dianggap ideal karena kesuburan tanah dan iklimnya yang sesuai adalah Kintamani. Awalnya, kopi yang ditanam adalah kopi robusta karena tahan lama dan mengandung kafein tinggi. Namun, jenis itu kini diganti dengan kopi arabika karena harganya lebih tinggi dan rasanya tidak terlalu asam.
Saya yakin pelancong perlu diberikan kesempatan untuk melihat cara pengolahan kopi paska panen yang khas. Kopi Bali diproses dengan cara tradisional, yaitu dengan proses basah. Artinya, kulit dan daging kopi dibuang sebelum bijinya mengering. Biasanya, buah kopi dikeringkan dahulu untuk kemudian diproses. Ini yang menyebabkan kopi Bali memiliki warna yang lebih terang daripada jenis kopi lainnya
3. Toraja
Saya kadang-kadang merasa malu. Beberapa teman saya dari Lebanon, Swedia dan Denmark mengenal kopi Toraja lebih baik daripada saya? Bukan hanya masyarakat lokal, kenikmatan rasa kopi Toraja juga sudah diakui oleh masyarakat internasional. Dengan merk dagang Toraja Arabica Coffee, kopi ini dapat dengan mudah ditemukan pada kedai kopi papan atas di Denmark, Swedia, Finlandia, dan sebagainya.
Ketenaran kopi Toraja dapat kita nikmati jika berkunjung ke perkebunan kopi Sulotco yang terletak di Bittuang, tepatnya di Bolokan, Kabupaten Tana Toraja. Tak hanya sedapnya aroma kopi, tetapi kita dapat berwisata kopi dengan menjelajah perkebunan kopi seluas 800 ha. Perkebunan ini asalnya adalah milik seorang Warga Negara Belanda bernama H.J. Stock van Dykk.
Beberapa catatan kedepan
Sebagai penghasil kopi terbesar keempat di dunia, Indonesia memiliki banyak potensi yang bisa dikembangkan dalam hal pariwisata. Kopi bisa menjadi salah satu daya tarik wisata yang bisa dikembangkan di Indonesia.
Saya percaya bahwa banyak sekali perkebunan kopi di Indonesia yang menawarkan daya tarik wisata bagi wisatawan.
Ada pameo mengatakan bahwa ”kalau suatu negara ingin hidup damai, maka harus dipersiapkan angkatan perangnya”. Tujuannya bukan untuk perang. Namun untuk menjaga agar bisa tenteram dan aman.
Demikian juga dengan masa pandemi Covid-19 ini. Adanya work from home (WFH) bukan berarti liburan panjang. Kreativitas bisa dilakukan dari rumah. Wisata kuliner dan kopi saat ini sudah bisa dipersiapkan. Dengan demikian saat turis manca negara datang, maka negara itu sudah siap.
Pandemi virus corona yang tengah terjadi di Indonesia, bahkan dunia bukan menjadi halangan untuk mengembangkan daya tarik wisata ini. Justru, pelaku wisata harus bisa memanfaatkan kopi saat sekarang, maupun kala pandemi telah berakhir.
Tantangannya adalah bagaimana kita bisa menjaga kualitas agar standar kopi kita bisa standar terus kualitasnya. Ada beberapa keuntungan kalau kita lakukan wisata kopi.
1. Para importir senang ketemu langsung petani (direct trade)
2. Pelacakan (traceability)
3. Technology (block chain).
Dengan teknologi, maka kopi yang kita jual di Cafe akan diberikan QR Code. Dan dari QR ini akan bisa dilacak (tracking) asal-usul kopi, tanggal panen, tanggal pemrosesan, siapa petaninya, eksportir dari perusahaan mana, importir dan cafe penjualannya. Itu adalah solusi pandemi dimana setiap orang saat ini dalam situasi new normal menginginkan traceability.
Sebenarnya, meski secara kuantitas besar namun kopi Vietnam belum mampu bersaing secara kualitas di pasar global. Reputasinya kalah jika dibandingkan dengan negara pengekspor kopi lainnya seperti Indonesia. Sebut saja Kopi Gayo dari Aceh. Kopi berjenis Arabika ini dianggap lebih berkelas.
Menurut beberapa pakar, masalahnya ada pada kualitas biji kopi. Di Vietnam, mayoritas perkebunan atau sekitar 97% merupakan tanaman kopi berjenis Robusta. Sedangkan di dataran tinggi Gayo, kopi yang ditanam adalah jenis Arabika.
Saya pernah mengikuti Webinar Menteri Ristek Prof. Dr. Bambang Brodjonegoro pada tanggal 5 September 2020. Beliau mengatakan bahwa salah satu program bantuan teknologi tepat guna yang dimotori oleh LIPI dilakukan di Kabupaten Sumba Barat Daya.
Program itu berhasil melahirkan produk kopi yang dinamakan Aroma Kopi Sumba, yang berhasil menyabet gelar juara kopi nasional di tahun 2017 dan 2018 lalu.
Saya berharap, agar perguruan tinggi seperti Universitas Jember dan perguruan tinggi lainnya ikut berperan dengan membentuk konsorsium multi-disiplin dalam meneliti kopi yang melibatkan banyak pakar dari berbagai disiplin keilmuan, agar pengembangan kopi Indonesia semakin maju.
Saat pandemi selesai, janganlah kita mengatakan masih belum siap dan perlu waktu untuk mengadakan penyesuaian lagi. Percayalah negara lain bisa menyalip kita dalam ekspor kopi kalau masih menganut cara pandang demikian.
Seperti yang direkomendasikan Mia menyangkut ”experience and education” untuk para pecinta kopi dari manca negara. ”Kita bisa meniru wisata teh di Jepang dan wisata anggur di Perancis,” kata Mia.
Semoga saja wisata kopi ini semakin berkembang, dan kopi Indonesia mampu melebarkan sayap ke manca negara.
Penulis adalah: Mantan dubes Swedia dan Latvia, Kementerian Luar Negeri. Email: bagas.hapsoro11@gmail.com