Menyana Roti Ganda di Pematangsiantar

Roti Ganda Siantar (foto: Tribunenews)

PEMATANGSIANTAR, bisniswisata.co.id: Tak lengkap rasanya jika ke Pematangsiantar, kita tak melongok toko roti Ganda yang legendaris. Hiruk-pikuk orang berbelanja di sana seolah tiada henti. Toko roti ini memang merupakan salah satu legenda kota Siantar. Yang luar biasa dari toko ini adalah: saban hari semarak. 

Di hari biasa saja sudah ramai; apalagi menjelang hari raya Idul Fitri dan Natal-Tahun Baru. Berlipat ganda pengunjungnya di masa tersebut sehingga aksi saling serobot antrian selalu terjadi sana. Suasana menjadi serba chaotic. Pengunjung yang jor-joran serta saling bersitegang merupakan potret suasana yang biasa di sana, di masa itu.

Sebenarnya dari segi rasa roti Ganda tak istimewa banget, setidaknya buat saya. Lantas mengapa tak pernah sepi? Kelebihannya memang ada. Rotinya selalu fresh from oven. Di sana kita mudah saja mendapatkan roti yang masih hangat betul karena baru meninggalkan tempat pembakaran. 

Empuk, penganan ini  tetap nikmat disantap dengan atau tanpa mentega atau selai. Selain roti kelapa, yang menjadi favorit pembeli di toko ini adalah roti tawar berbalurkan selai ekstra tebal. Mentega putih dan coklat meses antara lain kandungan selai itu. 

Sudah serba besar, murah meriah pula semua produknya. Jadi, kalangan bawah pun mampu menjangkaunya. Itulah, menurutku, resep kejayaan Ganda selama ini. Sekarang pun, setelah toko roti—termasuk yang menjual bakeri—membanyak di Siantar, Ganda masih saja berada di puncak singgasana.

Oh ya….suatu ketika pernah toko roti Ganda ramai dibicarakan di media sosial. Seseorang mem-posting status di halaman medsos. Isinya? Kekecewaan dirinya terhadap pelayan toko yang dinilainya tak ramah dan bahkan cenderung sombong. 

Prinsip ‘pembeli adalah raja atau ratu’, laksana tak berlaku di Ganda. Unek-unek tersebut kontan ditanggapi para pegiat medsos. Efek bola salju tercipta karena pengalaman pahit serupa ternyata merupakan memori kolektif banyak orang yang pernah berbelanja di sana.

Pemilik Ganda ternyata responsif. Saat cerita tak sedap dari konsumen bergaung di medsos, rupanya mereka langsung bertindak. Berita kemudian muncul di Facebook bahwa dua pelayan yang berkelakuan tak pantas itu sudah dikeluarkan dari sana. Kembali terbukti betapa dahsyat pengaruh media sosial di belahan bumi mana pun; Siantar tak terkecuali. Pemilik Ganda rupanya menyadarinya. Untunglah.

Aku termasuk penggemar yang beberapa kali kecewa berbelanja di Ganda. Tapi belakangan aku tak perlu merasa mengelus dada lagi karena sudah memiliki siasat gerilya untuk dijalankan di sana. Itulah hasil ‘berjuang’ di lokasi selama beberapa peak season.

Siasat itu begini strateginya. Di masa ramai kita janganlah—meminjam istilah suami saya—‘sok imut’ menunggu giliran dilayani petugas Ganda. Di dalam toko—berupa ruko sepetak—yang ramainya ‘minta ampun’ itu kita harus siap sikut-sikutan dengan pelanggan lain untuk mendapatkan perhatian pelayan yang jumlahnya jelas jauh lebih sedikit dari pengunjung. 

Hukum first-come first-served yang lazim berlaku di tempat lain tak laku di sini. Saat kita mengantri di depan etalase, pembeli yang lain sudah bergerilya di dapur. Jadi, agar urusan lekas beres, langsung saja menyusup ke belakang dan kalau perlu main kleim isi oven. Setelah menanyakan ke petugas apa isinya katakanlah sambil menunjuk: “Yang itu untuk aku ya,” Tidak elok tentunya dan tak etis pula sepak terjang seperti ini. Masalahnya adalah kita berada ‘di sarang’ Siantarmen.

Belakangan ini, kalau lagi ingat suasana chaotic di sana terkadang aku tak habis pikir mengapa pemilik Ganda tidak memberlakukan nomor antrian seperti di loket PLN, PAM, atau bank itu. Bukankah dengan demikian aksi saling serobot sesama konsumen tak akan terjadi lagi? 

Saat tak menemukan jawaban, skenario konspirasi pun bisa muncul di benakku. Kata ‘jangan-jangan’ berkelebat. Jangan-jangan pemilik toko roti tersebut menikmati kegaduhan musiman tersebut…. Jangan-jangan itu pembiaran dengan tujuan memperlihatkan kepada publik betapa fanatiknya konsumen mereka…..

Kalau tidak, mengapa sampai menjelang lebaran barusan pun mereka tidak mengambil langkah nyata untuk menertibkan suasana? Jangan-jangan radar emphati mereka memang sejak semula tak berfungsi…Jangan-jangan chaos itu bagian dari ritus….. Jangan-jangan…… Entahlah! Lewat tulisan ini aku ingin mendengar langsung jawaban dari pemilik toko roti Ganda sendiri.

Aku ingin atmosfir di toko roti Ganda bersahabat. Seperti di Kedai Sedap, aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu di sana. Kalau saja mungkin, seperti yang sesekali kami sekeluarga lakukan di toko roti Michelle di Bogor kotaku.

Sambil menikmati minuman ringan di bilik mengaso aku juga ingin menjajal rupa-rupa roti yang bisa kuambil langsung dari rak. Andai saja itu bisa menjadi kenyataan, sungguh ganda sedapnya…….Bukankah begitu duhai teman-teman Siantarmen yang keren-keren? 

 

 

 

Rin Hindryati