Aktivitas di museum layang-layang. ( Foto: Mina Sudarso)
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Mengelola Museum Layang-Layang merupakan kegiatan langka bukan saja di Indonesia namun juga di mancanegara. Tapi tepat pada 21 Maret 2003 berdirilah Museum Layang-layang Indonesia di bawah Yayasan Museum Layang-layang yang kini berulangtahun ke 20 tahun.
Pencetus ide dan pendiri Museum Layang-layang Indonesia di kawasan Jl H. Kamang no: 38, Pondok Labu, Jakarta adalah Endang W. Puspoyo, wanita cantik yang mendirikan pula Merindo Kites & Gallery sejak 1985 sebagai produsen sekaligus eksportir layang-layang ke mancanegara.
Menekuni hobi dan bisnis langka sudah menjadi pilihan Endang meskipun komitmen untuk mempertahankan operasional museum non profit ini tidak mudah. Tapi suka-duka dalam mengelola museum layang-layang pertama di Indonesia yang meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) ini justru selalu menjadi spirit yang tidak pernah pudar di usia senjanya.
Sejak Senin, 20 Maret 2023, di museum yang genap berusia 20 tahun ini telah diadakan berbagai kegiatan. Layaknya seorang gadis yang berulang tahun, museum pun ‘bersolek’ sejak pintu masuk hingga rumah Joglo tempat museum berada dipenuhi hiasan, begitu pula rimbunnya pohon-pohon di halaman tak luput dari keindahan.
Bukan sekedar spanduk tapi umbul-umbul segi empat, segi enam dipenuhi gambar penuh makna serta penghias langit-langit yang dari kejauhan mirip ubur-ubur berkaki panjang, berjuntai dengan warna-warna mencolok.
Di usianya kini, Endang terus kreatif dengan kegiatan ulang tahun melibatkan siswa-siswa sekolah swasta, pagelaran musik bersama musisisi tenar dan vokalis bersuara emas serta kegiatan edukasi membuat layang-layang yang rutin dilakukan dan dilombakan, membuat pecinta layang-layang dan warga sekitar museum berinteraksi dengan beragam kegiatan ulang tahun yang digelarnya.
Bagi Endang, tujuannya mendirikan Museum Layang-layang Indonesia untuk melestarikan budaya Indonesia bukan sekedar ucapan klise karena tradisi layang-layang di Indonesia layak di buat Festival Layang-layang. Apalagi setiap daerah punya cerita dan makna dibalik permainan rakyat ini bahkan kerap layang-layang menjadi bagian dalam sebuah ritual tertentu.
Seperti halnya sepak bola sebagai media permainan universal yang bisa menjadi pemersatu bangsa, maka Festival Layang-layang juga menjadi ajang fair play antar kota, antar kabupaten, antar provinsi bahkan antar negara.
Layang-layang merupakan bagian dari permainan masa kecil yang tidak hanya berfungsi sebagai permainan belaka. Sadar kah kita akan nilai edukasinya karena setiap gerak-gerik dari pemainnya dalam permainan olahraga menekankan fair play. Suatu
kesadaran yang selalu melekat, bahwa lawan bertanding adalah kawan bertanding yang diikat oleh pesaudaraan olahraga.
Jadi fair play merupakan sikap mental yang menunjukkan martabat ksatria pada olahraga. Bukankah nilai fair play melandasi pembentukan sikap, dan selanjutnya sikap menjadi landasan perilaku ?.
Sejak berdirinya museum, Endang memang fokus pada edukasi pula sehingga dia banyak membuat program seperti week-end@themuseum di Museum Layang Layang, Jakarta Selatan yang sekaligus mengimbangi keranjingan gadget pada anak.
Program ini juga bertujuan untuk menghadirkan pilihan atau alternatif menghabiskan liburan di akhir pekan dan diharapkan museum dapat menjadi pilihan tujuan kegiatan bagi anak-anak Indonesia agar mereka mengenal warisan budaya Indonesia
Program pelajar membantu sesama pelajar juga ada yaitu anak-anak sekolah membantu anak-anak autis mewarnai langit cita-citanya ( layang-layang), bermain dan berkarya bersama hingga membuat buku layang-layang yang bisa dibeli pengunjung di museum.
Di dalam museum tersebut, para pengunjung dapat melihat berbagai jenis layang-layang koleksi nasional maupun dari mancanegara yang bisa dinikmati keindahan seni dan dipelajari teknologinya.
Berbagai bangsa di dunia juga mengenal permainan layang-layang oleh karena itu dari 600 koleksi pertamanya terkumpulah layang-layang dari berbagai daerah di Indonesia maupun mancanegara seperti Chjna, Jepang, Belanda, Vietnam dan beberapa negara lainnya.
Suasana ultah Museum layang-layang dengan tumpengan, musik angklung oleh alumni SMAN VI Jakarta dan musik akustik.
Mengamati bentuk-bentuk layangan itu sendiri juga merupakan pengalaman baru karena berbagai bentuk unik seperti menyerupai naga, kapal, ikan, rumah adat daerah, burung, wajah manusia, wayang bukan sekedar bentuk segi empat belah ketupat yang dijual abang-abang saat musim layangan tiba yang kini juga sudah makin langka baik musim maupun penjualnya.
Untuk ukuran mulai dari layang-layang miniatur yang berukuran 2 sentimeter, hingga yang berukuran besar alias ukuran ‘raksasa’ yang bernama “Megaray” size 9 x 26 meter. Untuk pemecahan rekor, Museum juga pernah membuat layang-layang berbentuk diamond terbesar pada 2011 yang berbuah penghargaan dari MURI dan sebelumnya penghargaan kepariwisataan Indonesia pada 2004, yang diberikan oleh I Gede Ardika selaku Menteri Kebudayaan dan Pariwisata saat itu
“Layang-layang adalah permainan yang dikenal di seluruh dunia, akan tetapi di Indonesia memiliki ciri tersendiri dari hasil asimiliasi dengan budaya lokal sehingga layang-layang di Indonesia memiliki karakter yang khas,” ungkap Endang di sela-sela kegiatan ulang tahun Museum Layang-layang.
Sebagai contoh, ujarnya, bermain layang layang di masyarakat Kalimantan disebut dengan Badandang yang biasanya dilakukan setelah panen. Dengan layangan yang berukuran lebih dari satu meter, biasanya dilengkapi dengan bunyi-bunyian sebagai tanda keriaan pasca panen raya.
Ada juga layangan pengantin, yang diterbangkan ketika upacara adat pernikahan, sehingga penduduk sekitar bisa mengetahui bahwa ada acara pernikahan di desa tetangga ketika melihat pasangan layang-layang itu terbang di udara.
” Salah satu keunikan nelayan di Tidore, Indonesia Timur juga di Lampung serta daerah lainnya adalah menerbangkan layangan sambil memancing ikan dari atas perahu.,” kata Endang bersemangat.
Para nelayan yang menjadikan layang-layang sebagai alat untuk menangkap ikan disebut sebagai pelayang pancing. Umpan yang digunakan adalah ikan tanjan yang dikaitkan pada benang pancing yang diikat dengan simpul lasso. Sasaran tangkapnya ialah ikan ceracas atau ikan cucut yang memiliki mulut panjang dengan gigi tajam.
Ketika ikan ceracas atau ikan cucut ini memakan umpan, paruhnya yang tajam akan terjerat simpul lasso yang sudah dibuat. Konon tradisi ini yang sudah sejak tahun 1600-an dan ditemukan di berbagai daerah termasuk suku Wajo, Sulawesi.
Selain misi melestarikan budaya Indonesia, Endang dengan Yayasan Museum Layang-layang juga akan merepatriasi barang barang museum Indonesia yang selama ini berada di luar negeri agar kembali ke tanah air Indonesia, tempat selayaknya benda-benda tersebut berada.
” Ini sekaligus akan menjadi program jangka panjang dari Yayasan Bina Museum Indonesia. Kami tidak pernah berhenti berharap dan berupaya,” kata Endang W.Puspoyo menutup obrolannya. Selamat Ulang Tahun Museum Layang-layang Indonesia.