FASHION

Terinspirasi Wayang Lahirlah Busana Bersiluet Modern

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Inspirasi untuk melahirkan sebuah karya menakjubkan, memang diperoleh dari mana saja. Begitu juga desainer Sapto Djojokartiko yang mendapat inspirasi untuk menciptakan busana dari seringnya menonton pertunjukkan seni wayang di Gedung Sriwedari, Solo. Ditambah lagi kecintaan terhadap kesenian dan kebudayaan warisan nusantara membuahkan karya fashion yang sangat luar biasa.

Koleksi busana terbarunya yang terinpretasi wayang bertajuk Wisik, yang dalam bahasa Sanskerta berarti Bisikan Hati atau wahyu. Dari Wisik tercipta busana bersiluet modern, bahkan lebih light. Sehingga pencinta mode dari kalangan milenial masih bisa mengenakan, menyukai koleksinya sekaligus memahami ada makna di balik koleksi Wisik ini.

Ada sekitar 57 koleksi busana Wisik dipersembahkan dalam Fashion Show Spring/Summer 2020, yang digelar di Bali Room Hotel Indonesia Kempinski Jakarta,. Pagelaran busana ini merupakan kolaborasi dengan Hotel Indonesia untuk merayakan 57 tahun berdirinya hotel bersejarah ini. Juga memperingati kemerdekaan Republik Indonesia di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta.

“Saya merasa terhormat mendapat kesempatan untuk mempresentasikan koleksi Wisik di sebuah tempat bersejarah, Bali Room merupakan ballroom pertama yang ada di Asia Tenggara pada tahun 1962. Juga di mana acara-acara legendaris pernah diadakan. Kemegahan Bali Room seperti membawa saya kembali ke tahun 1960-an untuk dapat lebih mengerti asal-usul diri saya sendiri,” lontar desainer Sapto Djojokartiko dalam keterangannya.

Bali Room adalah ballroom yang berbentuk oval dengan lampu hiasan yang mewah. Runway ditata dengan memberikan kesan futuristik lewat piramida kaca yang ditata tak beraturan. Sapto menginterpretasikan piramida ini seperti tumpengan sebagai cara memperingati kemerdekaan.

Sekitar pukul 19.00 malam, para tamu undangan sudah memadati Bali Room. Sejumlah selebriti Tanah Air tampak menghadiri peragaan busana ini, seperti Dian Sastrowardoyo, Reza Rahadian, Nagita Slavina, dan Andien. Sekitar jam delapan malam, peragaan busana dimulai. Para model melenggang mengitari gunungan piramida itu dengan tempo cepat, diiringi musik arahan Jonathan Kusuma.

Meski mengambil wayang sebagai inspirasi, Sapto mempresentasikan inspirasi tersebut secara halus dan tidak langsung. Desainer Sapto mengambil unsur-unsur wayang, lalu meraciknya dalam panduan garis geometris seolah membentuk gunungan pada wayang. Motif gunungan ini banyak menghiasi kain yang digunakan Sapto. Terkait dengan warna, Sapto mencoba keluar dari zona nyama.

Di koleksi terdahulu, Sapto sering menggunakan warna nude dan pastel dengan permainan bahan lace. Kini, dia lebih banyak menghadirkan warna vibrant yang kuat seperti hijau, ungu, pink , dan kuning neon. Meski terdapat beberapa permainan tabrak warna dan motif, Sapto tetap memegang pakem-pakem yang menjadi ciri khasnya.

Koleksi Wisik berhasil membius para penonton. Busana indah dari mulai outer , gaun maxi , atasan draperry hingga cocktail dress bersiluet longgar hadir memikat mata. Terdapat pula busana laki-laki seperti kemeja, atasan tunik hingga outer yang unik.

Salah satu model menggunakan coat berwarna pastel lembut yang dihiasi bordiran berwarna neon yang mencolok. Aplikasi serupa juga menghiasi dress siluet A yang transparan. Desainer lulusan ESMOD ini membuat motif tampak bertekstur menggunakan teknik bordir sulam dan patchwork atau penggabungan kain.

Kain-kain itu dirancang menjadi busana dengan garis desain yang sederhana. “Selain wayang, saya juga terinspirasi dari dodotan dan sampur atau selendang. Inspirasi-inspirasi tersebut saya interpretasikan dengan cara yang modern dan sederhana,” ujar Sapto.

Sapto bercerita, koleksi kali ini membawanya ke kehidupannya sehari-hari waktu kecil. Memori yang membawa tentang kebudayaan, kebiasaan, adat yang dulu dia lihat saat pulang ke kampung kelahirannya Kota Solo, dan selalu melihat seni pertunjukan wayang. “Saya seperti mendapat bisikan atau wisik dari masa lalu untuk mau mengangkat kekayaan dan keindahan wayang asli tanah Jawa,” paparnya dengan bangga.

Usai menonton wayang, Sapto ingin melestarikan sekaligus mengenalkan ke generasi milenial bahwa seni budaya bangsa ini harus dilestarikan dan dibanggakan sekaligus dipegang teguh. ” Saya mikir gimana ya caranya memperkenalkan kebudayaan ini kepada generasi zaman Now. Eh jadi kepikiran juga, kok di Indonesia kayak begini. Tergeraklah saya untuk merepresentasikan budaya ini ke koleksi busana saya. Dan saya bersyukur bisa mendesainer hingga menggelarnya,” ucapnya.

Ditambahkan, 57 set look baju mencakup busana wanita dan pria, atau yang ia sebut co-gender presentation. “Ada siluet, gaya pakaian wayang diangkat, tapi nggak plek-plekan kayak wayang solo literally. Something modern, tapi ada cerita dibaliknya,” sambungnya.

Koleksi ini juga merupakan perwujudan Sapto Djojokartiko keluar dari zona nyamannya, dimana sebelumnya ia tak pernah bermain dengan warna-warni neon.

Sapto Djojokartiko mencoba untuk menantang dirinya sendiri dengan elemen-elemen berbeda, sembari memperkenalkan Indonesia dengan cara yang unik, yang berbeda dan cara yang lain agar mengena bisikan hati generasi milenial. (redaksibisniswisata@gmail.com)

Endy Poerwanto