Wisatawan masih enggan traveling ke luar ngeri (foto: skift)
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Industri perjalanan dan pariwisata belum beranjak membaik karena tingkat keengganan orang untuk bepergian masih tinggi. Setidaknya itulah kesimpulan studi terkini yang dilakukan Skift.
Sejak Maret 2020 saat pandemi COVID-19 mulai menyeruak, seluruh perjalanan tiba-tiba terhenti. Penyebabnya karena negara hampir di seluruh dunia menutup perbatasan demi mencegah penyebaran virus corona. Hingga saat ini pun tak ada yang tahu pasti kapan orang akan merasa nyaman dan yakin untuk kembali bepergian, terutama ke luar ngeri.
Skift mensurvei lebih dari 1.000 eksekutif di industri perjalanan yang berpartisipasi dalam Forum Global Skift. Sebagian besar responden atau 87% mengatakan belum akan bepergian ke luar negeri, setidaknya hingga akhir tahun. Meski demikian, ada 42% partisipan yang menyatakan akan keluar traveling meski hanya di dalam negeri.
Para eksekutif ini juga memercayai bahwa keadaan sulit ini hanya sementara. Hampir setengah atau 49% responden yakin bahwa dalam 18 hingga 24 bulan industri pariwisata akan kembali ke keadaan sebelum krisis.
Faktanya, 57% peserta survei yang merupakan para pemimpin di perusahaan travel mengatakan mereka tengah merencanakan perjalanan untuk konsumen yang akan bepergian pada 2021.
Sementara itu lebih dari setengah menyatakan optimis pemulihan perjalanan akan terjadi dan keadaan akan berangsur membaik hingga 2022.
Meski mereka optimis bahwa pemulihan akan terjadi, pertanyaannya kemudian seberapa cepat proses itu berlangsung. Mereka mengatakan semua tergantung pada bagaimana tingkat penyebaran virus Corona di dunia. Pada akhirnya itu akan memengaruhi keputusan orang untuk kembali bepergian.
Alasan orang untuk tidak melakukan perjalanan ke luar negeri umumnya karena takut tertular virus yang bergerak secara eksponensial itu. Survei menunjukkan 42% responden mengaku khawatir tertular virus yang menyerang saluran pernafasan itu, sedangkan 24% lainnya khawatir akan kesulitan kembali pulang dan terjebak di negara orang.
Sejauh ini para pelaku di industri travel & tourism (perjalanan dan pariwisata) telah mengambil sejumlah langkah untuk meyakinkan konsumen kembali bepergian. Antara lain, dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat, mengurangi kapasitas penerbangan, memberlakukan aturan jarak sosial, dan menerapkan teknologi minim kontak.
Survei menunjukkan ada dua alasan utama mengapa masyarakat belum mau melakukan perjalanan di tengah pandemi, yakni takut tertular virus Corona (55%) dan tidak mau direpotkan oleh hal-hal terkait aturan karantina atau sejumlah pembatasan (43%).
Apakah segala langkah yang diambil perusahaan mampu ‘merayu’ pelanggan untuk bepergian di tengah pandemi?
Nyatanya, hasil survei menunjukkan hanya 17% perusahaan perjalanan yang menganggap test virus Corona sebagai prioritas utama syarat perjalanan. Padahal menurut pakar, jika lebih banyak rapid test dilakukan, pemulihan perjalanan akan semakin cepat terjadi.
Sebagian responden atau 50% menyatakan lebih mengutamakan penerapan protokol kesehatan yang ketat; 33% memilih menerapkan kebijakan jaga jarak sosial, misalnya aturan minim kontak saat check-in dan pengurangan kapasitas kursi penumpang dalam pesawat.
Tetapi yang pasti, sebagian besar responden atau 83% sepakat bahwa transformasi digital sangat penting. COVID-19 terbukti telah mempercepat proses digitalisasi di industri perjalanan dan pariwisata.Teknologi contactless menjadi sesuatu yang kini lebih diinginkan banyak perusahaan ketimbang di era sebelum pandemi.