REVIEW

Nostalgia Gedung Kejaksaan Agung RI Kebayoran Baru  

Tahun 1967 Gedung Kejaksaan Agung sempat jadi landmark Kebayoran Baru. ( Foto: Tempo.co)

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Sabtu selepas Magrib, 22 Agustus 2020, sebuah stasiun televisi swasta nasional memberitakan, Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) terbakar. 

Kobaran api dengan cepat menghanguskan isi gedung tu berbentuk kotak segi empat panjang di Jalan Sultan Hasanuddin No.1, RT.11/RW.7, Kelurahan Kramat Pela, Kecamatan. Kebayoran Baru, Jakarta.

Peristiwa yang mengejutkan publik itu segera melontarkan ingatan saya ke tahun 1967, ketika saya bersama teman-teman sebaya kerap memanjat naik ke batang bagian teratas sebuah pokok pohon karet (Havea braziliensis) hanya untuk bisa melihat komplek yang terletak persis di sebelah Gedung Kejagung. 

Main di kebon memang favorit,  saya dan teman -teman yang suka ngebolang saat itu. Kebun karet itu terletak di Pondok Pinang, sekitar 7 KM di sebelah barat laut Gedung Kejagung.

Kebun karet tempat kami biasa bermain, juga banyak ditumbuhi pohon liar, antara lain jenis pohon bunga bangkai (Amarpophalus sp.) yang umum dikenal sebagai pohon suweg ataupun iles-iles. 

Kami biasa mencari pohon ini untuk diambil umbinya. Ada abang-abang yang biasa datang dan membeli umbi suweg dan iles-iles. Konon umbi itu akan diekspor ke Jepang, untuk diolah jadi tepung konyaku.

Dalam surat-surat resmi dan pembicaraan sehari-hari, kawasan yang kini ditulis dan disebut KebayOran Lama, masih ditulis dan disebut orang sebagai KebayUran Lama. Demikian pula KebayOran Baru, masih biasa ditulis dan disebut KebayUran Baru. Asal katanya memang dari toponimi pohon batur bukan pohon bayor

Pondok Pinang di zaman itu masih merupakan kampung pung…! Warganya masih kerap dilecehkan sebagai orang udik (wong ndeso, dalam istilah Jawa) oleh warga Jakarta lainnya di bagian utara dan beken disebut orang kota

Bagian Pondok Pinang yang kini jadi kawasan super modern bernama Pondok Indah belum lahir. Bahkan kawasan Bintaro Jaya masih merupakan wilayah resmi Tangerang, Jawa Barat. 

Bicara soal uang, suatu kali kami terlibat obrolan bahwa Indonesia sudah sejak lama punya percetakan uang sendiri. Uang itu dicetak di Perkeba (Percetakan Kebayoran), yang resminya bernama Peruri alias Percetakan Uang Republik Indonesia. 

“Perkeba atau Peruri terletak perempatan lampu merah CSW, Kebayoran Baru, persis di seberang Gedung Kejagung,” ungkap saya. 

Mendengar saya menyebut Gedung Kejagung, mendadak seorang teman yang belum pernah lihat gedung Peruri langsung nyeletuk, “Kalo begitu, sekarang kita panjat pohon karet, nyoook…! Kita lihat pabrik duit di samping Gedong Kejagung Yus…!” katanya. 

Kami pilih pohon karet besar dan paling tinggi di jajaran paling luar batas lor (utara) kebon. Dari bebatang di pucuk pohon karet itu, terbuka pandangan ke arah timur laut.

Pemandangannya , amparan sawah di wetan Pondok Pinang, ujung Jalan Haji Nawi (rumah pemusik Koes Bersaudara), pancang antene tinggi di komplek RRI Jalan Radio Dalam, rumah-rumah bagus di kawasan Kramat Pela, dan… gedung bangunan segiempat panjang…

“Itu Gedung Kejagung. Berarti komplek perumahan dan banguan agak gede di seberangnya itu Perkeba atau Peruri, ya…?” kata teman saya, gembira. 

Saya cuma mengangguk, bengong dan takjub, bahwa dari pucuk pohon karet di kampung saya, Pondok Pinang bisa melihat Gedung Kejagung terlihat jelas, dan saat itu layak disebut landmark Kota Kebayoran Baru.

Bukan yang tertinggi

Gedung Kejagung bukan gedung tertinggi di Kebayoran Baru. Saat itu ada gedung (flat pertama di Indonesia) yang lebih tinggi, yakni asrama atau mess mahasiswa kepolisian PTIK di Jl. Tirtayasa No 6 RT 009 / 04 Kelurahan. Melawai. 

Tapi posisinya yang menonjol di kawasan yang relatif masih kosong, serupa ‘kotak besar’ berlantai 6, pantas menjadikannya untuk disebut sebagai landmark Kota Kebayoran Baru.

Dari ketinggian cabang pohon karet tempat saya berdiri memantau saat itu, kawasan sekitar Gedung Kejakgung memang masih melompong. Komplek Gedung ASEAN Secretariat masih berupa lahan kosong.

Disini dulu  tempat parkir traktor dan alat-alat berat milik CSW (Centrale Stichting Wederopbouw) perusahaan Belanda yang jadi pelaksana pembangunan kota satelit Kebayoran Baru. 

Gedung Bundar yang jadi ciri khas Gedung Kejagung belum ada. Gelanggang Remaja Jakarta Selatan (GRJS) dibangun pada 25 Juni 1969 dan diresmikan tanggal 16 April 1970. 

SMA Negeri 70 Jakarta (gabungan SMAN IX Jakarta dan SMAN XI Jakarta) juga masih merupakan sekolah filial dari SMA Negeri 6 Jakarta yang masih menempati ujung Jl Bulungan yang kini jadi lokasi GRJS. SMAN 6 Jakarta belum di Jl Mahakam.

Kantor Listrik Kebayoran di Perempatan CSW juga masih berupa deret rumah tinggal isntansi PLN, dan Kolam Renang Bulungan/GRJS serta bangunan lain di seberang utara Gedung Kejagung masih berupa lapangan sepakbola. Alhasil, dengan areal sekitar yang relatif masih kosong, Gedung Kejagung Memang jadi tampak menonjol.

Nasib gedung Kejaksaan Agung kini ketika dilalap api. ( Foto: Republika)

Cagar budaya

Gedung Kejagung pantas disebut sebagai cagar budaya, karena ia merupakan bagian dari ikon-ikon kota satelit Kebayoran Baru, wilayah pemukiman baru yang dirancang setelah kemerdekaan Indonesia, seperti juga daerah Pejompongan.

Kebutuhan pemukiman cukup mendesak karena Jakarta memerlukan banyak fasilitas publik sebagai pusat pemerintahan Indonesia.

Kebayoran Baru dirancang oleh H Moh. Soesilo pada tahun 1948. Soesilo adalah murid Thomas Karsten, arsitek Hindia Belanda yang ikut merancang Bandung, Malang, dan Bogor di masa kolonial. 

Konsep yang digunakan adalah “kota taman”, yang banyak dipakai para pengembangan properti modern. Dalam konsep ini, ruang terbuka hijau sebagai ruang milik publik mendapat perhatian khusus. 

Berlokasi di daerah dekat Setasiun Kebayoran di sisi timur Kali Grogol, peletakan batu pertama pada 8 Maret 1949 dan selesai pada tahun 1955, pembangunan Kebayoran Baru dilaksanakan perusahaan Belanda bernama Centrale Stichting Wederopbouw ( CSW). 

Perusahaan ini berdiri pada Agustus 1948 yang berkantor di areal yang kini dengan megah tegak berdiri komplek Gedung ASEAN Secretariat. 

Sebagai sarana pendukung untuk menghubungkan Kota Jakarta (lama) dengan Kebayoran Baru, dibangun Jl Sudirman dari daerah Dukuh Atas melintasi kawasan Setiabudi, Semanggi dan Senayan. 

Sebagai kota satelit, Kebayoran Baru juga dilenggapi berbagai sarana pendukung sebuah kota, antara lain dengan membangun gedung baru untuk Kejaksaan Agung Republik Indonesia di seberang Kantor CSW.

Peletakan batu pertama pembangunan Gedung Kejagung dilakukan oleh Jaksa Agung R Goenawan, 10 November 1961 dan diresmikan oleh Jaksa Agung Mayjen Soegih Arto pada 22 Juli 1968.

Sebagai penghormatan, patung R, Soeprapto diletakkan di depan halaman gedung utama Kejaksaan Agung. Patung ini diresmikan Soegih Arto setahun kemudian, yakni pada 22 Juli 1969.

R Soeprapto adalah priyayi keturunan Jawa yang dikenal sebagai Bapak Kejaksaan RI karena jasa-jasanya bagi Korps Adhyaksa. Jika kita menelusuri jalan setapak di depan gedung utama Kejaksaan Agung, maka kita akan menemukan patung R Soeprapto tegak kokoh dikelilingi taman.

Sebelum di Jl Hasanuddin, Kejaksaan Agung berkantor di bangunan tua peninggalan Belanda di Jalan Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat, dan masih satu atap dengan Mahkamah Agung (MA). 

Kejagung memisahkan diri sejak disahkannya UU No.15 Tahun 1961 tentang Ketentuan Pokok Kejaksaan, di masa Jaksa Agung R Goenawan, Menteri Jaksa Agung keenam periode 1959 – 1962.

Pada tahun 1968, gedung di Lapangan Banteng Timur sudah tidak lagi difungsikan sebagai kantor Kejaksaan Agung. Departemen Kejaksaan di bawah pimpinan Menteri Jaksa Agung Soegih Arto telah berpindah kantor ke Jalan Sultan Hasanuddin No.1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang dibangun di atas tanah pemerintah.

Nanun gedung itu kini kondisinya menyedihkan. Gedung Kejagung yang pernah saya ‘intai’ ketika kecil di tahun 1967, dari ketinggian ujung batang pohon karet di Pondok Pinang, sekitar 7 atau 8 Km di barat laut, nyatanya kini hangus dibakar api. Ah….! 

 

Hana Fahila