DENPASAR, bisniswisata.co.id: Tudingan kunjungan wisatawan mancanegara (Wisman) asal China terkait dengan praktik pemasaran “zero dollar tour”, kini semakin merebak di Bali. Kondisi ini membuat gerah pemerintah daerah, legislatif, hingga pelaku pariwisata di Pulau Dewata.
Pasalnya, praktik “zero dollar tour” ini merujuk kedatangan turis Tiongkok ke Bali, dengan membeli paket wisata melalui agen perjalanan wisata di negara mereka dengan harga sangat murah. Malah, harga paketnya disinyalir hanya senilai biaya tiket perjalanan Denpasar-China.
Meski selintas wisatawan yang membeli paket ini diuntungkan, namun dalam praktiknya tidak benar-benar untung. Selama di Bali, mereka diwajibkan mengikuti jadwal tur yang telah ditetapkan oleh agen wisatanya. Agen wisata kemudian menerapkan praktek monopoli, yakni hanya membawa wisatawan berbelanja di tempat-tempat yang telah ditentukan.
Tempat berbelanja itu, sudah terafiliasi dengan agen wisata yang menawarkan paket “zero dollar tour”. Ternyata, harga barang-barang yang ditawarkan jauh lebih tinggi, lebih mahal dan dengan metode pembayaran non tunai. Hal ini menyebabkan wisatawan mengalami kerugian.
Begitu juga dngan destinasi wisata maupun negara yang dikunjungi, pihak-pihak ini tidak mendapatkan pendapatan karena semua transaksi terhubung secara non tunai menggunakan aplikasi dari China.
Padahal, jumlah turis China yang datang ke Indonesia sudah mencapai 1,9 juta orang pada tahun 2017. Jumlaj ini mengalami peningkatan secara signifikan dibandingkan realisasi pada 2009 yang hanya 395.000 wisatawan negari Panda. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1, 3 juta wisatawan di antaranya berkunjung ke Bali.
Nyatanya, hasil survei Perwakilan Bank Indonesia (BI) Bali pada 2018 menunjukkan tingkat pengeluaran turis asal China ke Bali paling rendah dibandingkan turis negara lain dari Jepang, AS, maupun Eropa. Bahkan, jika dibandingkan dengan turis domestik sekalipun pengeluarannya masih lebih rendah.
Pengeluaran wisatawan mancanegara (wisman) China di Indonesia rata-rata hanya US$965 per orang per sekali kunjungan. Tingkat pengeluaran itu lebih rendah dibanding pengeluaran wisman China di Thailand yang mencapai US$2.026 per orang pada 2017.
Angka itu juga masih lebih rendah dibandingkan rata-rata pengeluaran wisman di Indonesia yang sebesar US$1.170 per orang. Jika dikonversi ke rupiah, tingkat pengeluaran turis dari salah satu negara terpadat di dunia itu setara dengan Rp9,66 juta per sekali kunjungan.
Pengeluaran turis dari Jepang mencapai Rp11,19 juta per orang, turis Eropa Rp15,7 juta per orang, dan turis Australia Rp13,4 juta per orang. Hal ini menyebabkan adanya lost opportunity sekitar US$205 per wisman.
“Jika potensi dikalikan total wisman Tiongkok yang datang ke Indonesia sepanjang periode 2014-2017, total lost opportunity mencapai US$260 juta,” ungkap Kepala Perwakilan BI Bali Causa Iman Karana, seperti dilansir laman Bisnis.com, Senin (22/10/2018). Menyedihkan memang. (EP)