BANJARMASIN, bisniswisata.co.id: Baru lima menit keluar dari area Hotel Aria Barito, Banjarmasin sudah tampak obyek wisata yang akan kami tuju sore itu yaitu Kampung Ketupat. Nama kampung ini sesuai dengan warganya yang sehari-hari menjual ketupat untuk berbagai kebutuhan acara masyarakat.
Ketupat ada yang dijual di depan rumah, warung dan terutama pasokannya untuk memenuhi kebutuhan warga di kota Banjarmasin termasuk ke pasar-pasar tradisional dan bukan hanya tersedia pada Lebaran Idul Fitri atau Lebaran Haji tetapi untuk kebutuhan sehari-hari.
Dari atas jembatan terlihat ikon menara dari susunan bambu yang unik menandai penataan kawasan bantaran Sungai Martapura, persisnya di Kawasan Kuliner Mandiri (KWM) Kampung Ketupat, Kelurahan Sungai Baru, Banjarmasin Tengah.
Dari seberang sungai pula kawasan itu semakin menarik dilihat. Pasalnya bangunan bambu yang artistik itu tampak menyolok dan memanjakan mata masyarakat yang tengah lalu lalang di sekitarnya. Matahari sore membuatnya menjadi lebih menarik perhatian.
Pemkot Banjarmasin sejak 2022 telah merevitalisasi bantaran sungai itu dengan membangun obyek wisata kuliner dan budaya di atas lahan 7000 meter persegi. Sebagai obyek wisata kuliner di tengah kota yang begitu dekat dengan hotel selama kami menginap di Banjarmasin membuat waktu tidak terbuang di perjalanan.
Maklum di ibukota provinsi lainpun jarang bisa ditemukan destinasi wisata yang bisa ditempuh kurang dari satu jam dari tengah kota. Bahkan jarak satu destinasi ke destinasi lainnya bisa 2-3 jam sehingga menguras waktu yang sempit saat berkunjung ke daerah.

Bersama driver Syamsudin dari Soulproduction, penyedia jasa event organizer dan transportasi di kota ini, saya meluncur bersama Rita Sri Hastuti, jurnalis senior yang menjadi Ketua Departemen Pemberdayaan Perempuan di PWI Pusat. Kami tiba di lokasi yang mengusung konsep arsitektur hijau (green architecture).
Menurut Syamsudin penggunaan bambu ini pertama kali di Banjarmasin dan seingatnya baru diterapkan dalam ikon Kampung Ketupat itu sebagai konsep arsitektur hijau (green architecture) yang pertama kali pula dalam penataan kawasan bantaran sungai itu. Bangunan itu kerap disebut juga tugu Ketupat meskipun bentuknya bukan ketupat.
Bangunan yang didesain oleh Nugroho, Arsitek PT Juri Supervisi Indonesia dari Jogyakarta ini merupakan sustainable architecture (arsitektur berkelanjutan), sehingga menjadi warna baru dalam penataan kawasan urban atau perkotaan.
Sayangnya area parkirnya tidak terlalu luas namun ikon baru di kampung Ketupat di Jalan Sungai Baru ini menggunakan bahan bambu apus yang sebagian didatangkan dari Yogyakarta dan sebagian lainnya dari Loksado yang dikenal juga sebagai tujuan wisata bambu rafting.
Begitu masuk sedikitnya ada 17 bangunan stand (kios) dari bambu yang kontan mengingatkan saya pada Arashiyama, yaitu sebuah kawasan hutan bambu di Kyoto, Jepang dan di Desa Penglipuran Bali. Padahal di sana tidak ada stand bambu. Tapi di Kampung Ketupat ini ternyata bangunan utama, pagar, gazebo hingga ikon instalasi seni dengan model menara semuanya dari susunan bambu.
Janji jumpa dengan DR dr Siti Wasilah Dosen FK Universitas Lambung Mangkurat di tempat ini saya manfaatkan untuk melongok ikon bambu yang sekaligus menjadi Amfiteater Kampung Ketupat. Ibu Siti Wasilah yang banyak membina usaha UMKM ini menjadi salah satu nara sumber seminar nasional sambut Hari Pers Nasional di kota Banjarmasin pada 7 Febuari lalu.
Rupanya di bawah amfiteater atau instalasi seni ini bisa dimanfaatkan untuk pertunjukan budaya, musik bahkan teater. Sejumlah anak-anak tengah berlatih teater sementara di gubuk-gubuk gazebo sekitar amfiteater sejumlah remaja tengah asyik belajar dan berlatih pengucapan kata kerja dalam bahasa Inggris.
Di pojok kanan depan bangunan amfiteater ada latihan membuat kulit ketupat yang dipraktekkan oleh warga Kampung Ketupat di sekitar dan di kerumuni anak-anak muda yang langsung ikut mencoba membuat kulit ketupat dari janur pohon kelapa itu.
Jujur, duduk dibawah ikon bambu dan mata memandang luas ke arah sungai memang asyik, karya seni yang tak biasa dan membuat kesan natural sangat menonjol jadi penampilan yang eksotik. Di ruang terbuka ini saya juga jadi kagum karena susunan bambu terkesan kokoh dan pastinya akan mampu bertahan hingga bertahun.
Setelah berkeliling kami langsung duduk di bangku putih, meja hijau terbuat dari semen. Bangku terdekat dengan amfiteater ini berhadapan dengan stand ice cream dan langsung memesannya.

Tak lama kemudian ibu Siti Wasilah bersama keluarga langsung bergabung. Sang suami Ibnu Sina adalah mantan Walikota Banjarmasin dua periode yang juga tokoh ESQ Banjarmasin. Empat jagoannya juga ikut serta dan yang nomor dua tengah berulang tahun hari itu dirayakan di rumah banjar di tengah lokasi kuliner ini.
Putra sulung mereka Jundi Muhammad sempat studi di sebuah perguruan tinggi di Turki, namun kemudian bergabung ke ESQ Business School yang sekarang bernama UAG atau Universitas Ary Ginanjar di Menara 165 Jakarta.
Anak kedua yang tengah berulangtahun adalah Syarif Hidayatullah yang mengenyam pendidikan ilmu tahfidz Alquran.Anak ke tiga bernama Muhammad Al-Fatih dan si bungsu Royyan Fathurrobani. Hebatnya ke empat anaknya ini semua belajar tahfidz Alquran dengan kemauan sendiri.
Sambil menikmati berbagai makanan khas Banjar, kami bisa menyimak cerita kehadiran ikon wisata kuliner yang dinamakan sesuai nama kampung Ketupat di sisi sungai Martapura itu. Kegiatannya sempat terhenti karena semula pengunjung dikenakan tarif masuk. Pada pertengahan Januari 2025 lokasi kuliner ini dibuka kembali dimana pengunjung tidak perlu membayar tiket masuk.
Kembali ke soal kuliner, lima piring tersaji dengan berbagai makanan khas tradisional seperti ipau, sayur ketupat dan kue pundut berbalut daun pisang tersedia di meja. Ada juga kue seperti kue lupis dan serabi sehingga mulut terus bekerja tidak berhenti makan.
Padahal di Kedai Amoy, satu dari 17 deretan stand bambu yang ada masih banyak lagi menyajikan masakan Banjar seperti Patin Bakar, Nila bakar, Peda bakar, Ayam bakar lalapan, sambal goreng udang sungai, Telang asam manis. sayur Gangan dan lainnya.
Tak heran Siti Wasilah mempromosikan Kampung Ketupat ini karena selain kuliner, mencari makanan kekinian seperti sushi dan oleh-oleh Banjar juga sudah tersedia di sini bahkan kain sasirangan yang dimodifikasi dengan ecoprint dengan warna-warna pastel.
Untuk ecoprint karya Sandy Agustinus, tokoh pemuda pelopor yang juga desainer kain Sasirangan, kain tradisional khas Banjarmasin ini bisa dijahit menjadi beragam kebutuhan busana hingga seragam atau cukup diikat-ikat bagian ujungnya menjadi outer, celana dan lain-lainnya.

Sandy bersama timnya juga mengajak masyarakat belajar langsung tekhnik ecoprint yang menjadi satu dengan motif Sasirangan menjadi karya kreatif memakai bahan pewarna alami yang sudah mendunia dengan fashion show di Italia karena terpilih dalam program A Thousand Masterpiece of Art di Milan, Italia tahun 2023.
Dengan kondisi perut kenyang kami masuk ke dalam rumah Banjar yang sejuk ber AC dimana setengah dindingnya dari kaca sehingga meski berada di dalam ruangan untuk acara doa bersama, tiup lilin untuk yang berulang tahun dan menikmati sajian sushi, aktivitas di ikon Kampung Ketupat tetap terlihat makin banyak pengunjung datang.
Suara penyanyi dari komunitas Nanang dan Galuh Banjarmasin atau seperti Abang dan None Jakarta bergantian menghibur pengunjung. Saya terkejut ketika mendengar lagu Banjar dinyanyikan oleh Acil pantun Pasar Terapung yang viral di medsos. “ Sehari- hari ibu Arbainah ini memang berjualan di pasar terapung tapi kalau week-end sering menyanyi di sini meramaikan Kampung Ketupat,” kata Siti Wasilah mengenai wanita penyanyi itu.
Dia mengaku membuka peluang bagi generasi muda dan anggota masyarakat lainnya terutama kaum wanita untuk terus mengasah ketrampilan di bidang ekonomi kreatif, seni dan budaya sehingga Banjarmasin yang dijuluki kota seribu sungai ini rakyatnya sejahtera.
Menjelang magrib, saat lampu-lampu mulai menyala menandai pergantian siang ke malam pemandangannya sungguh cantik apalagi cahaya yang muncul diantara rimbunnya pepohonan.
Waktunya memang kembali ke hotel untuk beribadah. Alhamdulilah kunjungan ke Kampung Ketupat menjadi penyegar otak maupun kepenatan setelah empat hari kerja yang padat di event nasional.
Banjarmasin yang kini memiliki walikota baru semoga mampu mengembangkan halal tourism yang menjadi tren dunia. Tujuan wisata halal bukan hanya Aceh, Lombok dan Jakarta, tetapi Banjarmasin dan kota-kita sekitarnya seperti Banjar Baru, Martapura juga memiliki keunikan dan banyak festival.
Apalagi budaya dan tradisi orang Banjar adalah hasil asimilasi selama berabad-abad. Budaya tersebut dipengaruhi oleh kepercayaan Islam yang dibawa oleh pedagang Arab dan Persia.
Hal ini dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari masyarakat Banjar khususnya dalam bentuk kesenian, tarian, musik, pakaian, permainan dan upacara tradisional.
Adat istiadat Banjar yang melekat dengan kehidupan sosial warga masyarakat yang bercirikan Islam patut terus dijaga dan dipertahankan menjadi potensi besar wisata halal ( halal tourism).