HILDA'S NOTE

Ketika Stakesholder dan Gus Menteri Meyakini "Reborn" Desa Wisata

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar yang akrab disapa Gus Menteri. (Foto: Matin/Humas Kemendes PDTT)

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Program Live-in di desa atau hidup bersama warga di desa dan mengikuti kegitan dan aktivitas masyarakat pedesan, saat ini menjadi trend bahkan menjadi program bagi pelajar, mahasiswa, komunitas, turis asing hingga menjadi kegiatan incentive bagi karyawan perusahaan.

Bagi komunitas warga senior, desa wisata juga menjadi tujuan wisata karena berkumpul bersama komunitas, mempelajari aktivitas budidaya tanaman dan menikmati alam pedesaan membuat tingkat kebahagiannya meningkat termasuk imun tubuhnya.

Program Live-in di desa seperti tanam padi, menjemur padi, memandikan kerbau, bajak sawah, berkebun, menyiangi rumput bagi orang kota menjadi kenikmatan tersendiri. Sedangkan kegiatan perkebunan seperti tanam pohon kopi, tanam palawija juga menjadi daya tarik apalagi disertai dengan mempelajari proses pembuatan dari biji menjadi bubuk kopi siap saji.

Hilda Ansariah Sabri

Aktivitas lainnya seperti kegiatan seni budaya dengan belajar menari, membatik, membuat anyaman, belajar gamelan, membuat kerajinan yang biasa dilakukan warga desa sehari-hari juga dipelajari pengunjung.

Desa menjadi tempat belajar  memasak misalnya, belajar membuat makanan, belajar membuat makanan tradisional. kegiatan peternakannya seperti budidaya ikan, beternak kambing tidak luput dari perhatian para tamu yang datang dan menginap di desa.

Malah kini berbagai perusahaan juga mengirim karyawannya ke desa untuk memperkuat kerja tim lewat berbagai kegiatan seperti fun game lomba tangkap ikan, sepak bola lumpur, tangkap bebek, fun game outbound, tracking pedesaan dan aktivitas lainnya.

Membangun kepercayaan dan kerja tim menjadi kunci dalam mengembangkan perusahaan sehingga jika 70.000 an desa di Indonesia bisa menjadi tempat belajar orang kota dampak ekonomi bergandanya akan luar biasa.

Apalagi di tengah pandemi global COVID-19, meski desa wisata kini sepi pengunjung Live In  dan seolah mati suri, namun banyak individu, komunitas bahkan perusahaan yang tetap mengagendakan untuk datang ke desa wisata.

Ary Suhandi, Direktur Indonesia Ecotourism Network ( Indecon) mengatakan desa wisata adalah salah satu bentuk pengembangan pariwisata yang berkelanjutan ( sustainable tourism) sehingga meski sekarang turis tidak datang, warga desa maupun pengelolanya tidak kelaparan karena meski selama ini banyak turis datang mereka tidak pernah meninggalkan pekerjaan di desanya.

Bagi anak milenial sekarang makin unik, makin langka kegiatan yang bisa dilakukan di desa wisata maupun daerah konservasi maka makin dicari aktivitasnya dan menjadi kemewahan tersendiri.

” Itu sebabnya kawasan konservasi seperti Raja Ampat, misalnya, menghasilkan finansial yang kuat. Oleh karena itu manajemen pengelolaan kawasannya juga harus kuat. Bahkan jangan jangan dilihat dari sisi ekonomi tapi juga ekologi,” kata Ary Suhandi dalam webinar bersama para stakesholder Raja Ampat, Rabu lalu.

” COVID-19 adalah pengingat yang luar biasa untuk umat manusia. Standar protokol di era New Normal bukan hal yang baru karena sebenarnya sudah jadi alat ukur sejak jaman dulu. Kata kuncinya adalah kebersihan,” kata Ary Suhandi.

Kalau sehat maka seseorang menjadi produktif dan dalam hal mengelola desa wisata dan melakukan pendampingan, pihaknya selalu mengingatkan untuk memperhatikan daya dukung.

“Turis yang datang ke Raja Ampat, misalnya dalam 5-6 tahun ini bablas, tidak ada kisi-kisi dan pembatasannya padahal hutannya dilindungi, kawasan lautnya daerah konservasi. Harusnya ada kuota berapa jumlah turis yang diizinkan datang sehingga tidak over turis yang malah merusak daya dukung alamnya,” tambahnya.

Pengalaman mendampingi masyarakat desa, kata, Ary, jika diberikan pencerahan dan edukasi maka masyarakat terutama di desa wisata akan paham bagaimana upaya mengatasi COVID-19, Climate Change dan pentingnya mengembangkan pariwisata berkelanjutan.

Kesadaran masyarakat desa untuk menjaga lingkungannya juga diacungi jempol oleh Mark Erdmann, Vice President Asia-Pacific Field Division Conservation International, karena ilegal fishing di kawasan konservasi justru diatasi oleh masyarakat desa di Raja Ampat.

” Jadi situasi laut akibat COVID-19 justru membaik, ikan juga berlimpah tapi malah ada para penyusup dari luar dengan ilegal fishing. Masyarakat desa akhirnya yang mengatasi para pelanggar itu,” ungkapnya. 

Dia mengungkapkan bahwa tak ada lagi hiruk pikuk wisatawan di Raja Ampat sejak pembatasan perjalanan karena Corona. Hasilnya terumbu karang dan mega fauna di Raja Ampat justru diberikan istirahat pada saat ada masa COVID-19. 

Di beberapa dive site yang dulu menjadi sangat crowded justru terumbu karang tumbuh dengan baik tanpa adanya divers atau snorkelers. “Saya pikir ini satu hal yang sangat postif, justru kita melihat bahwa konservasi laut daerah di Raja Ampat berfungsi dengan sangat baik untuk ketahanan pangan masyarakat lokal,” papar Mark.

Masyarakat desa terutama desa wisata sudah mengenal 7 unsur Sapta Pesona jauh sebelum COVID-19 hadir dimuka bumi. 7 unsur itu adalah bagaimana menerapkan 7 Sapta Pesona di desanya yaitu aman, tertip, bersih, sejuk, indah, ramah tamah dsn kenangan.

Oleh karena itu  di era New Normal ini kara Ary Suhandi, para pengelola desa wisata yang disebut Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dan asosiasi homestay mulai mendata turis yang datang ke desanya serta riwayat kunjungan.

” Data sangat penting sehingga riwayat kunjungan juga bisa untuk tracing serta lebih mudah melacak tamu sebelum ke desa sudah melakukan aktivitas wisata kemana saja di samping desa menerapkan protokol kesehatan global,” kata Ary.

Terkait dengan desa, kabar baik juga datang dari Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar yang akrab disapa Gus Menteri juga punya perhatian besar pada desa wisata terutama di daerah Terdepan, Terpencil, dan Terluar (3T).

Gus Menteri menyiapkan beberapa formula untuk menyongsong reborn ekonomi desa pasca COVID-19 seperti dikutip dari dikutip situs kemendesa.go.id. Caranya dengan memaksimalkan desa wisata, produk-produk pertanian, pemasaran online dan permodalan BUMDes.

Dia berbicara saat menjadi keynote speaker pada Webinar Nasional Pedesaan bertemakan “Mendayagunakan Modal Desa; Untuk Menggerakkan Ekonomi Nasional” yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kamis.

“Akan terjadi ledakan warga desa atau daerah-daerah desa wisata akan mendapatkan kunjungan yang cukup maksimal. Ini akan kita antisipasi dengan menggerakkan padat karya tunai desa (PKTD) untuk melakukan pemeliharaan, perawatan, dan penyempurnaan tempat-tempat wisata milik desa,” ujar Gus Menteri.

Menurut Gus Menteri, kalau hal itu sudah terjadi betul nanti, reborn-nya pasti nilai ekonomi juga perputaran ekonomi desa akan meningkat. “Ketika perputaran ekonomi di desa meningkat maka pendapatan akan naik, karena hampir 100 persen wisata desa itu di bawah naungan badan usaha milik desa (BUMDes),” sambungnya

Di samping BUMDes miliki peluang untuk mendapatkan penambahan aset berupa dana segar dari reborn wisata, lanjut Gus Menteri, BUMDes juga akan mendapatkan penambahan dari reborn produk-produk pertanian yang selama ini agak mengalami penurunan. Di sisi lain dana desa juga bisa digunakan untuk menambah modal BUMDes.

Gus Menteri mengatakan, ekonomi desa  berpeluang lebih cepat untuk melakuakan reborn, karena potensi di desa sangat luar biasa sehingga peluang reborn ekonomi desa juga akan luar biasa.

“Coba simak saja,  misalnya hari ini yang harus terus kita optimalisasi ada kelompok pertokoan di 6.809 desa, ada pasar dengan pembangunan permanen di 6.236 desa dan pasar dengan bangunan semipermanen di 8.781 desa, “

Selain itu pasar tanpa bangunan di 4.317 desa, ada hotel di 1.709 desa, penginapan di 3.429 desa, BUMDes di 50.199 desa dan yang aktif bertransaksi 37.125 BUMDes, ungkap Gus Menteri.

Selain itu, juga ada lahan intensifikasi di kawasan transmigrasi  1,8 juta Ha yang sudah siap pakai 509 ribu Ha. Lalu ada desa pertanian pangan 65.325 desa dan pertanian non pangan 4.748 desa.

Dengan potensi desa yang ada, Gus Menteri berkeyakinan bahwa apapun perkembangan desa, kesejahteraan desa, kemaslahatan desa, pertumbuhan ekonomi desa adalah kesejahteraan bangsa Indonesia, pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia. 

“Kalau kita fokus membangun desa pada hakikatnya kita membangun Indonesia. Karena desa adalah Indonesia dan Indonesia adalah desa,” tutup Gus Menteri yang juga kakak dari Muhaimin Iskandar, mantan Menakertrans dan politisi PKB.

Komitmen yang diberikan Abdul Halim Iskandar ini pastinya akan menjadi penyemangat bagi warga dan pengelola desa. Apalagi sosok yang dinilai low profile, humble, santun, pekerja keras, dan tegas ini bisa merasakan benar keadaan desa dan apa saja yang diperlukan desa. 

Halim menikmati masa kecil di desa Denanyar Jombang, Jawa Timur dan melewati masa pendidikan di Pondok Pesantren yang didirikan oleh kakeknya KH. M Bishri Sansuri yang berjarak 2 Km arah Barat kota Jombang, Jawa Timur.

Mantan ketua DPRD Jatim ini menempuh pendidikan formal di MI, MTs dan MAN Mambaul Ma’arif Denanyar, Jombang dan baru melanjutkan pendidikan ke Universitas Negeri Yogyakarta dan pasca sarjana di Malang. 

Praktis dari kecil pengaruh kehidupan di lingkungan pesantren di desa menjadikan Gus Menteri fokus pada pembangunan desa dan pertumbuhan ekonomi desa. Semoga kontribusi besar desa pada perekonomian bangsa Indonesia yang didukung penuh Gus Menteri ini disadari semua pihak. 

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)