TERIAKAN para pelaku industri pariwisata yang paling terpuruk bisnisnya di seluruh dunia makin keras. Komite Krisis Pariwisata Global UNWTO malah meminta pemerintah terutama negara-negara anggotanya jangan cuma mengobral kata-kata, tapi langsung ambil langkah pengamanan dengan cepat untuk menyelamatkan pariwisata yang menjadi tulang punggung perekonomian dunia.
Rupanya bukan para pekerja pariwisata di Indonesia saja yang gemes tidak bisa mengakses pendaftaran kartu Pra Kerja dan bantuan tunai langsung yang belum juga turun. Organisasi Badan Pariwisata Dunia di bawah PBB itu agaknya heran masih banyak negara yang sebatas diskusi terus dan terpaku pada Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, sedangkan Gugus Tugas Penanganan Ekonomi terabaikan.
Padahal dampak ekonomi maupun dampak sosial yang mengancam seharusnya juga ditangani secara pararel. Di Indonesia kini juga sudah ada warga Serang. Banten yang meninggal karena kelaparan. Beruntunglah warga jiran seperi Singapura yang bisa mendapat bantuan negara mencapai Rp 6,7 juta/ orang untuk bertahan hidup di tengah wabah yang mengglobal.
Omdo alias omong doang ternyata bukan jadi isu di tingkat warga saja. Nun di maskas UNWTO di Madrid, Spanyol, Zurab Pololikashvili, Sekretaris Jenderal UNWTO mengatakan kepada para pemimpin dunia bahwa obral kata alias ngomong doang tidak bisa menyelamatkan jutaan pekerjaan yang hilang akibat virus corona ( Covid-19) ini.
“Kata-kata saja dan gerak tubuh yang baik tidak akan cukup melindungi potensi kehilangan jutaan pekerjaan dari orang-orang yang hidupnya tergantung pada sektor pariwisata. Kami meminta pariwisata sekarang diberi dukungan yang tepat agar bisa memimpin upaya pemulihan,”
Di lain kesempatan Zurab Pololikashvili mengingatkan pemerintah yang terdampak Covid-19 cepat bangkit ( action) karena memulai tindakan nyata adalah hal yang penting agar dapat menghadapi tantangan ini bersama.
Dalam pertemuan daring ketiga Komite Krisis UNWTO pekan lalu, dia mendesak negara anggota untuk meningkatkan tekanan pada para pemimpin dunia guna memikirkan kembali kebijakan pajak, ketenagakerjaan dan lainnya yang berkaitan dengan pariwisata agar bisnis bisa bertahan dan mendorong upaya pemulihan yang lebih luas.
UNWTO mencatat laporan pembatasan perjalanan mencapai 96% dari semua tujuan di seluruh dunia baik yang menerapkan pembatasan penuh atau sebagian sejak akhir Januari. Akibatnya disektor ekonomi menjadi sangat parah karena tidak ada lagi pergerakan orang maupun bisnis.
Pololikashvili juga menyerukan kepada pemerintah untuk mencabut pembatasan seperti itu segera setelah aman. Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat memperoleh manfaat ekonomi dan sosial yang dibawa oleh aktivitas pariwisata.
Minggu ini dua acara webinar Zoom yang saya ikuti menghadirkan tokoh dalam dan luar negri juga menyoroti kondisi para pelaku pariwisata yang sekarat karena pandemi global Covid-19. Malapetaka yang belum pernah terjadi dan melumpuhkan perekonomian global ini harus disikapi dengan cepat.
Wakil Menteri Pariwisata RI di era Presiden SBY, Sapta Nirwandar menjadi moderator bahas tema Facing the Impact of Covid 19 and a Glimmer of Hope for the Tourism Industry, Rabu, 22 April lalu jam 16.00-18.00 waktu Jakarta.
Nara sumbernya adalah Sandra Cavao, Chief of Tourism Market Intelligence and Competitiveness, UN-WTO. Selain itu juga ada Giri Adnyani, Sesmen Parekraf dan Reem El Shafaki , Senior Associate, DinarStandard berbasis di AS.
Masih ada Ekaterina Kamalova, Program Director of Tatarstan Investment Development Agency yang juga Secretary of International economic summit “Russia-Islamic world: KazanSummit” Organizing Committee dan bintang tamu mantan Sekjen United Nation World Tourism Organitation (UNWTO) Thalib Rifai.
Empat nara sumber lainnya dari dalam negri adalah Hariyadi Sukamdani, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia ( PHRI) Chairman of PHRI (Indonesian Hotel and Restaurant Association), Denon B. Prawiraatmadja, Ketua Indonesia National Air Carriers Association (INACA).
Ada pengusaha travel Budi Tirtawisata, CEO of Panorama Group Tourism and Hospitality serta IB. Agung Partha Adnyana Ketua Bali Tourism Board/ GIPI Bali yang juga berpartisipasi pada webinar ini.
Sudah bisa ditebak, cerita dari AS, Eropa, Asia Pacifik termasuk Indonesia prinsipnya semua fokus pada wabah Covid-19 dan mengikuti standar protokol kesehatan World Health Organization ( WHO). Padahal semua kebijakan yang diambil juga punya dampak ekonomi dan sosial yang besar.
” Saat wabah, memang negara yang harus pro-aktif karena rekomendasi-rekomendasi sudah tersedia bahkan langkah-langkah siapa melakukan apa sudah ada panduannya juga termasuk bagaimana harus melindungi usaha dan para pegawainya,” kata Sandra Cavao.
Dalam waktu singkat, Covid-19 telah membuat industri wisata mengalami kemunduran 5-7 tahun ke belakang, kunjungan wisatawan dunia anjlok 30% dan kehilangan penerimaan US$ 250-400 milyar, atau kalau dari penerimaan devisa pariwisata dunia sudah hilang sepertiga dari US$ 1,5 triliun penerimaan di saat normal.
Data WHO terakhir 26 April 2020 ada 213 negara yang terpapar pandemi Covid-19, kasus terkonfirmasi sebanyak 2.810.325 orang dan jumlah kematian mencapai 193.825 orang.
Di dunia ini memang pernah terjadi wabah Sars tahun 2003, krisis ekonomi dunia tahun 2009, tapi bukan seluruh dunia yang mengalaminya. Dari dua kasus itu serta pengalaman menunjukkan ternyata industri pariwisata yang memulihkan kembali perekonomian dunia dalam 10 bulan, kata Sandra Cavao.
Bisa dimaklumi jika tingkat negara hingga individu masih tergagap-gagap menghadapi situasi saat ini, namun negara memang harus pro-aktif untuk gerak cepat membuat jaring pengaman ekonomi bentuk Gugus Kendali Ekonomi misalnya. Maklum di situasi ini mafia bermain, sebaliknya keran impor kenceng sampai-sampai gula sempat hilang dari peredaran.
Tak heran, mantan Sekjen UNWTO, Thalib Rifai yang beberapa kali berkunjung ke Indonesia saat webinar mengingatkan selamatkan nyawa orang juga selamatkan perekonomian sehingga aktivitas bisnis bisa jalan.
Dia juga minta pemerintah dimanapun jangan kelamaan mikir, 10% penghasilan negara harusnya langsung disisihkan negara untuk program pemulihan dari wabah pandemi global Covid-19 ini. Masyarakat harus yakin dalam situasi ” perang” ini mereka akan tetap aman karena adanya keberpihakan negara pada nasib rakyatnya.
Benar juga nih mister Thalib yang cinta Indonesia dan cinta produk batik.Tapi sayangnya di Indonesia para wakil rakyat yang dipilih rakyat dan punya komisi-komisi dari komisi I hingga XI. Mereka malah sibuk mengumpulkan sumbangan untuk melawan Covid-19.
Tiap komisi mestinya memikirkan uang negara dari mana saja yang bisa dialihkan untuk mengamankan perut rakyat, ketahanan pangan terjaga, ekonomi bisa jalan terus dan tugas lainnya sesuai tugas dan wewenang yaitu menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat.
Di Indonesia, Haryadi Sukamdani, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia ( PHRI) menjelaskan bahwa sejak teridentifikasi virus di awal Maret maka data 6 April sudah 430.000 karyawan hotel di rumahkan, 157.000 karyawan restoran mengalami nasib sama, 180 obyek wisata di tutup dan 232 desa wisata di seluruh Indonesia juga tutup.
Belum lagi terhitung supir angkutan wisata, pegawai travel agent, guide, pedagang souvenir dan semua usaha yang berhubungan dengan aktivitas wisatawan domestik maupun mancanegara.
Hari berikutnya, saya berpartisipasi pada Webinar MarkPlus Industry Roundtable Tourism and Hospitality Perspective. Kali ini temanya Surviving The Covid-19 Preparing The Post, Tourism & Hospitality Industry Perspective yang diselenggarakan pada siang ini, Jumat, 24 April 2020 pada jam 13:30-15:30 WIB.
Pembicaranya selain Hermawan Kartajaya: Founder & Chairman MarkPlus Tourism, Ni Wayan Giri Adnyani: Sekretaris Kementerian Parekraf. Dr. Ir. Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, M.Si.: Wakil Gubernur Bali dan Zainal Arifin, S.IP: Bupati Magelang.
Di sesi dua ada Didien Junaedy: Ketua Umum GIPI, Ida Bagus Okanentru Agung Partha A, Ketua BTB, Indah Juanita, Direktur Utama Badan Otorita Borobudur, Denon B. Prawiraatmadja: Ketua Umum INACA, Dr. Nunung Rusmiati M.Si.: Ketua Umum ASITA. Dr. Drs. A. J. Bambang Soetanto, MM.: Ketua Umum PUTRI dan Maulana Yusran: Sekretaris Jenderal PHRI
“Bali menggantungkan sekitar 60% pendapatannya pada sektor pariwisata. Jadi, tidak ada satu pun orang di sini yang tidak berkaitan dengan pariwisata,” ujar Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati.
Kegiatan pariwisata memiliki multiplier yang luas dan ketika bicara soal pertaninan, hasil pertanian di Bali banyak yang terserap ke bisnis pariwisata. Salah satunya dengan didistribusikan ke hotel-hotel. Namun, kini petani juga merana karena penjualan lebih dari 140 ribu kamar hotel di Bali pun mengalami penurunan.
Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali, Ida Bagus Oka Mentru Agung Partha, menambahkan sektor pariwisata Bali berpotensi merugi hingga US$ 9 miliar atau setara Rp 139 triliun (kurs Rp 15.500).
” Potential loss 2020 kurang lebih US$ 9 miliar. Yang paling besar adalah wisata tirta karena kebanyakan wisatawan China, Australia melakukan aktivitas wisata tirta hampir setiap hari atau 9.000-10.000per tahun,” ungkapnya.
Agung menjelaskan, anjloknya angka kunjungan wisatawan terus terjadi hingga per 13 April lalu, sektor pariwisata Bali turun hingga minus 93,24 %.”April ini kita sudah mencapai ke titik yang rendah dari bulan-bulan sebelumnya,”ucapnya.
Nasib industri penerbangan juga menyedihkan dimana 80% turis datang ke Indonesia dengan penerbangan. Dalam tiga bulan terakhir maskapai nasional merugi hingga Rp 2,2 triliun baik dari penerbangan domestik dan internasional, kata Denon Prawiraatmadja, Ketua Umum INACA.
Indonesia National Air Carriers Association (INACA) yang dipimpinnya mengalami total kerugian US$ 812 juta dalam 3 bulan untuk market domestik dan US$ 749 juta atau 1,2 triliun untuk internasional,” ungkapnya.
Kini disetopnya penerbangan penumpang hingga Juni 2020 membuat para maskapai harus merogoh kocek dalam-dalam lagi untuk menanggung beban biaya parkir pesawat mereka di bandara-bandara.
Hermawan Kertajaya, Founder & Chairman MarkPlus, mengatakan faktanya sektor pariwisata adalah sektor paling terdampak pandemi dan memiliki imbas kepada sektor lain. “Sekarang semua sadar ketika pariwisata stop, ekonomi juga stop. Semua baru sadar bahwa pariwisata adalah tulang punggung ekonomi. COVID-19 ini menarik, karena pariwisata tak akan pernah sama lagi,” kata Hermawan.
Sama seperti membaca up date resmi virus corona dari pemerintah yang tiap hari berubah, begitu pula kabar dari kalangan asosiasi pariwisata dan industri pendukung lainnya, tidak akan pernah sama lagi.
Tiba-tiba jadi ingat Doris Day, penyanyi legendaris Amerika Serikat yang tutup usai karena penyakit pneumonia, mirip-mirip penyakit Covid-19 yang menyerang paru-paru disebabkan oleh virus. Lirik lagu Que Sera Sera yang dinyanyikannya itu yang jadi makin bermakna.
Que sera, sera, what will be, will be ?. Que sera, sera, Whatever will be, will be , Apapun yang kan terjadi, terjadilah.
The future’s not ours to see. Kita tak tahu yang kan terjadi di masa depan. Que sera, sera, What will be, will be, Apapun yang kan terjadi, terjadilah atau kita bisa juga jangan menyerah begitu tapi what must we do now to make a better tomorrow ?.